Abul

on Thursday, January 6, 2005

Oleh : NR. Ina Huda



Tiba-tiba berita kematian Abul menggegerkan seisi kampung. Bahkan membuatku jadi terguncang. Abul adalah tokoh yang paling populer di kampung kami. Bukan, bukan karena dia orang penting, tokoh masyarakat ataupun selebritis. Tetapi sosoknya dikenal dan disukai hampir seisi kampung justru karena cerita-cerita yang mengalir dari mulutnya.
Dia bukanlah orang yang menarik dari segi penampilan. Tubuhnya kurus kecil, rambutnya merah kering dan mukanya tirus agak kepucat-pucatan. Tetapi tingkahnya selalu membuat orang senang. Dia suka sekali berkeliling kampung dan berhenti bila ada sekelompok orang, lalu dia akan bercerita dengan semangat tentang segala hal. Lebih sering yang menyangkut agama. Bukan berdakwah, tapi bahkan sering kali agak melecehkan sikap orang-orang yang sok agamis. Dia tidur di musala karena tak seorang pun tahu di mana sebenarnya rumahnya. Dia rajin membersihkan musala bahkan seringkali menjadi muazin bila waktu menunaikan salat tiba.
Aku ingat Abul pernah bercerita padaku tentang Badrun, tokoh yang entah datang dari mana.
“Badrun ini jagonya judi,” begitu dia membuka cerita. “Tak pernah sehari pun dia lewatkan tanpa berjudi. Judi apa saja. Dari menyabung ayam, klitikan pakai dadu, sampai keplek. Dan selalu, tentu saja seperti juga orang lain yang senang berjudi, dia tak pernah menang.”
“Dia punya kerjaan nggak?” tanyaku.
“Kerjanya ya judi itu,” sahut Abul.
“Lantas, dari mana dia dapat uang?”
“Dari meminta istrinya yang guru SD, atau orang tuanya, atau sekedar memalak teman-temannya.”
Kami yang mendengarkan jadi mencibir.
“Suatu kali, dia menipu istrinya. Sepeda yang biasa dipakai istrinya berangkat kerja, dipinjamnya. Katanya dia hendak mencari kerja ke pabrik. Tentu saja si istri tak keberatan. Dia berpikir, mungkin bila Badrun benar-benar mendapatkan pekerjaan, dia akan punya kesibukan dan berhenti berjudi. Karena itu, dia rela meminjamkan sepedanya dan berangkat naik angkutan umum. Tetapi ternyata seharian Badrun tak pulang. Istrinya mulai cemas. Lalu ketika malam harinya dia pulang, si istri menyambutnya dengan perasaan was-was. Dia melihat muka Badrun lecek, pakaiannya kotor bahkan sobek di sana-sini. Si istri berkata, ‘Ada apa denganmu?’ dan Badrun menunduk dengan muka sedih. ‘Sudah kamu dapatkan pekerjaan?’ Badrun menggeleng. ‘Lalu kenapa pakaianmu amburadul begitu?’ Badrun menatap istrinya dengan prihatin, lalu katanya, ‘Aku berkelahi dengan maling.’ Si istri tentu saja terkejut. Dan Badrun pun bercerita. Dia baru saja keluar dari pabrik tekstil setelah menemui bagian personalia untuk melamar menjadi buruh. Tiba-tiba dia melihat seorang maling sedang berusaha mencuri sepedanya di tempat parkir yang kebetulan agak sepi dan tak dijaga oleh Satpam. Tentu saja Badrun bereaksi. Ia mendekati maling itu, tetapi sang maling tiba-tiba memukulnya, Badrun membalas dan jadilah mereka berkelahi. Celakanya Badrun kalah, dan sang maling berhasil membawa kabur sepedanya.”
“Si istri memandang beberapa saat. Sorot matanya tidak menunjukkan bahwa dia percaya, namun juga tak menunjukkan dia curiga. Badrun menggenggam tangannya dan meminta maaf karena telah membuat istrinya kehilangan benda yang sesungguhnya sangat dibutuhkan. Tetapi karena si istri itu orang yang baik, dia segera memaafkan suaminya dan berkata lain kali dia harus lebih hati-hati.”
“Dan sepedanya benar-benar hilang?” tanyaku penasaran.
Abul tersenyum. “Tentu saja tidak. Badrun itu pembohong besar. Yang pasti sepeda itu telah dijualnya dan uangnya habis di meja judi.”
“Ooo.”
“Suatu kali istri Badrun merasa putus asa menghadapi tingkah suaminya. Dia pergi ke rumah seorang kiai dan mencurahkan keluh kesahnya di sana. Sang kiai menasihati, ‘Suruhlah Badrun mengenal Al-Quran supaya dia tahu hidup seperti apa yang seharusnya dijalani.’ Si istri menyampaikan hal itu pada Badrun. Badrun termangu-mangu, lalu berkata; ‘Aku, aku pun sebenarnya ingin bertobat. Barangkali benar ucapan Pak Kiai itu. Berilah aku uang, aku akan membeli Al-Quran, membacanya, memahami maknanya dan mudah-mudahan Tuhan memberikan jalan kebaikan buatku.’
