Pulang

on Thursday, January 6, 2005

CUKUP lama sudah laki-laki itu termangu menatap langit-langit kamar. Pikirannya kusut tak terurai. Kalaupun ada satu dua yang tertemukan, tak tahulah apa dan dimana ujung dari kesemuanya tadi berawal. Sementara dalam hati ini, kegundahanpun turut larut menggiris hati. Panas dan suntuk sekali rasanya malam ini. Sebentar kemudian laki-laki itupun bangkit dari pembaringan. Sebatang rokok filter diharapkan kiranya dapat sedikit mengurangi tekanan dalam jiwa. Pun pikiran yang kegerahan.



Kijan nama laki-laki ini. Malam ini kembali berada pada suatu titik sunyi. Seperti biasanya dan juga seperti pada hari-hari sebelumnya. Sungguh! Betapa segala sunyi serta gelimangan hari-hari selalu tampak hadir tanpa pamrih pada kehidupan laki-laki ini. Anehnya kesemuanya taklah sebegitu hebatnya seperti kali ini.



Malam di kala semuanya telah beranjak melarut, sinar rembulan tampak perlahan muncul, merayap dan tembusi celah-celah daun jendela kamarnya. Jauh di sana terdengar sayup-sayup sampai suara ayat-ayat suci berkumandang di surau tak jauh dari kontrakannya. Kijan berdiri mendekati jendela. Ingin sekali rasanya sinar rembulan itu ia nikmati. Daun jendela ia buka lebar-lebar. Akh...betapa sejuknya angin malam di luaran sana. Dan dinginnya udara akhirnya datang terpa wajah teduhkan jiwa.



Sinar rembulan terus membias di wajahnya. Kepalanya dibiarkannya terus terdongakkan ke atas agar bisa terus-menerus nikmati lembutnya belaian cahaya keperakan di balik mega sana.



“Bulan separuh sunyi mencumbu waktu,” tanpa disadarinya kata-kata itu begitu saja muncul dari permukaan bibirnya, seperti halnya dengan senyuman itu yang perlahan muncul setelah kata-kata itu terucap.



Bulan separuh sunyi mencumbu waktu. Akh!...Ternyata ia masih ingat juga sepenggalan bait puisi Toto ST Radiq. Puisi yang tergurat di dinding kamar kosnya. Tepat di sebelah kanan tempat tidurnya. Entah siapa yang menulis kalimat ini. Yang jelas ia senang dengan kalimat pertamanya. Cocok sekali dengan apa yang sedang dialaminya malam ini.



Waktu berjalan perlahan namun pasti melarutkan isi malam. Namun Kijan masih pula berdiri menatap langit gelap. Di sini cumalah jangkrik malam saja yang tetap setia temani pengembaraan pikirannya.



Malam ini malam kedua puluh delapan di bulan Ramadhan. Ramadhan toh seperti bulan-bulan lainnya. Itu anggapan Kijan selama ini. Dan iapun tak begitu mengistimewakannya. Bulan yang dulu kata guru agamanya disebut bulan penuh rahmat dan pengampunan. Akh! Rasanya biasa saja.



Namun kini. Di saat ini. Menginjak tahun ke delapan sejak kepergiannya. Ada setangkup rasa yang sukar sekali buat dilukiskan. Hatinya gusar. Pikirannya terbang entah kemana. Perasaan ditegur terasa jelas menggedor-gedor alam perasaannya. Mirip ketika pintu kamarnya digedor keras oleh bapaknya saat ia kesiangan untuk melakukan Shalat Subuh.



Bapak. Akh! Sedang apa sekarang orang tua itu di rumah. Mungkin sedang taddarus. Atau pula mungkin sedang memain-mainkan butir-butir tasbih di tangan sembari tak henti mengucapkan puja-puji pada Allah. Berdzikir atau...entahlah. Tiba-tiba pikiran ini buntu. Yang ada di depan matanya kini cuma sesosok tubuh tua yang rapuh menghiba memanggil namanya. Sayup-sayup sampai dapat ia tangkap apa yang sesungguhnya terucap dari bibir tua itu. “Kijan. anakku...Pulanglah.”



