Ketika Rijal Harus Memilih

on Thursday, January 6, 2005

Mentari pagi menemani perjalanan Rijal ke sekolahnya. Ada sekitar 300 meteran dari jalan raya menuju sekolah Rijal. Perjalanan itu ia lalui dengan kecepatan sedang, karena waktu baru menunjukkan pukul 06.45 WIB. Sedangkan ia baru masuk pada pukul 07.15 WIB.



Sinar mentari tidak-lah terlalu garang. Justru bersahabat karena sinar mudanya menyehatkan tubuh. Namun Rijal sama sekali tidak tertarik untuk menikmati sinarnya. Karena ia sedang gamang, hatinya pada kegundahan yang bergelora.



“Lihat Juli, kakakmu, Rijal! Dia aktif. Ketua OSIS di sekolah-nya waktu dia masih SMU. Bahkan kesibukannya jadi ketua OSIS, tidak menghalangi dia untuk tetap jadi juara kelas.” Tukas Papa Rijal suatu ketika, sorenya saat hari itu dia dinyatakan diterima di salah satu SMU di Bandar Lampung. Memang bukan sekolah unggulan pertama, tapi SMU yang akan dia masuki itu berada di jajaran SMU favorite di kotanya.



“Tapi Pa, kan Rijal sibuk di Grup Band Rijal. Rijal nggak bisa ikut kegiatan gituan. Nggak ada waktu.”



“Kamu ini. Apa sih yang didapat dari main band? Cuma sekedar hura-hura. Nggak ada manfaatnya itu.”



“Ah Papa. Musik kan juga bisa ngasilin uang.”



“Memang, Tapi Papa nggak mau kalau kamu besar nanti jadi pemusik. Nggak kepingin tah kamu jadi Om Heru? Sekarang jadi menejer di perusahan besar. Masa depannya lebih terjamin. Kalau kamu cuma jadi pemusik, kamu cuma bisa dapat uang banyak waktu kamu terkenal saja. Saat kamu tidak lagi terkenal, otomatis karirmu terhenti.”



“Papa selalu deh ngebandingin Rijal dengan orang laen. Rijal pengen jadi diri Rijal sendiri.”



“Rijal, sampai kapan kamu selalu membantah omongan orang tua?”



“Sudah-sudah. Jangan bertengkar terus. Nggak Papa, nggak anak, selalu ribut, selalu beda pendapat. Coba sekali-kali akur gitu.” Mama Rijal menengahi keributan itu. “Rijal, katanya kamu ada latihan jam lima. Ini sudah jam empat lho. Mandi lagi sana.” Lanjut Mam Rijal.



“Ih, ibu ini. Malah memberi kesempatan Rijal hura-hura dengan teman-temannya.”



“Nggak papa tho Pa, dia kan masih muda. Perlu kesenangan juga. Kita kan dulu pernah muda juga.” Bela Mama Rijal.



“Ah, nggak Mamanya, nggak anaknya, semua pada suka membantah.” Papa Rijal kesal. Dan kemudian meneruskan bacaan korannya.



Dialog itu membayang di benak Rijal. Mengantarnya ke kelas yang baru seminggu ia tempati.



Begitulah, Rijal dituntut oleh kedua orangtuanya untuk mengikuti jejak kakaknya. Aktif di organisasi dan berprestasi besar. Dia sendiri ogah untuk mengikuti organisasi di sekolah barunya. Dia lebih cenderung untuk menyibukkan diri dengan teman-temannya di grup bandnya. Itulah yang menyebabkannya bimbang kini.



*****



“Rendi, lu ikut yang mana kira-kira. Paskibra, PMR, Pramuka, KIR, Pecinta Alam, Olahraga? Atau lu mau ikut Ro… apaan tuh yang ada islam-islamnya?” Tanya Rijal kepada Rendi, temannya yang baru seminggu ia kenal semenjak Masa Orientasi Siswa.



Ini hari terakhir Masa Orientasi Siswa, atau yang disingkat dengan MOS. Ada pertunjukkan dari semua organisasi ekstrakurikuler di lapangan. Semua siswa kelas satu berada di pinggir lapangan menyaksikan pertunjukan yang akan dibawakan oleh kakak kelasnya, yang merupakan utusan dari ekskulnya masing-masing.



“Rohis maksud lu?” Tanya Rendi balik.



“Yo’e. Lu tertarik? Biar jadi alim kan. Ciee.”



“Nggak tau tuh. Males kayaknya ikut ekskul. Mendingan gua maen play station di rumah. Nggak diwajibin kan ikut ekskul?”