“Karena Badrun mengatakan itu dengan serius dan khusyuk, si istri memberinya uang. Maka berangkatlah Badrun membeli Al- Quran. Tetapi di tengah jalan, tiba-tiba uang itu terjatuh dari saku celananya yang bolong. Badrun kebingungan. Dia kembali dan berkata pada istrinya, ‘Barangkali Tuhan belum mengizinkan aku bertobat. Uang itu hilang.’ Setelah itu Badrun kembali ke kebiasaannya, berjudi.”
Kami yang mendengarkan semua terdiam. Tetapi Abul tak berkata-kata lagi. Dia ngeloyor begitu saja meninggalkan kami.
Malamnya, aku mencoba merenungkan cerita Abul. Dan akhirnya sampai pada kesimpulan, bahwa taubat itu datangnya dari nurani yang bersangkutan, bukan dipaksakan. Bila orang telah menemukan jalan taubatnya, apa pun akan dilakukan dan Tuhan akan memberinya petunjuk. Bukan taubat yang disuruh-suruh dan akhirnya mencari berbagai alasan untuk membenarkan diri sendiri.
Suatu ketika Abul juga membuat orang-orang kampung tercenung. Saat suasana sedang ramai-ramainya karena warga kampung tengah memperingati maulid Nabi Muhammad saw. Ketika sedang istirahat setelah mendengarkan uraian Pak Kiai tentang makna peringatan itu, tiba-tiba seekor anjing besar lewat, dan berhenti di dekat orang-orang yang duduk di emperen musala. Mula-mula mereka tak menggubris. Tetapi ketika anjing itu menyalak dan menjulurkan lidahnya, beberapa wanita mulai ketakutan. Bukan apa-apa, anjing itu anjing liar dan dikuatirkan membawa rabies. Karena itu para wanita segera membaca ayat yang bunyinya; Summum bukmun ‘umyun fahum laa yarji’uun.... Tetapi anjing itu tetap saja menggonggong. Tiba-tiba Abul muncul. Dia mengucapkan ayat di atas keras-keras sambil tangannya meraih batu dan melemparkannya ke arah si anjing. Karuan saja anjing itu lari lintang-pukang. Dengan santainya Abul berkata, “Adakalanya doa saja tidak manjur. Seringkali doa harus dibarengi dengan usaha.”
Begitu sederhana kalimat itu, tetapi membuat kami semua tercenung. Dan kemudian semua menyetujui ucapan Abul.
Abul adalah lelaki sederhana, yang setiap hari berkeliling dari satu kampung ke kampung lainnya mengobral cerita. Tetapi selalu saja orang-orang menyukainya karena cerita-ceritanya senantiasa mengandung makna yang dalam.
“Kenapa kamu tak bekerja saja?” tanyaku suatu hari.
“Jangan dikira saya tidak bekerja, Mas,” sahutnya. “Saya masih sehat, dan kuat. Saya sering ngetem di pasar dan membantu ibu-ibu dengan membawakan belanjaan mereka, dan untuk itu saya mendapat upah. Yah, jadi kuli bongkok. Kalau pun saya senang berkeliling untuk bercerita, itu hanyalah salah satu cara saya mengisi waktu. Saya kan orang bodoh, sekolah pun cuma tamat SD, jadi hanya pekerjaan kasarlah yang bisa saya lakukan.”
Aku tersenyum sambil menatapnya.
“Ada sebuah cerita. Mas mau mendengarkan?”
Aku cepat-cepat mengangguk.
“Suatu ketika ada seorang yang cacat kakinya karena suatu kecelakaan dan tak bisa lagi bekerja. Seorang sahabatnya lewat dan menegurnya, ‘Mengapa kamu tidak bekerja? Bagaimana kamu bisa makan bila kamu tak bekerja?’ Orang itu menjawab, ‘Allah Maha Pemurah. Aku tak pernah takut tidak mendapat rezeki-Nya.’ Saat itu melintas di atas mereka seekor burung yang terbang dengan membawa makanan. Kedua orang itu memandanginya hingga di suatu tempat tiba-tiba burung itu menjatuhkan makanannya ke bawah. ketika mereka menengok ke arah bawah, mereka melihat seekor burung lain yang patah sayapnya dan tak bisa terbang. Rupayanya burung yang di atas itu mencarikan makanan buat temannya yang cedera. ‘Lihatlah,’ kata orang itu, ‘bahkan burung kecil yang tak bisa terbang pun tetap bisa makan.’ Si sahabat berkata’ memang benar, burung itu tetap bisa makan meski tak bisa terbang mencari sendiri makanan. Akan tetapi burung yang di atas pasti lebih mulia karena bisa terbang dan mencarikan makanan untuk temannya.”
Aku kagum pada cerita Abu. Tetapi Abul sendiri bersikap santai.
“Karena itu, aku harus tetap bekerja untuk mencari rezeki Allah. Aku tidak mau menjadi burung yang hanya bisa menggelepar menanti ada yang membari makanan.”
Beberapa hari belakangan ini Abul tidak muncul. Orang-orang di kampung menduga-duga apa yang telah terjadi padanya. Pak Sanu, Ketua RT kami menduga mungkin Abul sedang pulang ke desa asalnya entah di mana itu. Yang lain berpikir Abul sedang berkeliling di kampung lain yang letaknya cukup jauh. Tetapi di atas semua itu, sesungguhnya kami merasa cemas. Entah mengapa Abul telah menjadi bagian dari kami. Abul seperti sesuatu yang telah menyatu dengan jiwa kami sehingga terasa ada yang kurang bila ia tiba-tiba tak muncul.
Aku sendiri mencoba mencarinya di pasar, di tempat dia biasa ngetem. Tetapi ibu-ibu yang selama ini menerima jasanya pun pada kehilangan.
“Abul itu orangnya baik. Diberi berapa pun tak pernah mengeluh,” kata salah seorang ibu.
“Betul. Bahkan saya pernah memberinya cuma tiga ratus perak karena cuma segitu uang sisa belanja saya. Padahal belanjaan saya segunung. Dan dia mengeluarkan banyak keringat untuk membawakannya. Tetapi dia tersenyum dan mengucapkan terima kasih,” timpal ibu yang lain.
Aku semakin merasa kehilangan. Sosok Abul yang kurus kering dengan rambut merah dan muka pucatnya semakin nyata mengganggu perasaan kehilanganku. Abul memang bukan siapa-siapa. Dia bukan pejabat, tokoh masyarakat atau selebritis. Tetapi kehadirannya melebihi mereka di dalam satu sudut hatiku. Karena lewat Abul aku telah memperolah banyak pelajaran. Abul, di manakah kamu?
Genap satu minggu sejak ketidakmunculannya, ketika tiba-tiba kudengar berita yang mengejutkan. Abul meninggal dunia!
Berita itu sontak menggegerkan kampung kami. Semua hampir tidak mempercayainya, tetapi Somad, salah seorang tetangga kami yang membawa berita itu, mencoba meyakinkan.
“Benar, aku yakin orang itu Abul. Aku mengenalnya dengan baik.”
“Bagaimana dia meninggal?” tanyaku penasaran.
“Kebetulan tadi aku sedang beristirahat di mushola kampung Jetayu. Hari-hari belakangan ini Abul memang berada di kampung itu. Aku baru pulang dari rumah Agus sehabis menjual ayam. Di musholla itu kulihat orang-orang tiba-tiba berkerumun di sumur. Karena penasaran aku ikut melihat. Apa yang terjadi?” Somad memandang kami satu persatu. Kami semua menggeleng dengan penuh rasa cemas.
“Abul sudah tergeletak di sana. Kepalanya berdarah.”
“Bagaimana itu bisa terjadi?” tanya Pak RT dengan terkejut.
“Kata orang-orang di sana, dia terpeleset ketika sedang menimba. Abul menimba air untuk mengisi bak di kamar mandi musholla itu.”
Abul meninggal karena terpeleset di sumur ketika sedang menimba air? Betapa sederhananya kematiannya.
“Mungkin geger otak,” kata Somad lagi.
“Apakah tidak ada yang mencoba menolongnya?” tanya Umar.
“Orang-orang membawanya ke Puskesmas terdekat, tetapi nyawanya tidak tertolong. Kepalanya memar dan dia banyak mengeluarkan darah.”
Orang-orang tertunduk. Aku sendiri tak menyadari airmataku tiba-tiba menetes. Tetapi aku tak ingin menghapusnya. Tak perlu malu. Abul adalah bagian dari kehidupan kami. Abul adalah sosok yang tanpa disadarinya telah banyak membawa kesadaran di hati kami. Kesadaran akan hidup dan makna kehidupan. Abul begitu berharga bagi kami. Tetapi Allah telah memangilnya, dengan cara yang begitu sederhana. Sesederhana pikiran-pikiran Abul, cerita-cerita Abul, namun senantiasa mengandung makna yang dalam.
Atas kesepakatan bersama, jenazah Abul dikuburkan di kampung kami, dan kami semua mendoakan kepergiannya dengan tulus.
Ketika meninggalkan makam Abul, aku ingat kata-katanya tentang kematian, “Seperti pintu yang terbuka setiap waktu, dan semua orang harus melewatinya. Tetapi hanya orang-orang yang dicintai Allah yang merasakan kematian sebagai perjalanan yang indah menuju keabadian.”



sumber : Annida

0 comments:

Post a Comment