Lady Buterfly

on Thursday, January 6, 2005

Oleh : Jarni



Tak biasanya suasana begitu muram. Sinar mentari samar-samar membayang di langit mendung. Hujan turun membasahi bumi, seinci demi seinci sang surya bersusah payah menembus tirai hujan. Udara terasa dingin. Burung-burung yang ada di pepohonan depan markas FBI tak terlihat berkeliaran mencari makan. Berbeda dengan keadaan di dalam markas, tampak Letnan Yulie sibuk di meja kerjanya. Suasana suram tak mempengaruhi semangat kerjanya. Kelincahan bekerjanya sudah terlihat dari gaya pakaian dan gaya rambutnya yang modis dan dinamis. 



Pagi ini ia mengenakan liontin kupu-kupu dari bahan berlian, yang tersembunyi rapi di balik baju seragamnya. Cincin mungil di jari manisnya juga bergambar kupu-kupu yang indah sekali. Cincin itu terbuat dari emas bertakhtakan berlian yang lembut. Di atas meja kerja perwira itu terdapat kumpulan kliping berbagai surat kabar yang tersimpan rapi dalam map. “Tiga bulan terakhir ini, lima wanita berpakaian ‘kupu-kupu’ telah raib dari penjara...” begitulah berita-berita yang tertulis dalam guntingan-guntingan surat kabar kota. Letnan Yulie mendesah, kemudian ia membaca surat tugas yang sudah tergeletak di atas meja kerjanya. Tatkala membaca surat tugas itu, Letnan Yulie tersenyum simpul. “Lima wanita kupu-kupu telah hilang secara misterius. Temukan kembali mereka.” Bunyi perintah sandi yang ditulis Kapten Hendric, komandannya. Sandi wanita kupu-kupu dalam FBI sudah diketahui Yulie. Pasti para wanita Islam itu! Kapten Hendric adalah komandan agen rahasia FBI. 



Di usia yang keempat puluh tahunan, Hendric yang mirip aktor Sean Connery itu masih hidup membujang. Ia dikenal sebagai komandan yang berotak brilian dan ahli strategi yang sulit ditebak jalan pikirannya, sering tak terduga. Sedang Letnan Yulie, seorang perwira wanita yang sangat menonjol kariernya, ia berhasil membongkar berbagai kasus tindak kejahatan, baik kasus yang tergolong mudah maupun kasus yang tergolong sulit dan rumit penyelesaiannya. Boleh dikatakan tak ada yang tak mungkin kalau persoalan tidak dapat diselesaikannya. Semua pasti beres kalau ada di tangan Letnan Yulie. Ia jago berkelahi, karena ia memang instruktur salah satu cabang olahraga beladiri, jago menembak yang mahir meski dengan bertangan kidal! Yulie terkenal pula sebagai wanita pendiam dan tertutup. Suka menyendiri. Ia jauh dari gosip, wajahnya yang jelita dan sikapnya yang berwibawa membebaskannya dari gunjingan. Pilihan Kapten Hendric untuk menangani larinya lima tawanan wanita yang berpakaian ‘kupu-kupu’ memang tepat untuknya. Pasti! Dalam waktu singkat kelima wanita tawanan itu akan kembali ke tahanan. Marie, desainer terkemuka, merasa senang dengan pesanan gaun panjang dari seorang wanita yang bernama aneh, Lady Butterfly. 



Walaupun belum pernah mendengar dan bertemu dengan wanita itu, Marie dapat menduga kalau nama itu hanyalah nama samaran saja. “Tolong buatkan gaun panjang dengan belahan tidak terlalu tinggi di bagian muka. Aku ingin baju itu selesai dalam satu minggu. Model dan ukuran yang saya inginkan ada dalam kertas yang saya sertakan.” Semula Marie mengira wanita ini hanya main-main. Tapi...., Marie menerima cek senilai ratusan dolar hanya untuk satu baju yang bentuknya sederhana itu. “Pasti wanita yang kaya!” gumam Marie. Pas satu minggu kemudian, gaun pesanan Lady Butterfly sudah jadi. Marie bingung, harus kemana baju ini diantarkan. Kalaupun menelepon, ke mana Marie harus menelepon. Tepat pada hari kedelapan, bagai disambar halilintar Marie tersentak! Gaun Lady Butterfly telah lenyap dari etalase butiknya! Tapi… beberapa jam kemudian telepon berdering. Terdengar suara lembut seorang wanita. “Terima kasih. Gaun ini pas sekali untuk badanku, Marie. Aku sangat puas, kapan-kapan aku akan pesan lagi padamu. Thank’s.” Marie yakin telepon itu dari Lady Butterfly. 



