Pada Sebuah Karnaval

on Thursday, January 6, 2005

Beberapa waktu yang lalu kami menghadiri karnaval, Eid karnaval tepatnya,yang diselenggarakan oleh salah satu masjid di South-bay sini.



Lazimnya sebuah karnaval, tentunya meriah dengan macam-macam fun-ride untuk anak-anak, cotton-candy,ada juga stand-stand, dan tentu saja...mmm,makanan. Menu yang disajikan kali ini kebanyakan ala pakistan dan afganistan. Jadilah saya nyicip briyani dan barbeque pakistani-nya.



Eh kok jadi cerita soal makanan. Membaca resep bakso-nya uni Lila danserba-serbi indomie-nya ummu Itqon jadi laper deh. Dingin-dingin begini asik kali ya makan bakso pedes. Wah, maaf nih keterusan. Soal makanan tadi, ini memang ada hubungannya dengan cerita yang ingin saya tuliskan.



Tengah asik menyuapi si kecil sambil mengawasi kakak-kakaknya naik merry-go-arround [waktu saya bocah dulu, di kampung saya namanya korselatawa komedi putar], tiba-tiba seorang sister melintas tergesa di hadapan saya. Tadinya sih mau lewat begitu saja, tapi ketika melihat wajah saya, dia lantas berbalik mendekat dan duduk tepat di sebelah.



“Ah sukurlah bukan orang Arab.” ujarnya sambil menghela nafas seraya menarik sedikit kerudung di kepalanya yang mencong-mencong.



“Assalamu’alaikum, sister. Apa kabar ?” tanya saya mencoba menyapa denganramah.



“Alaikum salam. yah baik-baik saja. Anda berasal dari mana sister ?”



“ Indonesia,” jawab saya.



“ Di mana itu ya?” tanyanya,”sebelah mananya negara arab?”Ah tipikal. Hampir semua orang di lingkungan muslim pun tidak tahu di mana itu Indonesia, atau barangkali tidak tahu apakah itu nama negara atauhkah jenis makanan. Saya jelaskan sedikit sekalian ngasih tahu kalau Indonesiaitu negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Dia cuma bengong seperti tak percaya.



“Kok tidak pernah kedengaran ya.” komentarnya. Nah kalau sudah begini, selain mangkel, sedih juga rasanya. Kita, muslimin Indonesia yang ratusanjuta jumlahnya seperti tak pernah kedengaran perannya sebagai kaum penebarrahmat. Bukan sekali dua kalau bertemu sisters mancanegara di sini, mereka tidak tahu Indonesia apalagi perannya sebagai pembela ummat Islam.



Bagaimana tidak mengherankan, kalau di negeri sendiri saja ummat Islam sudah dipecundangi dengan sangat memalukan.



“Mungkin anda saja yang lupa pelajaran geografi.” kata saya sembarime mandang wajah arab yang cantik ini, putih kemerahan warna kulitnya.Sayang, ada gelisah di matanya.



“Anda sendiri dari mana ?” tanya saya. Dia sebutkan negara asalnya.



“Anda tahu di mana itu ?” tanya sister itu.



“Oh tentu saja. Salah satu negara Arab dan...” saya sebutkan beberapanegara lain yang berbatasan dengan negerinya itu serta produk terkenal yangdihasilkan negaranya.



“Anda tahu semua itu ?” tanyanya heran. Saya tersenyum.



“Maaf,no offense, anda kan bukan orang arab, kenapa anda pakai hijab ?”tanya nya tiba-tiba. Belum sempat saya jawab, sister ini buru-burumelanjutkan.



“Actually..., hijab ini bagi saya adalah beban. Itu sebabnya saya tidak maukembali ke negara asal saya, tidak bebas, di sini saya bebas. ..”



“Mengapa anda berpikir begitu ?” tanya saya.



“Yah anda tahu kan, kami di negara arab diwajibkan pakai hijab oleh negara.Tidak ada kebebasan bagi wanita...tapi di sini saya bisa berbuat apa saja.Oh ya saya pakai hijab begini sewaktu-waktu saja, kalau ada acarakhusus...sebenarnya saya juga tidak suka bertemu orang arab, mengingatkansaya pada kebodohan dan kekasaran saja...”



“Lalu bagaimana anda bisa sampai ke US ?” tanya saya.