Kijan terbangun dari tidurnya. Bermimpikah aku? Ia bergurau sendiri. Namun suara-suara itu jelas dirasakannya. Dan sosok tua itu seperti betul-betul hadir di hadapannya. Sosok yang keras, seperti dirinya juga yang sama-sama keras. Alasan keras inilah yang kemudian menciptakan jurang yang sangat dalam pada diri orang tua dan sang anak. Hidup memang merupakan guratan-guratan kisah yang seseorangpun taklah pernah bisa mengerti apa dan bagaimana akhir dari perjalanan ini. Seperti halnya hidup pula yang memisahkan lajur cerita sosok manusia. Keterperosokan Kijan pada lingkaran kriminal jelas membuat luka di hati orang tua ini. Menggurat kian dalam setelah hal itu ternyata bukanlah yang pertama kalinya. Hingga di akhir titik jemu. Kesemuannya berakhir dengan pedihnya perpisahan. Perpisahan yang mungkin disadari orang tua itu sebagai satu jalan yang melapangkan ruang waktu yang sedianya tertenggangkan. Kijan pun akhirnya menyadari. Telah kikis habis sudah rasa-rasa yang dimiliki oleh bapaknya guna menutupi malu dan cela yang timpa keluarga.



Betapa pedih hati orang tua itu sepeninggalnya Kijan dari LP delapan tahun silam.



Sepedih hati Kijan yang dengan langkah terpaksa akhirnya mesti berusaha hindari kenyataan buat selama-lamanya. Kenyataan bahwa ia pernah hidup dan tinggal satu dalam ruang temaram yang sarat dengan perhatian dan kasih sayang. Kijan tak sanggup dan berusaha mengingkarinya. Jalan satu-satunya cuma dengan pergi pada kehidupan yang dirasakan lebih bisa mendatangkan ketenangan dan ketentraman di hati ini. Dan tak satupun keluarganya boleh sedia tahu kemana perginya.



Tapi itu dulu. Waktu delapan tahun saat ketetapan hati ini masih penuh di dada. Kala hati ini masih berkecamuk dalam seribu tanya dan pencarian jati diri yang tak pernah ada. Kebahagiaan itu memang pada akhirnya tak pernah bisa termuara jika berusaha menapaki hari untuk terus-menerus mencari. Sebab secara hakikinya memang kebahagiaan hidup itu ada dalam hati untuk kemudian dibias lewat rasa. Ya. Kebahagiaan itu memang muaranya ada pada diri. Bukan pada siapa-siapa. Tapi ia bisa muncul lewat diri kita. Kita sendiri yang harus memulainya.



Cahaya lampu perlahan mengalihkan pantulan wajah pemuda itu pada cermin di depannya. Kijan tertegun. Guratan halus tampak hadir di kiri kanan pojok mata. Ia tersenyum. Ada rasa yang tak bisa ia urai saat ini kala memandang guratan itu.



Betapa letihnya hari-hari ini kulalui dalam pengembaraan hidup, gumamnya. Lirih.



“Aku harus pulang. Bapak, aku akan pulang,” senyum tipis itu kembali hadir. Kali ini lebih lega kelihatannya. Besok aku harus pulang, sebelum Idul Fitri menjelang. Janjinya pada larutnya malam. Hari ini.



***



Puasa kian berujung. Ramadhan tinggal beberapa hari lagi. Namun tanda-tanda menjelang Idul Fitri sudah mulai terasa. Wajah-wajah ceria jelas terukir pada tiap-tiap muslim yang menjalankan ibadah puasa. Terbayang di diri mereka rencana apa saja yang bakalan dilakukan di hari lebaran nanti. Pertemuan dengan teman-teman lama, kerabat, handai taulan dan lain-lain kegembiraan telah menari-nari di pelupuk mata masing-masing. Indah nian hari ini.



Begitu yang mereka rasakan begitu pula dengan apa yang dirasakan Kijan. Tekadnya sudah bulat untuk menemui bapaknya sekaligus berziarah ke makam ibunya. Kakak-kakaknya pun sudah jelas ingin juga segera ia temui. Ia tak peduli entah apa yang bakal terjadi dengan kehadirannya kembali di keluarga. Apa sambutan kakak-kakaknya. Dan bagaimana sikap bapaknya. Cukup sudah pengembaraan dan perjalanan hidupnya dilalui dalam sedih maupun gembira. Lengkap dengan cerita-cerita yang menghantam dan mengantarkannya pada satu titik pengertian bahwa pencarian setiap manusia selalu melewati tahapan dan warna yang berbeda-beda. Kedewasaan dan kematangan akhirnya telah terhimpun genap di dalam proses penempaan diri. Tuhan memang selalu berpihak pada insan yang mau berubah pada apa itu yang dinamakan titik-titik kebenaran yang hakiki. Bukankah tiada kebenaran yang sebenar-benarya kebenaran selain kebenaran pada keberpihakan diri pada Yang Maha Esa.