Muhammed, pemilik toko buku yang terkenal juga terheran-heran. Baru kali ini ia menerima pesanan buku yang agak aneh. Lazimnya orang yang butuh buku, akan datang langsung ke pemiliknya atau ke tokonya. Tapi pembeli yang satu ini, tampaknya seorang wanita, tidak demikian. Melihat isi surat yang dikirimnya, Muhammed yakin kalau wanita yang bernama Lady Butterfly ini sudah pernah masuk ke tokonya dan sudah mengetahui kalau tokonya menjual buku-buku yang berbau ke-islaman secara gelap. Walaupun demikian, ia tidak mau langsung membeli buku yang diinginkannya. Sekarang ia meminta pemilik toko itu mengirimkan buku yang di butuhkannya ke sebuah flat apartemen. Buku The Women of Islam, setebal hampir 599 halaman berukuran kuarto itu memang jarang dijual di toko-toko buku. Buku itu diterbitkan dalam jumlah yang terbatas. Buku yang klasik dan unik. Membahas mengenai dunia Islam yang dianggapnya aneh. Wanita sangat dihormati dan dihargai dalam Islam. Begitu dihargainya wanita hingga seorang wanita Islam tidak boleh sembarangan mengumbar auratnya. Demikian salah satu bahasan buku The Women of Islam ini. “Tolong, kirimkan buku The Women of Islam ke alamat saya di bawah ini...” isi surat itu. “Apa-apaan ini!?” gumam Muhammed. Tapi tatkala melihat jumlah yang yang tertulis dalam cek yang disertakan sesuai dengan harga buku plus uang tambahan untuk mengantarkan buku itu, hilang kedongkolannya. Yang muncul malah sikap berbaik sangkanya. “Mungkin dia sedang sibuk.” Muhammed memenuhi permintaan dalam surat tersebut. Sepulang dari bank untuk menguangkan cek yang diterimanya, ia menuju ke alamat yang diberikan dalam surat yang diterimanya. Tok… tok… tok. Pintu terbuka sedikit. “Anda perlu dengan siapa?” seorang wanita berkerudung muncul di antara sela-sela pintu yang terkuak sedikit itu. “Lady Butterfly!” “Ia memesan sesuatu? Oh, buku ya?!” Muhammed hanya mengangukkan kepala. Ia masih bingung dengan keadaan di depannya. Dari kata-kata yang diucapkan wanita berkerudung itu, Muhammad yakin kalau wanita itu bukan Lady Butterfly. Tanpa sadar ia mengeluarkan buku yang dipesan Lady Butterfly. “Bisa bertemu langsung dengan Lady Butterfly?” tanya Muhammed. “Wah, sayang sekali, dia baru saja keluar, tapi...jangan khawatir ia sudah berpesan kalau nanti Anda mengirimkan buku yang dipesannya.” Setelah melihat ke kanan dan ke kiri, wanita itu segera menerima buku yang diulurkan Muhammed dan “Thank’s.” Lalu pintu tertutup rapat. Muhammed kaget. Kenapa ia begitu mudah menyerahkan buku itu tanpa memastikan apakah orang itu bisa dipercaya untuk menyampaikan buku pesanan Lady Butterfly kepada wanita itu...? Pertanyaan-pertanyaan kekhawatiran itu mengikuti setiap putaran roda taxi yang ditumpanginya. Siangnya. “Terima kasih, Anda telah mengantarkan buku pesanan saya ke apartemen kenalan saya.” Sepucuk surat dari Lady Butterfly kembali diterimanya. “Jadi benar dugaanku, kalau wanita yang menerima buku itu bukan Lady Butterfly,” gumam Muhammed. 