“Waktu itu ada program pertukaran pelajar keperawatan dan saya termasuk yang dikirim kesini. Setelah program selesai, saya bertekad untuk tidak kembali. Saya sudah bulat hidup mati di sini. Tapi saya butuh pegangan supaya bisa tinggal di sini kan ? Karena itulah lantas saya kawin dengan orang Bule. Status saya berubah. Saya sudah citizen di sini sekarang...”ujarnya dengan nada bangga.” Saya tidak harus pakai hijab. Saya bisa punyapekerjaan yang baik. Masa depan saya terjamin.” lanjutnya.



“Jadi anda bahagia sekarang ini ya ?” tanya saya, penasaran mengamati matalentiknya yang resah.



“Ah jangan begitulah...” ujarnya seraya membuang pandangan jauh kedepan.Dihelanya nafas panjang.



“Anda tanya soal perkawinan saya kan ? Anda tahu sendiri, orang di sini pagi kawin, sore bisa cerai lagi. Atau kalaupun kawin tidak ada jaminan bakalan setia, maksudku...yah sewaktu-waktu ganti pasangan...atau punya kencan lain...atau tak perlu kawinlah...bikin bengkak beban tax saja...ya memang kadang saya masih ketemu dia...”



“ Bukan soal itu,” kali ini saya yang memotong.



“Maksud saya anda sudah peroleh kebebasan yang anda inginkan ... apakah anda masih akan terus menghindar dari bangsa anda ?”



“Memang begitu. Kadang saya ingin datang juga ke perayaan muslim macam Ied ini, sekadar datanglah, makan-minum, ketemu menu yang cocok di lidah. Tapi saya memang nggak nyaman deket-deket orang arab. Nanti dikatakan orang sini teroris lagi ....saya malu kalau orang-orang tahu saya ini muslim.”jelasnya.



Saya jadi teringat cerita seorang teman dari Mesir sewaktu baru pindah rumah. Tiba-tiba saja tetangganya datang memohon, “Please, jangan ledakkan rumah saya.” Astagfirullah. begitu buruknya gambaran tentang orang Arab atau orang Islam di negeri ini.



“Eh anda belum jawab pertanyaan saya tadi soal hijab.” sister itumengingatkan.



“Negara kami tidak pernah mewajibkan hijab. Kami berhijab karena kesadaran.Pada mulanya ini pilihan yang sangat sulit. Sebagian dari kami telah kehilangan pekerjaan bahkan kesempatan untuk sekolah karena berhijab.Sebagian lagi mengalami cacat seumur hidup akibat penyiksaan karena memakai hijab. Belum lagi hinaan dan cemoohan. Tapi muslimah di sana tegar dengan pilihannya. Semakin ditekan, kesadaran berislam semakin tumbuh subur. Jadisangat ironi dengan apa yang terjadi pada diri anda...”



“ Hey, bukankah negara anda muslim terbesar...?”



“Memang benar. Sebagian dari kami percaya bahwa pemerintah sangat toleran dengan kaum non muslim. Demi toleransi ini, kalau perlu mayoritas mengalah...begitulah kira-kira, selain banyak lagi masalah lain yang rumit yang tidak bisa anda bayangkan.” Entah mengapa masih saja ada pembelaan dalam jawaban saya. Seburuk-buruknya negeri kita, rasanya masih saja tak rela untuk menyebutnya di depan bangsa lain.



“Jadi kalau negaramu tidak mengharuskan, kenapa kamu mau pakai hijab ? bodoh sekali bukan ?” tanyanya lagi.



“Seperti saya katakan tadi, kami melakukannya karena kesadaran sebagai muslimah,” jawab saya.



“Apa maksudmu ? saya juga muslimah.” sanggahnya.



“Tahukah anda bahwa tanpa diwajibkan oleh negara anda sekalipun, kewajiban berhijab itu tetap ada ? “ saya balik bertanya.



“Anda membingungkan.” jawabnya.



“Lihatlah ini.” jawab saya sembaring menyodorkan Qur’an saku padanya. Saya bukakan ayat tentang hijab di surat al Ahzab.



“Maksudmu kewajiban itu adalah perintah Tuhan ..?” tanyanya.



“Tidakkah anda tahu ? atau pernah membacanya ?”



“Mmm, no.” jawabnya ragu. Saya jadi berpikir jangan-jangan sister ini bahkan tidak punya qur’an di rumahnya.



