Koran Gondrong

on Thursday, January 6, 2005

Sejak dahulu hingga sekarang, tak seorangpun dalam keluarga kami yang seperti Niq, gondrong! Kecuali yang perempuan, tentu saja. Kakek, Paman, Ayah, Bang Faris, semua selalu berpenampilan necis dan keren. Necis orang bilang.



“Pokoknya Niq suka begini!” kata adikku itu suatu ketika.
“Memangnya ada yang dirugikan kalau Niq gondrong? Rambut-rambut gue …” katanya cuek.
“Bukan gitu, Niq. Kamu tuh jadi kayak cewek. Apalagi kalau dilihat dari belakang,” tegurku tak suka.



“Kak Wiwi aja yang kuno, norak. Sekarang emang jamannya begini. Lihat aja anak-anak kampus Niq, rata-rata kayak Niq. Keren!”
“Kucel, kumal, serem …” potongku sewot.
“Niq ganteng, bersih, dan banyak yang naksir!” tambah Niq tak mau kalah, sambir menyisir rambutnya yang sepinggang itu. Aku mencibir.



“Jangan suka menghina deh, Kak! Rasulullah aja gondrong, kok!” kata Niq akhirnya sambil ngeloyor meninggalkanku.
Aku bengong. Manyun. Rasulullah? Gondrong? Hah, tahu dari mana tuh anak?



Tak kupungkiri, Niq memang berbeda dengan cowok-cowok gondrong lainnya. Rambutnya tebal, hitam dan mengkilap. Ia rajin sekali merawatnya. Terkadang kupergoki Niq melumuri rambutnya dengan kemiri.



Lain waktu, saat Ibu ribut mencari jeruk nipis yang baru dibelinya di pasar, kutemui Niq asyik memeras jeruk-jeruk nipis itu sebelum akhirnya membasuh dan memijat kepalanya dengan ‘belanjaan’ Ibu itu. Lain waktu pakai rumput lautlah, madulah …, pokoknya heboh.



“Hoi, siapa di kamar mandi? Niq, ya? Buruan, dong!!!” teriak Bang Faris. “Bisa terlambat aku ke kantor,” katanya sambil melirikku.
“Sabar dong, Bang! Niq lagi keramas!” suara Niq santai dari kamar mandi.



Kami saling lirik. Kalau Niq udah keramas, mendingan jangan ditungguin. Bisa ‘botak sariawan’ kita. Soalnya cuci bilasnya saja sampai lima kali. Belum pakai hair tonic, cem-ceman, lidah buaya dan sebagainya. Malah ditambah berdoremi di kamar mandi lagi. Maklum aja, anak IKJ jurusan musik!
“Sudah, mandi di kamar Ibu aja, Ris,” suara Ibu. “Kamu juga, Wi. Jangan ribut pagi-pagi.”



***
“Pokoknya Niq, kalau kamu mau merapikan rambut kamu, Kak Wiwi kasih dua puluh ribu, deh!” kataku saat berada di meja makan.
Semua tersenyum.
“Ogahlah yau. Rambut Niq lebih mahal dari itu.”
“Lima puluh ribu, deh!” kataku lagi.
Niq Cuma nyengir. “Sorry. Not for sale!”
“Seratus ribu!” seruku sambil memasukkan sepotong tempe ke dalam mulut. “Biar kubedol celenganku!”



Ayah dan Ibu geleng-geleng kepala. Niq tak bergeming.
“Dua ratus ribu lagi dariku!” tambah Bang Faris tiba-tiba.
Niq senyam-senyum. “Ditukar motor pun belum tentu Niq mau!” katanya menang.



“Memangnya rambut kamu itu ada apanya, sih?” cetusku kesal.
“Kekuatan … ceila!” ujar Niq gede rasa.
“Emangnya Samson!?” ledekku.



“Sudah-sudah. Ayah tambah sertus lima puluh lagi, deh,” kata Ayah sambil menambahkan nasi ke piring.
Aku surprise!
“Ibu juga sama,” tambah Ibu. “Gimana, Niq? Kamu berubah pikiran?”



Niq masih menggeleng. Mantap sekali! Tujuh ratus ribu baginya tak berarti dibandingkan ‘kekuatan’ itu? Uh, sebel!



***



“Koran!”
Seperti biasa pagi ini kulihat Niq berlari menghampiri Udin, bocah SD tukang koran langganan kami itu. Kalau soal baca koran, Niq memang nomor satu. Nggak mau ketinggalan berita, begitu katanya.



Dari jauh kulihat mereka bercakap-cakap sebentar. Entah apa yang mereka bicarakan. Aku hanya sempat melihat Niq menepuk-nepuk pundak Udin, akrab. Lalu tiba-tiba saja mataku menangkap sesuatu pada sosok Udin. Ya ampun, sejak kapan rambutnya jadi sebahu?! Gondrong!



“Kok si Udin jadi gondrong sih, Niq?” tanyaku sambil tergesa-gesa memakai sepatu. Satu jam lagi kuliah terakhir Bu Sijunjung. Aku tak boleh telat!



“Katanya mumpung liburan. Biar keren kayak Om Niq,” jawab Niq sekenanya sambil membuka lembaran koran.
Aku mesem. Belagu!



“Eh, Kak Wi, mau ikutan ke Gunung Salak nggak? Anak-anak kampus ngadain pendakian sama baksos. Orang luar juga boleh ikut,” kata Niq tiba-tiba. Matanya sesaat lepas dari koran, dan tangannya memilin-milin ujung rambut gondrongnya.