Charles, pemilik toko kain menjawab pertanyaan dari seorang wanita. “Begini Bu...,” “Jangan panggil saya Bu. Nama saya Lady Butterfly.” Semula Charles ingin tertawa mendengar nama aneh itu. Namun sebagai penjual yang baik ia harus bersikap sopan kepada pembeli. Apalagi wanita dalam telepon yang bernama Lady Butterfly itu terdengar serius dan bersungguh-sungguh. Barangkali ia benar-benar memerlukan kain yang dipesannya itu. “Maaf… maaf… Lady,” ucap Charles kaku. “Kami mempunyai bermacam-macam jenis kain dan corak-coraknya. Kalau Anda memesan kain yang bergambar kupu-kupu dengan dasar kain warna coklat muda, rasa-rasanya tidak ada. Tapi… akan saya usahakan untuk mencarinya.” “Terima kasih banyak, aku akan mentransfer uangnya sesegara mungkin. Tolong kirimkan kain yang saya butuhkan itu pada alamat yang tertera dalam suratku nanti.” “Dengan senang hati kami menunggu surat Anda,” jawab Charles berbasa-basi. 



Aisyah, gadis yatim piatu yang ada di bawah jembatan penyeberangan itu sangat bersyukur menerima kiriman uang dalam bentuk puluhan dolar di cek yang diterimanya dari seorang laki-laki yang mendatanginya kemarin malam. Dalam surat yang dikirim bersamaan dengan cek yang diterimanya tertulis, “Gunakan uang ini untuk biaya hidupmu. Dari pengagummu atas usahamu mempertahankan aqidah di antara kerasnya dunia, Lady Butterfly. “Dari seorang wanita yang bernama Lady Butterfly..., siapa dia ya....? Sepertinya aku tak pernah mengenalnya...” desis Aisyah. Aisyah, bukan dara yang jelita. Kesukaran hidup yang dilaluinya terlihat di bias-bias wajahnya. Tapi Aisyah yang yatim piatu itu mampu hidup di dunia orang-orang non-Muslim, di antara Nasrani dan Yahudi. Aisyah bertekad untuk memasyarakatkan Islam di lingkungan sekelilingnya meski seorang diri. Telepon di meja kerja Kapten Hendric berdering. Kapten itu tak berniat menerima telepon sepagi ini. “Siapapun peneleponnya, katakan aku belum tiba di kantor,” kata Kapten Hendric pada operator. Tak lama operator telepon menghubunginya lagi, operator itu mengatakan kalau yang meneleponnya seorang wanita dan mendesak dengan sopan agar bisa berhubungan dengan Kapten Hendric, sebab ada masalah yang sangat penting. 



Begitu Kapten Hendric menerima telepon..., seketika itu juga wanita tersebut mendampratnya. “Apakah memang demikian sikap seorang perwira agen FBI bila menerima telepon?! Mengaku-ngaku belum tiba di kantor! Kau pikir aku tak tahu kalau mobilmu sudah terparkir di halaman kantor, ha...?” teriaknya. “Sorry, aku tak mau melayani pembicaraan dengan seseorang yang belum kukenal!” Kapten Hendric ganti menghardik. “Siapapun saudari, tolong jangan ganggu kerja saya pagi ini!” “O...o...o..., saya tak akan mengganggu Anda, Kapten! Justru saya akan memperkenalkan diri saya. Terus-terang, Kap, sayalah yang membantu kaburnya wanita-wanita Muslimah yang sedang Anda buru itu… Kapten, kenalkan nama saya Lady Butterfly. Anda mendengarnya, Kapten?!” kata seorang wanita dalam telepon itu. “Ya, saya telah mendengar penjelasan Anda dengan sangat jelas, lantas Anda ingin uang tebusan sebagai pengganti wanita-wanita buronan saya itu? Begitukah?” tanya Kapten Hendric menyelidiki. Wanita itu diam sesaat, terdengar desahan napas panjang tanda kekesalannya pada Kapten Hendric. “Kau sungguh tak sopan, Kapten. Seenaknya sendiri memotong pembicaraanku! Kau pikir aku butuh uangmu?!” jawabnya. “Lantas apa yang kau inginkan, jika kau benar-benar wanita yang membantu tawanan-tawanan wanita itu melarikan diri?” “Ha...ha....ha...! Rupanya Anda belum mengenal diri saya sedikit pun, Kapten, termasuk pembantumu, Letnan Yulie, yang kau tugaskan untuk mencari wanita-wanita tersebut. Dan perlu aku beritahukan, Letan Yulie-mu itu tak akan mampu menyelidiki kasus ini. Bagaimanapun cara yang digunakan.”



