Bermain, Bernyanyi, dan Berfoto Dengan Dik Aan

on Wednesday, January 12, 2005

Ini yang saya ceritakan dulu tentang si “Mata Indah Bola Pingpong” atau Dik Aan atau nama panjangnya Muhammad Nafan Abdillah. Sekarang Dik Aan sudah lumayan besar. Usianya sudah 3.5 tahun. Tambah besar tambah mbethik (=nakal). Kalau sedang naik ke atas (lantai II) atau tempatnya arek - arek ngekost, sukanya mbuka - mbuka pintu kamar saya. “Dol !!” lantas tertawa. Kalau tidak begitu suka maaf “ngentuti” saya. Tetapi bukan ngentut beneran cuma mulutnya saja yang bilang. “Mas Agus tak entuti.” Lantas sambil mebelakakingi saya mulutnyapun di sembur - semburkan “Blut.., blut.. blut..” Tertawa dan menutup pintu sambil berlari. Habis itu pintunya dibuka sedikit sambil intip - intip dari balik pintu. Nah, kalau aku tersenyum dia akan mengulangi aksinya beberapa kali sampai Dik Aannya capek sendiri. Nggak tau siapa juga yang ngajari. Jangan - jangan antum yang mbaca tulisan saya ini ya yang ngajari, karena aku nggak pernah ngajari hal - hal semacam ini. Hmm.. awas kalau ketahuan yang ngajari mau tak hajar (wih kejamnya).





Tetapi waktu aku bawa digital camera dan memfoto teman - temanku, eh Dik Aan-nya muncul dan malah suka ngikuti di belakangku, tetapi kalau diminta difoto nggak berani, takut sama blitnya. Kalau ada kilatan blitz kayaknya takut banget, Kaya mau nangis. Disangka petir kali he.. he.. he..



“Ya sudah sekarang foto sama Mas Agus saja, blitsnya nggak usah dinyalakan wis.” Waktunya memang sudah sore sih, jadi agak - agak gelap, akhirnya make lampu neon saja. Tapi ya gitu, Dik Aannya takut - takut berani. Akhirnya waktu di hitung satu, dua, ti.... mendadak mau lari dan mo nangis akhirnya tak pegangi saja. “Cret”.. nah tuh kan yang semula center jadi keluar layar. Lihat tuh mukanya Dik Aan tegang banget bukan? Ya.., jadinya Dik Aan yang cakep, putih, matanya besar, akhirnya kelihatan jelek, item, dan mau nangis. Tuh lihat tuh, mulutnya mau “mewek”. Habis gitu nggak mau di foto lagi. Ya sudah akhirnya cuma itu dokumentasinya.
Aku mencoba merayu, “Ayo Dik Aan, Foto lagi?”. “Emoh.., emoh.” Kata Dik Aan.



Habis itu beberapa hari yang lalu waktu Pak Kost naik keatas Dik Aannya ngikut. Barangkali jenuh ngikut bapak yang cuman ngobrol sama komting-nya Kost-kostan, Dik Aan masuk ke kamarku.
“Ayo Dik Aan sudah pandai nyanyi apa belum?“Tanyaku.
“Cudah.” Katanya.
Akhirnya waktu aku tawari headshet, eh malah suka banget. Aku putarin midi - midi koleksi anak - anak buatan Mas Didi Hariyadi. Eh seneng banget nyanyi. Tapi lagunya cuma bisa dua. Balonku ada lima, sama cicak di dinding. Ya sudah, daripada merekam lagu balonku ada lima yang panjang, mendingan yang tak rekam lagunya Cicak Di Dinding. Kan cuman pendek saja.



“Ayo Dik Aan kita rekaman saja ?” pintaku. Eh nggak taunya Dik Aan seneng banget. akhirnya ya ini suaranya Dik Aan. Putranya Pak Kost yang usianya baru 3.5 tahun. Lucu bukan. Habis gitu sering keatas minta nyanyi lagi. Ha.. ha.. ha..





Tapi sudah seminggu lebih Dik Aan kok nggak kelihatan naik keatas ya? Kemana nich. Tidak biasanya loh. Esok harinya saya ketemu di bawah. Hii ngeri.. jari telunjuk kanannya kayak mau putus. Disamping itu jalannya pincang dan jempol kakinya juga menghitam. Hi.. ngeri banget aku. Tetapi anaknya nggak kelihatan nangis, nggak kelihatan sedih cuman senyum - senyum saja.



“Hayo.. Dik Aan tangane kenek opo iki?” Tanyaku. (=Hayo.. Dik Aan, tangannya terkena apa ini?)
“Enek ading. Enek Ading.” Katanya. (Itu adalah suara anak kecil yang yang masih belum lancar bicaranya, yang maksudnya “Kenek Lading” atau dalam bahasa Indonesianya “Terkena Pisau“)
“Nek Endi?” tanyaku lagi (=Dimana?)
“Enek ading.” jawabnya. Dia tidak mau menjawab dimana terkena pisaunya tetapi cuman mengatakan kalau terkena pisau. Aku tanya saudaranya yang lain yang masih kecil juga pada nggak tau terkena apa Dik Aan itu.



Akhirnya aku tanya Bapak (bapak kost), beliau mengatakan kalau jari telunjuknya itu terkena alergi, dan diobati salep sehingga kelihatan kaya mau putus. Hii… terus jempol kakinya terkena “cantengen” atau infeksi kuku kaki, sementara jalannya pincang karena telapak kakinya terkena pecahan kaca. Aduh sampe aku kasihan banget. Habis Dik Aan itu sukanya main di tempat - tempat yang kotor. Atau orang jawa bilang suka “nrutus”.



Tetapi seminggu kemudian waktu naik ke atas lagi, Alhamdulillah berjalannya sudah normal, tinggal bekas - bekasnya saja.
“Eh Dik Aan endi jempolan sikil sing loro iku, wis mari yo?” Tanyaku. (=Eh Dik Aan mana jempol kaki yang sakit itu, sudah sembuh ya?)
Maka Dik Aanpun memperlihatkan jempolnya kakinya yang sudah mengering itu. Maka akupun menggoda saja.
“Hi...” kataku sambil menirukan mimik orang ketakutan.
dan Dik Aanpun mengusap usapkan jempol kakinya ke arah kakiku, sambil tertawa terbahak - bahak. Dan akupun menghindar sambil ngomong “Hi..., hi..” dan Dik Aanpun dengan semangat mengejarku sambil mengusap - usapkan jempol kakinya yang sakit itu. “Hi..”, lantas aku angkat badan kecilnya ke atas dan kamipun tertawa lebar.

0 comments:

Post a Comment