“Anda boleh menyimpannya.” lanjut saya. Ia nampak ragu. “Maaf Qur’an ini memang sudah lusuh. Maklumlah saya memilikinya sejak lebih dari 13 tahun lalu waktu masuk universitas. Setidaknya simpanlah, sampai anda punya yang baru...” saya berusaha meyakinkannya.



“Astaga..selama itu anda menyimpannya ?” tukasnya. Saya tersenyum.



Yah dia teman saya saat sendirian. Hanya saja saya agak kesulitan menghafalnya, mungkin karena tidak mengerti bahasanya. Karenanya saya selalu membawanya untuk membaca dan mengingat perintah Tuhan.



Anda beruntung lahir di negara yang berbahasa al Qur’an.” ujar saya. “ Anda tahu, Kebebasan bagi saya adalah terbebasnya dari segala bentuk penghambaan kecuali kepada Allah. Itu sebabnya bagi saya berhijab adalah salah satu bentuk kebebasan, bukannya beban seperti yang anda rasakan.”



Dia diam saja. Saat itu hujan mulai turun rintik-rintik. Si sulung dan sinomor dua datang sambil berlari-lari kecil.



“ Is it ashr time ?” tanya si sulung. Saya jawab insya Allah sebentar lagi.



“Ok,” jawab si sulung. “ Let’s wudu” ajaknya kepada adiknya. Saya ikuti mereka dengan pandangan sayang. Walau kadang bandel, syukurlah kalau soalshalat mereka sangat cinta.



“Mereka anakmu juga?” tanya sister itu lagi.



“Ya” jawabku.



“Berapa umurnya ?”



“Yang besar hampir 6 tahun, adiknya 4, dan si kecil ini dua bulan lagi tepat 2 tahun.” jawab saya.



Sister itu terdiam.



“Kalau kamu jadi saya, apakah kamu akan stay di negara arab ?” tanyanya tiba-tiba.



“Di manapun kita harus berjuang untuk kebebasan yang sesungguhnya. Berjuanguntuk menegakkan nilai-nilai Tuhan. Meski itu di negara Arab. Bila itu yang anda perjuangkan, dimana pun insya Allah saya mendukung anda” jawab saya.



“Kalaupun tinggal disini, bila hanya jadi budak nafsu,tidak akan memberi kebahagiaan. Anda harus berjuang untuk kebebasan yang sebenarnya...”



Sore makin terasa dingin. Waktu saya ajak ke dalam masjid untuk shalat ashar, dia menggeleng.



“Saya harus pulang.” tuturnya. Dia melangkah perlahan, kali ini tidaktergesa seperti tadi. Saya berdoa mudah-mudahan saja ia masih ingat cara shalat. Di dalam masjid saya berjumpa sister Khadijah dari Palestina. Entah mengapa tiba-tiba ia berkata,



“Sesungguhnya tugas terberat kami adalah ....mengislamkan orang-orang Arab sendiri.”



Berceritalah ia tentang sebagian bangsanya yang malu mengaku dirinya muslim. Apa saja dilakukan asal bisa terbebas dari atribut keislaman yang identik dengan terorisme, keterbelakangan dan belenggu kebebasan.



Teringat saya dengan kondisi di negara kita yang sebenarnya tidak jauhberbeda. Jalan ini masih amat panjang terbentang, mendaki lagi sukar. Kian lama kian terasa seakan menggenggam bara. Saya dan anak-anak pulang ketika gerimis makin membasah. Dua jagoan kami berceloteh tentang karnaval, sementara pikiran saya masih di pertemuan tadi.



Wa Islama....wa islama..., wahai Islam...wahai Islam, begitulah bisikan syair yang terngiang di telinga saya. Bagaimana kita bisa tegak penuh hargadiri jika umat Islam sendiri malu dengan agamanya ?



Bagaimana kita dapat menjadi penebar rahmat kalau kita sendiri jauh dari firman sang Pemberi Rahmat?



Ah..saya jadi ingin merajut malam ini. Tidak, bukan merajut rumah laba-laba yang rapuh tapi merajut permadani yang kuat yang bakalan menerbangkan anakcucu kami ke alam kebebasan,....bebas mencintai tuhannya.



Wassalam, Ema
www.imsa.nu
“Penulis adalah seorang akhwat di Amerika”

0 comments:

Post a Comment