“Kapten Hendric yang terhormat, sekali lagi saran saya, tutup saja kasus ini, karena jika kalian mulai melakukan penyelidikan kasus ini, kalian pasti terperangkap.” “O ya… sebentar!” Kapten Hendric mulai berpikir untuk mengenal lebih jauh tentang jati diri Lady Butterfly. “Nampaknya kau begitu mengenal jati diriku, Lady...,” kata Kapten Hendric asal-asalan saja. “Oo, tentu saja, ha...ha...ha...!” jawabnya. Kapten Hendric tertegun. Ia merasa suara itu sudah tidak asing lagi di telinganya. Ia sering mendengar ia berbicara. Tapi di mana? “Kapten Hendric perjaka tua, setiap Senin dan Kamis nongkrong di Night Club Casablanca, seminggu sekali belanja sendirian ke pasar swalayan. Sabtu pagi ke gereja acara kebaktian, lalu siangnya kau ke rumah yatim piatu di ujung gang rumahmu. Dan...jujur saja, Kapten, salah satu sebab kau menugaskan Letnan Yulie untuk menyelidiki kasusmu ini agar kau bisa selalu bersamanya. Kau mencintainya bukan...?” tanyanya perlahan. “Cukup!” sergah Kapten Hendric. Ia tak menduga kalau wanita yang tak dikenalnya ini begitu jauh mengenal dirinya. “Siapa dirimu sesungguhnya?” kata Kapten Hendric mengulangi pertanyaan yang telah ditanyakan di awal perbincangan. “Aku sudah menyebutnya dengan lengkap tadi, bukan?” jawabnya ketus. “Ma… maafkan saya, Lady Butterfly,” jawab Kapten Hendric tergagap. Pada saat itu ia memberi tanda-tanda sandi pada seorang stafnya untuk merekam pembicaraan mereka. “Apakah kita pernah bertemu muka, Lady Butterfly?” tanya Kapten Hendric lagi. Tapi ia rupanya terlambat bertanya, sebab telepon sudah tertutup. “Sialan!” gerutunya. 



Di tempat lain dalam markas FBI. Letnan Yulie kembali mempelajari arsip kelima wanita-wanita Muslimah yang telah melarikan diri. Foto-foto mereka tertempel dalam berkas-berkas yang dipelajarinya. Letnan Yulie menarik kesimpulan, bahwa wanita-wanita itu aktivis Islam yang sangat berbahaya. Malam kian larut, sambil memandangi foto-foto itu, Letnan Yulie merasa sudah menghafal wajah-wajah mereka dengan baik. - Lisbet, mahasiswi. Pernah ditahan dua kali oleh kepolisisan daerah. - Caroline, pedagang kain dan baju-baju Muslimah. - Aminah, mahasiswi. - Anna, pegawai bank. - Maria, pegawai kedutaan besar Mesir. Siang itu Letan Yulie masih di kantornya, dan Kapten Hendric mengajaknya makan bersama. “Ayo, kita makan dulu di luar dan membicarakan tugas yang sudah di jalankan,” ajak Kapten Hendric. Yulie mengangguk sambil membereskan berkas-berkas yang ada di meja kerjanya. Kapten Hendric memperhatikan wajah Yulie yang cantik itu. Senyum tipis mengembang di bibirnya. Yulie tak memperhatikan apa yang dilakukan atasannya itu. Kapten Hendric terkesiap sesaat, ketika menyadari kalau Yulie memakai anting, kalung, dan syal kupu-kupu. 