“Nggak kok. Kalau sama sekolah nggak diwajibin. Tapi kalo sama ortu gua diwajibin. Gua harus ikut biar kayak kakak gua yang dulu ketua OSIS. Pusing juga gua jadinya.”



“Kaciaan.”



“Lu jadi penasehat gua ya, Ren. Tunjukin yang mana kira-kira ekskul yang cocok untuk orang cute kayak gua ini.”



“Ok deeh.”



Sebuah organisasi mendapat giliran mengadakan pertunjukkan di tengah lapangan. Mereka membawa dua bejana kecil, berisi zat kimia. Kemudian mencampurnya di atas meja yang telah di persiapkan. Asap warna warni tak lama mengepul dari bejana yang telah dicampur dua zat berlainan itu. Penonton bertepuk tangan.



“Itu aja Jal. Nambah pengetahuan lu kan.” Nasehat Rendi.



“Ih, gua ogah sama yang begituan. Nanti botak lagi kepala gua.”



“Dasar lu, ngomong aja kalo lu bego.”



Tak lama, gantian sebuah organisasi mengadakan pertunjukan baris berbaris di depan.



“Nah, itu aja. Bisa nambah disiplin.” Nasehat Rendi lagi.



“Ah males. Gua mau yang bebas. Nggak mau yang diatur-atur.”



“Dasar lu, ngomong aja kalo lu pemales.”



Kemudian sebuah organisasi mengadakan pertunjukkan. Tujuh orang maju ke depan. Mereka menyanyikan lagu keislaman. Suaranya cukup harmonis. Lirik lagunya pun menyentuh.



“Nah, itu aja. Biar lu jadi anak yang soleh.”



“Ah males. Ngaji gua belum lancar. Lagian tuh grup musik kok aneh? Nggak make alat musik.”



“Oh, itu namanya nasyid. Memang nggak make musik. Tapi make suara mulut kayak acapella.”



“Ih, kuno amat ya? Enakan dengerin Padi, musiknya ok punya. Nggak mau lah gua ikut begituan.”



“Dasar lu, ngomong aja kalo lu bejat.”



“Lu komentar m’lulu dari tadi.” Rijal sebal.



Akhirnya sampai selesai acara, tidak ada satu organisasi pun yang tertarik di hati Rijal. Ia lebih menggandrungi dunia musik. Dari pada ikut organisasi ekstra kurikuler.



*****



Sholat jum’at sudah selesai dilaksanakan di masjid sekolah Rijal. Murid dan guru sudah banyak yang meninggalkan masjid. Rijal masih terpaku di tempat duduknya. Terngiang kembali perdebatan alot antara dia dan orangtuanya.



“Nggak ada yang menarik Paa. Ngeliat pertamanya aja udah bosen. Papa ini gimana sih. Orang nggak mau juga, pake dipaksain segala.” Suara Rijal meninggi setelah dia didesak oleh Papanya untuk mengikuti salah satu organisasi ekstrakurikuler di sekolahnya.



“Ini kan juga untuk kepentingan kamu.”



“Kepentingan sih kepentingan. Tapi liat selera orang dong. Masak yang nggak selera di paksain. Nanti muntah jadinya.”



“Pokoknya Papa nggak mengizinkan kamu ikut band lagi. Papa nggak akan membelikan kamu gitar listrik. Dan uang jajan kamu juga akan dikurangi kalau tidak mau ikut organisasi di sekolah. Titik.” Papa Rijal mengeras. Kemudian berlalu memasuki kamarnya.



Tinggal Rijal terpekur ditemani ibunya.



“Ikut saja lah kata Papamu itu. Toh, Papa itu sayang kamu. Ingin melihat kamu jadi orang besar nantinya.” Suara Mama Rijal lembut.



“Ma… Mama masih bisa ngertiin Rijal kan?”



“Ia sayang.”



“Rijal pengen jadi apa yang Rijal mauin. Rijal nggak suka dipaksa-paksa.”



“Ok, Rijal sekarang pengen jadi pemusik. Tapi ingat, Rijal masih muda. Keingingannya sering berubah-ubah. Dulu Rijal ingin jadi pilot, eh nggak lama berrubah ingin jadi astronot. Seperti Tasya saja. Lalu Rijal lihat orang pembawa bendera, Rijal ingin menjadi paskibraka. Tak lama Rijal melihat paskibraka itu menyerahkan bendera kepada pesiden, eh Rijal malah ingin jadi presiden.”



Rijal tersenyum lucu. “Iya ya Ma. Terus, gimana dong Rijal. Rijal sekarang pengen bener jadi pemusik.”



“Udah, gini aja. Rijal ikut aja dulu organisasi, lalu kalau Rijal tidak betah, Rijal boleh keluar. Terus Rijal lanjutin maen musiknya. Insya Allah Mama nanti yang bilangin ke Papa.”