Aku nyengir. Dahulu, sebelum pakai jilbab,aku memang pendaki handal. Niq belum lupa itu.
“Nitip baju bekas aja, deh, buat baksos.” Kuraih tasku dan bersiap pergi.



Niq ngangguk. “Boleh! Bilangin sama Bang Faris, Kak. Biar dia nyumbang juga!” kata Niq nyengir. “Kasihan masyarakat di sana. Malah tanahnya banyak direbut orang kota!” teriaknya sebelum aku berlalu.



Di dalam bus, wajah Niq terus terbayang....



Adikku itu gagah, tegar, dan terkesan garang, tetapi sebenarnya lembut hati dan senang menolong. Ia juga punya banyak teman. Namun biar bagaimanapun, rasanya aneh bukan, seorang aktivis rohis punya adik model Bob Marley?
“Bob Marley yang ini rajin shalat, lho! Niq kan metal Islam,” kata Niq suatu ketika.



“Tapi kamu tahu nggak, arti namamu sebenarnya?”
“Aniq Hanif? Oh ya, Niq, kok nggak pernah nanya sama Ayah Ibu, ya?” cengirnya sambil membetulkan senar gitarnya yang putus.



“Artinya rapi dan baik. Dan kalau lihat kamu sekarang, nama itu kurang sesuai,” kataku.



“Sesuai. Percayalah padaku, kakakku sayang,” katanya sok romantis. “Tanyakan saja pada rumput laut dan jeruk nipis!”
Iiiih, Niq!



“Kampus! Kampus!” Suara kenek bus mengagetkanku. Aku pun buru-buru turun. Dug! Pakai kesandung lagi! Ups, aku hampir jatuh dan …
“Maaf,” kataku saat kusadari sepatuku sempat menginjak kaki orang.



Lelaki gondrong yang bergelantungan dan beralas sandal jepit itu diam. Melotot padaku.
Aku bergidik. Buru-buru turun.
***



“Coba deh, Da. Suruh Niq pangkas. Biar rapi,” kataku pada Ida, teman dekat Niq, setengah berbisik, saat dia berkunjung ke rumah.



“Udah, Kak. Dianya nggak mau!” jawab Ida enteng.
Aku menarik napas panjang. Sungguh, aku nggak pernah setuju Niq pacaran dengan Ida. Bagiku nggak ada konsep pacaran dalam Islam. Tapi … mau tidak mau kali ini aku harus memanfaatkan Ida untuk ngomong dengan Niq.



“Coba deh kamu jujur, kamu nggak suka kan kalo Niq gondrong?” tanyaku pelan.
Ida menyeruput teh manis yang kusediakan. “Oh … eh … ng, gimana ya, Kak? Suka juga. Abis macho, sih,” ujarnya kemudian malu-malu.



Aku geregetan. Duh, gimana, nih? Siapa lagi yang bias menasihati si Gondrong itu?



“Ini kan jaman kemerekaan. Demokrasi,” masih kuingat kata Ayah, bagai anggota DPR. “Terserah dia sajalah, Wi. Nggak usah dipaksa-paksa.”
“Ibu juga sependapat. Yang penting, dia tidak rusak seperti anak tetangga sebelah itu!”



“Ah, Cuma buang-buang waktu, nasihati dia!” kata Bang Faris. “Mendingan ngurusin kerjaanku.”



Nah, tujuh ratus ribu aja, ditolak!
“Ayo, dong, Da! Kalau kamu bisa bujuk Niq, Kakak beri hadiah, deh!” rayuku lagi.



Ida, yang hingga sekarang masih berbiat jadi artis sinetron itu membetulkan letak duduknya. “Gimana, ya? Yaaa, Ida coba deh. Tapi, nggak janji, lho!”



Tiba-tiba Niq muncul. Rambutnya rapat dibungkus handuk. “Sorry ya, kemirinya belum meresap, Da,” ujarnya, santai. “Habis itu mesti dibilas lagi, baru dikeringin. Gue nggak suka pakai hair drayer. Bisa bikin rusak rambut! Sabar ya, Non?”
Ida diam saja. Mesem.



“Kalah sama kemiri,” bisikku. “Dua hari lalu kalah sama alpukat, ya?”
Ida menukar posisi duduk dan mengaduk teh manisnya. Rasain!



***



“Koran!” suara Udin terdengar agak serak pagi ini.
Aku mengintip dari balik tirai. Niq dan Udin tertawa-tawa. Masing-masing memegang rambut gondrongnya. Apa coba?
“Hati-hati ya, Din! Ingat, kalau ada apa-apa pager, aja!” kata Niq. Kulihat Udin mengangguk. Kemudian menggenjot sepedanya dan berlalu.



Aku keluar.
“Lho, kirain udah pergi rapat lagi,” sapa Niq. “Ayah dan Bang Faris malah pagi-pagi banget udah pergi.”
“Belum.” Kuraih salah satu koran langganan kami. Ooo …!



Dasar koran kriminal. Beritanya tentang pembunuhan, perampokan, perkosaan, dan pengeroyokan. Tiba-tiba mataku memandang sebuah foto yang terpampang di situ. Lalu mataku bergerak memandang foto-foto lainnya. Masya Allah!



“Ehm .. hm …” aku berdehem.
“Kenapa, Kak?”
“Lihat foto-foto di koran ini …”
“Kenapa?” Niq meraih koran itu.



“Penjahatnya kok, gondrong semua …” kataku pelan.
“Huh, Sara! Banyak kok, orang gondrong berhati mulia! Wajah Niq mengeras. “Jangan terpengaruh gitu dong, Kak?!”
Aku mengangkat bahu dan meninggalkan Niq sendiri. