Senyum dari Kenya

on Thursday, January 6, 2005

Hujan deras mengguyur Jakarta. Ikhwan yg. sedang dlm. ‘perjalanan bisnis’nya ikut terkena imbas dari hujan yang seolah tak ingin berhenti tersebut. Ia harus menepi dgn. motornya kecuali sanggup merelakan barang dagangannya rusak terkena hujan.



Sebuah masjid megah di pinggir jln. menjadi tempat berteduh favorit masyarakat yang kehujanan. Sebuah tempat yg. selama ini cenderung mrk. lupakan, harus diakui merupakan tempat terbaik u/ bernaung dan meminta perlindungan. Ikhwan lalu menepikan motornya di pelataran masjid tersebut.



Ikhwan kemudian duduk setelah menurunkan barang dagangannya dari atas motor. Sambil mengelap wajahnya yg. basah, diambilnya salah satu majalah-yang rencananya akan dia antarkan hari itu juga-dr. dalam kardus. Dipandangnya majalah Saksi itu sejenak, terpampang besar tema edisi “Menggenggam Gelora Harokah” di halaman cover. Hmm, tema yg. menarik, pikir Ikhwan. Tak lama dia sudah asyik dengan majalahnya.



“English?” Sebuah suara bertanya membuat Ikhwan memalingkan wajahnya mencari arah suara.



“English?” Ditatapnya seorang lelaki yang sedang berdiri di sampingnya tersebut. Tampak lelaki itu ingin berbicara padanya. Wajahnya tidak menunjukkan wajah Indonesia, lebih mirip orang Arab, hanya berkulit hitam. Dari baju gamis panjangnya Ikhwan sudah bisa menebak asal harokah lelaki tersebut.



“English?” Sekali lagi lelaki itu bertanya, sambil menghampiri Ikhwan. Baru disadarinya bahwa dia ternyata tertarik dengan majalah yg. sedang Ikhwan baca dan bermaksud menanyakan apakah itu majalah berbahasa Inggris atau bukan.



“No, it’s Indonesian,” jawab Ikhwan sekenanya.



“Alhamdulillah, you can speak English?” tampaknya dia senang mendengar Ikhwan menjawab dlm. bahasa Inggris.



“Mmm, yes. A little bit.” Maka jadilah percakapan singkat itu dilanjutkan dlm. bahasa Inggris.



“Jadi majalah ini tidak dlm. bahasa Inggris?”



“Ya, ini dlm. bahasa Indonesia.”



“Sayang sekali. Tapi tak apa, perkenalkan, saya Hasballah,” katanya sambil menyodorkan tangan yang disambut jabatan erat dari Ikhwan.



“Saya Ikhwan.”



“Apa Anda org. Indonesia?”



“Ya, dan Anda sendiri?”



“Saya berasal dari Kenya.”



“Wow, sebuah tempat yg. cukup jauh dari sini.”



“Ya, tujuan saya ke sini krn. saya ingin mengunjungi saudara2 saya sesama muslim di Indonesia. Itu sunnah dari Rasulullah.”



“Benar. Berapa lama rencana Anda u/ tinggal di sini? 3 hari, 40 hari?” tanya Ikhwan yg. memang cukup paham kebiasaan harokah mereka.



“Mmm, I think for the rest of my life. Saya mencintai negeri ini, muslimnya banyak. Dan mrk. ramah2.”



“Masya Allah, hebat. Berarti saudara kita akan bertambah satu lagi,” seru Ikhwan mendukung, walau hatinya pedih. Berarti sangat banyak sekali yg. Hasballah blm. tahu ttg. Indonesia. Ttg. mayoritas muslim negeri ini yg. jauh dr. agamanya, ttg. perpecahan parpol2 yg. mengaku berasas Islam disertai pengerahan massa gelorakan permusuhan, ttg. tingginya tingkat korupsi di negeri berpenduduk muslim terbesar ini yg. mengakibatkan kekacauan di hampir setiap sektor kehidupan, ttg. keadilan yg. sulit diperoleh sehingga masyarakat jadi brutal dan senang main bakar. Masih banyak yang Hasballah blm. tahu dan mungkin memang saat ini dia blm. perlu tahu.



“Saudaraku, apakah Anda kuliah di universitas?”



“Tdk. lagi. Kuliah saya sudah selesai.”



“Jadi skrg. Anda bekerja?”



“Yah, seperti itulah. Skrg. saya berdagang.”



“Masya Allah. Itu sunnah Rasulullah. Apa yg. Anda jual?”



“Majalah. Majalah Islam. Ini semua barang dagangan saya,” jawab Ikhwan sambil memperlihatkan isi kardusnya. “Kami di Indonesia punya banyak majalah Islam. Ada Sabili, Tarbawi, Ummi, Annida, Saksi, Al Izzah dan masih banyak lagi. Anda tahu, kami berdakwah lewat majalah.”



“That’s great. Betapa hebat dakwah berkembang di negeri ini.”



“Alhamdulillah. Anda sendiri, bagaimana kondisi kaum muslimin di Kenya?”



“Yah, jumlah kami minoritas. Di Kenya kaum muslimin hanya 45%, kami dikuasai orang kafir. Pemerintah kami orang2 kafir. Tapi Alhamdulillah, banyak di antara kami yg. mau menjadikan Islam sbg. pedoman hidup. Masih banyak yg. mau menjalankan Islam.”



Hujan masih rintik2. Udara dingin masih menerpa, tapi gelora semangat ukhuwah mulai menghangatkan keduanya. Hasballah lalu melanjutkan, “Apakah Anda belajar agama?”



“Mmm…yap! Di ma’had,” sebentar Ikhwan berpikir. Dia sadar yg. dimaksud Hasballah bukanlah belajar agama seperti di sekolah formal.



“Masya Allah. Ma’had Al Hikmah?” ternyata dia tahu Al Hikmah Bangka.



“Ooo, bkn. Saya belajar di ma’had Al Ishlah. Di Tangerang.”



“Jadi bkn. di Jakarta ya. Saya sendiri berniat masuk LIPIA. You know LIPIA?”



“Masya Allah, saya tahu LIPIA. Tempat belajar yg. hebat. Anda sudah mendaftar?”



“Blm. mrk. belum membuka pendaftaran. Tapi saya ingin sekali belajar di sana. Anda tahu, saya sblm.nya pernah kuliah di Pakistan.”



“O ya? Bagaimana kabar kaum muslimin di sana, terutama saat AS mulai menyerang Afghanistan?”



“Sebenarnya banyak sekali mahasiswa dari luar Pakistan yg. belajar di sana. Tapi setelah AS menyerang, banyak juga dari mrk. yg. kembali ke negaranya masing2. Ada juga lho, yg. dari Indonesia dan Malaysia.”



“Berapa lama Anda kuliah di Pakistan?”



“Dua tahun.”



“Tadi Anda menyebut-nyebut Al Hikmah. Anda tahu ma’had Al Hikmah?”



“Tentu. Banyak teman saya yg. belajar di sana. Di sana harokahnya banyak. Terutama Jama’ah Tabligh dan Ikhwanul Muslimin. Apa Anda juga ikut harokah?”



“Emm, saya ikut tarbiyah.” “Ooo, jadi Ikhwanul Muslimin ya. Tapi tdk. apa2, selama kita semua mengusung dakwah ilallah, memasyarakatkan sunnah rasul, kita adalah satu kesatuan. Tidak ada yg. lebih mulia, jadi tdk. perlu paksa-memaksa, merasa harokahnya lebih baik,” Ikhwan hanya mengangguk simbol membenarkan.



“Hasballah, berapa usia Anda?”



“Menurut Anda?”



“Hmm…sekitar 25.”



“Ya, sekitar itulah usia saya.”



“Berarti mudaan saya sedikit. Saya 23.”



“Masya Allah. Alhamdulillah, ternyata masih banyak sekali dai2 muda yg. peduli dgn. kondisi kaum muslimin saat ini. Bersama kita insya Allah dakwah ini akan berhasil.”



“Amin,” balas Ikhwan mengamini ucapan Hasballah.



Hujan tampak sudah reda. Ikhwan harus segera berjalan lagi menyelesaikan urusannya. Segera ia pamit kepada Hasballah u/ melanjutkan perjalanan.



“Hati2 di jln. saudaraku. Sekali-kali sempatkanlah u/ mengikuti pengajian kami!”



“Insya Allah, salam u/ yg. lain ya. Assalamu’alaikum.”



“Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh,” sebuah senyum melepas kepergian Ikhwan. Senyum dari Kenya.



Lalu Ikhwan memacu motornya, membelah jalan nan basah. Menembus udara dingin yang masih menerpa. Namun di dadanya saat ini ada sesuatu yg. terbakar. Sebuah gelora. Gelora ukhuwah. Gelora harokah.



Pagi hujan di hari Sabtu
Jazakallah u/ akh Yassin atas keakraban singkatnya
Hope we meet again

0 comments:

Post a Comment