Rijal tersenyum girang. Mamanya selalu menjadi penyejuk duka. “Makasih ya, Ma.”



Rijal menemukan jalan keluarnya. Dan kini dia berupaya membetahkan diri untuk mengikuti organisasi. Namun organisasi yang mana yang ia ikuti?



“Assalamualaikum..” Sebuah sapaan membuyarkan lamunan Rijal yang sedari tadi terpekur di masjid sekolahnya.



“Wa..waalaikum salam.” Rijal terkejut.



“Ayo Dik, kumpul.” Seorang kakak mengajaknya bergabung ke salah satu lingkaran di sudut masjid. “Yang lain sudah duluan.



Rijal tak mengerti. Tapi diikutinya juga perintah kakak kelas itu.



Rijal baru tahu. Ini seperti sebuah acara pengajian. Ada membaca Al-Qur’an bergiliran. Dan ada ceramah seperti yang diikutinya saat ini.



“Islam itu agama yang indah dan sempurna. Karena dikonsep oleh Dzat Yang Maha Indah dan Maha Sempurna. Ajaran Islam mencakup dari persoalan ibadah, kedisiplinan, keilmuan, sampai kesenian.”



Rijal mengerti. Ini acara Rohis. Rohani Islam.



“Islam mengajarkan disiplin. Contohnya adalah sholat lima waktu. Islam mewajibkan kita menuntut ilmu. Sehingga lahirlah sosok Ibnu Sina. Islam menyuruh kita berolahraga, seperti memanah, berkuda, beladiri, dan sebagainya. Islam juga memiliki kesenian. Contohnya yang sudah dibawakan oleh kakak-kakak kita saat pertunjukkan kemarin. Sudah lihat kan?”



“Sudah.” Jawab anak yang lain.



“Kemarin itu namanya nasyid. Seni Islam sebagai alternatif dari seni yang ada. Yang cenderung mempengaruhi pemuda Islam untuk terkapar di lumpur yang bernama dunia. Dan melupakan akhirat.



Seni Islam lahir untuk menyaingi itu semua. Syairnya mengajarkan cinta kasih Islam. Dan nggak kalah bagus kan?”



Rijal membenarkan di hatinya. Memang bagus. Dan liriknya juga indah.



Hidayah Allah mulai menyentuh hati Rijal.



Dan acara itu berakhir. Rijal terkesan dengan penggambaran Islam oleh Kak Syaiful tadi. Selama ini, ia hanya terkukung dengan pemahaman Islam yang terbatas. Kak Syaiful telah membuka jendela hatinya, melihat bahwa Islam begitu luas dan lapang. Tidak seperti yang selama ini ia pikirkan.



Ia mengakui kalau dirinya selama ini malas menerapkan Islam dan malu apabila terlihat beratribut Islam. Seharusnya dia bangga.



Rijal mengerti kini. Ia telah mendapatkan jawabannya.



*****



“Ma, Rijal udah nemuin ekskul yang oke punya.” Ungkap Rijal pada Mamanya di malam harinya.



Mamanya sedang membaca majalah di ruang tengah.



“Oya?”



“Iya. Organisasi itu bener-bener hebat. Bisa ngebahagiain Rijal dunia maupun akhirat.”



“Dunia akhirat?” Tanya Mamanya menyelidik.



“Iya. Rohani Islam namanya. Mama setuju kan?”



Mata Mama Rijal berbinar. Selama ini Rijal sulit apabila disuruh belajar mengaji. Walau sudah didatangkan ustadz. Apalagi untuk belajar ilmu keislaman.



Padahal Mama Rijal terlanjur membayangkan ada anaknya yang mengajarinya ilmu keislaman kelak. Yang mengingatinya untuk sholat apabila ia sudah pikun nanti. Dan bayangan itu hampir hilang, karena tidak ada satu pun anaknya yang mau belajar Islam. Juli, kakak Rijal, lebih kepada belajar dan berorganisasi saja. Dan organisasi yang diikutinya tidak ada yang berbau keislaman. Juli sudah dibujuk oleh Mamanya untuk ikut acara Remaja Islam Masjid di Masjid dekat rumah. Namun ia tidak mau.



Rijal lain lagi, ia sibuk dengan musiknya.



Dan kini, Rijal-lah harapan itu.



“Rijal mau aktif di sana, Insya Allah.”



“Alhamdulillah. Mama senang mendengarnya.”



Air mata Mama Rijal meleleh. Di dekapnya kepala anaknya



sumber : muslimmuda.com

0 comments:

Post a Comment