Kijan menginjakkan kakinya di teras rumah. Pas matahari terbenam. Ragu ia masuk teras itu. Matanya menyipit. Rumah ini ternyata masih seperti yang dulu. Tak banyak yang berubah. Juga letak kursi-kursi di teras itu. Masih seperti dulu. Tak banyak yang berubah. Juga letak kursi-kursi di teras itu. Masih seperti dulu. Yang berubah cuma warnanya tidak secerah dulu. Saat delapan tahun ia tinggalkan. Juga warna cat di dinding rumah. Agak terkelupas di sana-sini. Juga warnanya sudah tak secerah dulu. Pintu rumah diketuknya. sepi. Yang terdengar cuma adzan maghrib yang berkumandang di surau di ujung desanya. Kijan mengetuk pintu itu lagi.



Tapi suasana sepi kembali ada. Mungkin di belakang. Pikirnya.



Suara langkah kaki dan derit pintu yang terbuka terdengar. Diurungkannya untuk pergi ke belakang lewat samping rumah. Kijan menoleh. Seraut wajah tenang memandangnya. Kijan hapal betul siapa pemilik wajah tenang dan bersih itu. Kakak sulungnya, Akhmad. Lelaki yang dulu paling diseganinya. Anak soleh yang selalu taat beribadat. Guru di madrasah dekat kampung sebelah. Tak ada yang berubah dari sosok itu. Kijan tak berani terus menatap wajah itu. Teringat kembali betapa bertolak belakangnya apa yang dimiliki oleh sang kakak dengan kelakuannya selama ini.



Lama mereka saling diam. Dan laki-laki itupun akhirnya berkata: “Kijan”.



“Bang Akhmad,” suara Kijan terdengar parau. Kijan tak sanggup menahan gejolak di dalam dada. Dipeluknya laki-laki di hadapannya. Laki-laki itu pun balas memeluk.



“Kemana saja kau selama ini, dik?” butir-butir air mata terasa membasahi kemeja Kijan. Kijan terharu. Tapi lidahnya kelu untuk bisa bicara. Apa yang ingin dia ucap telah lenyap oleh isak tangis dan gejolak dalam dada yang kian keras.



“Bapak dimana, Bang ?”



Akhmad. Lelaki itu tak kuasa menjawab pertanyaan dari sang adik. Hanya air matalah yang bisa menjadi jawaban. Tapi akhirnya dipaksakannya jua untuk menjawab.



“Bapak sudah meninggal. Minggu kemarin,” datar kedengarannya karena Akhmad telah berusaha untuk tabah. Tapi di balik itu kata-katanya jelas merupakan petir di telinga Kijan. Tidak! Kijan jatuh terduduk di lantai. Angan dan keinginannya membentur kenyataan. Bahwa orang yang selama ini begitu ingin ditemuinya telah tiada. Bukan itu yang menjadi sesalnya. Keinginan untuk bisa bertemu dan meminta maaf atas kelakuannya dahulu yang tak terpenuhilah yang jadi penyesalan. Ya Allah pada siapa lagi diri ini meminta maaf. Kijan terpukul.



“Sudahlah, Dik. Kesemuanya memang pada akhirnya mesti kita kembalikan pada Allah semata. Kita harus ikhlas menerimanya.” “Dan kami sebagai kakak-kakakmupun akhirnya juga tetap ingin kau kembali seperti sekarang ini,” terdengar sahutan dari belakang punggung Kijan. Ia menoleh. Heni dan Rosita. Dua orang kakaknya telah berdiri di belakangnya. Dipeluknya kedua kakaknya. Keharuan bercampur gembira di dalam dada masing-masing.



“Jangan pergi lagi, dik,” suara Heni terbata-bata diiringi suara tangis Kijan tak menjawab. Cuma anggukan kepala yang bisa ia lakukan.



Untuk pertama kalinya setelah delapan tahun meninggalkan rumah ini, Kijan berbuka puasa bersama kakak-kakaknya. Betapa hidup telah mengukir cerita lewat ceceran-ceceran perjalanan yang melanda setiap insan. Kepahitan hidup. Juga kepedihan-kepedihan dalam melangkahkan kaki ini semuanya taklah bisa dijadikan halangan buat kita terus melangkah. Kedewasaan serta kematangan dalam bersikap terkadang mutlak perlu dilalui dengan terlebih dahulu tahu dan mengenal apa itu penderitaan.



Sayup-sayup terdengar suara takbir dari surau desanya. Kijan berdiri di teras rumahnya. Sinar rembulan perlahan datang merambat dari balik awan. Besok aku harus berziarah ke makam bapak dan ibu. Batinnya berjanji.



“...Bulan separuh sunyi mencumbu waktu.
Dibenakku masih tersisa pertanyaan lain.
Dimanakah rumahku...”



sumber : ukhuwah.or.id

0 comments:

Post a Comment