Sejenak ingatan Kapten Hendric melayang ke pembicaraannya dengan wanita yang bernama Lady Butterfly di telepon. Ada sedikit rasa curiga di hatinya, apalagi ketika mendengar suara Yulie berbicara, memang mirip dengan wanita yang misterius itu. “Tapi… apa mungkin? Lady Butterfly itu Letnan Yulie...?” Bukankah Lady Butterfly berhubungan dengan hal-hal yang berhubungan dengan kupu-kupu.... Kapten Hendric mulai menduga-menduga siapa sebenarnya Lady Butterfly. “Jadi kita makan, Kapten?” tanya Letnan Yulie. Kapten Hendric tergagap sesaat. “O...o...o...tentu saja. Ayo.” Tapi, belum jauh mereka meninggalkan meja kerja Letnan Yulie, telepon berdering. Letan Yulie kembali lagi ke meja kerjanya. “Untuk Anda, Kapten!” “Halo, apa kabar, Kapten?” suara seorang wanita yang sangat dikenalnya. Lady Butterfly. “Bagaimana hasil penyelidikan Anda, Kapten?” tanyanya lagi, ada nada mengejek dalam bicaranya. “Akan saya mulai, tunggu saja kabar dari saya,” jawab Kapten Hendric dengan ketus. Ia merasa di remehkan wanita itu. Klik. Telepon tertutup. Kapten Hendric mendesah. Sejenak ia menatap Letnan Yulie. “Dari siapa, Pak?” tanyanya. “Dari seorang wanita yang kurang kerjaan!” jawab Kapten Hendric. “Ayo, kita ke depan,” katanya lagi. Sambil berjalan, Kapten Hendric memikirkan Lady Butterfly. Dugaan bahwa Lady Butterfly adalah Letan Yulie ternyata salah. Siapakah dia? Kepalanya pusing memikirkan hal ini. Tak mungkin, Yulie yang seorang agen FBI yang jelas-jelas beragama Kristen ini seorang wanita yang bernama Lady Butterfly. Ketika wanita itu menelepon tadi, ia ada bersamaku… Kapten Hendric mendesah beberapa kali. Letnan Yulie menyadari kalau atasannya ini memikirkan wanita yang bernama Lady Butterfly itu. Sekembali dari kantornya, Letnan Yulie segera menelepon seseorang. Terlihat serius sekali. “Sekarang...? Ya..., ya… baik,” jawabnya. 



Segera dilepasnya seragam yang menempel di tubuhnya. Dikenakannya gaun panjang berwarna coklat dan kerudung lebar yang dapat menutupi wajahnya. Dengan tergesa-gesa ia menelusuri jalan kecil di belakang rumahnya. Sampai akhirnya Letnan Yulie hilang di tikungan jalan kecil itu. Sementara itu, di depan rumah Letnan Yulie terpakir sedan merah metalic. Sesosok tubuh jangkung keluar dari mobil itu. Kapten Hendric.... Tok..tok...tok. Pintu tak terbuka juga. Kapten Hendric mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. Klik. Pintu apartemen Yulie terbuka. Dengan hati-hati Kapten Hendric meneliti dan mengawasi sekeliling ruangan. Setelah memastikan dengan pasti kalau wanita yang secara diam-diam dicintainya itu tidak ada di rumah, Kapten Hendric mulai memeriksa laci kerja Letnan Yulie. “Tidak ada yang mencurigakan di sini,” gumamnya. Kapten Hendric duduk di kursi setelah meneliti beberapa berkas yang ada di meja kerja wanita itu. Sambil duduk, kembali matanya mengawasi ruangan itu. Muncul kekaguman pada penataan rungan itu. “Ah, Yulie memang pandai di segala bidang...,” desisnya. Pandangannya berhenti di pojok ruangan. Satu set perlengkapan musik ada di situ. Kapten Hendric mendekat. Ia melihat-lihat koleksi kaset yang ada di rak. “Hm..., bagus-bagus lagunya.” Dia mengambil satu kaset dan berniat memasukkannya dalam tape recorder. Tapi di dalam tape itu masih terdepat kaset hitam tanpa judul dan identitas lainnya. Kapten Hendric penasaran. “Lagu apa ya?” Terdengar suara seorang wanita… “Hallo, apa kabar, Kapten? Bagaimana hasil penyelidikan Anda, Kapten?” Kapten Hendric terperangah. Ia tak percaya dengan pendengarannya. “Bukankah… bukankah itu suara Lady Butterfly yang menelponku tadi siang...?” desisnya. Ia masih tak percaya dan bingung dengan kejadian yang dialaminya. “Jadi? Benarkah Yulie itu Lady Butterfly...? Tetapi bukankah tadi siang ia bersamaku?” Kapten Hendric risau. 



Ia segera ke kamar Letnan Yulie. Ia berharap tak menemukan sesuatu yang berhubungan dengan ciri-ciri wanita yang bernama Lady Butterfly itu. Kapten Hendric membuka lemari Yulie. Tampak beberapa gaun panjang bermotif kupu-kupu di dalamnya. Dibukanya laci lemari itu. Selembar kertas diambilnya. “Aku sangat bahagia dengan keadaanku sekarang. Dengan masuk Islam aku mendapatkan ketentraman hati. Yulie.” Benarkah… Kapten Hendric tetap tidak percaya. Dia segera keluar dengan membawa kaset dan surat itu. Letnan Yulie yang menyamar sudah sampai di sebuah rumah kecil di pinggiran kota. “Assalamualaikum,” Yulie memberi salam pada orang yang ada di rumah. Tok...tok...tok. “Waalaikumussalam,” terdengar suara wanita dari rumah kecil itu. “Siapa ya?” “Saya, Lady Butterfly,” Yulie menjawab. Pintu terbuka. “Subhanallah, saudaraku...! Ayo masuk!” Wanita itu mengeluarkan kepalanya ke pintu luar rumah. Setelah yakin tidak ada orang yang mengikuti Lady Butterfly yang ternyata Letnan Yulie, wanita itu segera menutup pintu. Sementara itu beberapa wanita tampak menemani Lady Butterfly di ruang tamu. Wajah mereka sudah dihafal di luar kepala oleh Letnan Yulie karena ia ditugaskan Kapten Hendric untuk menangkap mereka. Mereka berbincang-bincang dengan serius. Sesekali Yulie membuat peta di kertas yang ada di meja. Tiba-tiba telepon berdering. “Ya benar, waalaikumussalam,” jawab wanita yang ternyata bernama Maria. Yulie memandangnya sesaat, tampak ketegangan di wajahnya. “Ya… ya… baik, akan saya sampaikan, insya Allah. Thank’s,” telepon segera diletakkan di tempatnya. Wanita itu mendesah ia memandang Yulie. Kalut. “Ada apa?” tanya Yulie. Yang ditanya hanya diam saja. Lalu mengajak Yulie masuk ke ruangan sebentar. “Sabar ya, ukhti… ternyata Allah akan menguji kita lebih berat lagi. Walaupun ukhti baru beberapa hari masuk Islam dan menyamar sebagai Lady Butterfly untuk menolong dan membebaskan kawan-kawan Muslimah yang dipenjara, ternyata penyamaran ukhti sudah diketahui oleh atasan ukhti, Kapten Hendric.” Yulie kaget. Ia tak menduga kalau kapten itu begitu cepat mengetahui jati dirinya. “Ya...inilah perjuangan!” katanya lirih. 



Beberapa minggu kemudian tampak asap tebal dari arah apartemen Yulie. Beberapa meter dari lokasi kebakaran itu, sebuah sedan merah metalic terparkir. Seorang pria duduk di dalamnya. Terlukis kesedihan di wajahnya yang ganteng itu. “Maafkan aku, Yulie, aku tak bermaksud membakar rumahmu. Tapi perintah dari pusat mengharuskan demikian. Maafkan aku, Sayang...,” desisnya. Dari sudut yang lain. Seorang wanita dengan gaun panjang bermotif kupu-kupu mengusap airmata yang mengalir di matanya. “Ya Allah, kuatkan hamba-Mu ini berjalan di jalan-Mu” Teriring salam untuk: bapak dan ibu di Prokimal, doakan anakmu mampu berjalan dengan ridho-Nya



sumber : Annida

1 comments:

Alexwebmaster said...

Hello webmaster
I would like to share with you a link to your site
write me here preonrelt@mail.ru

Post a Comment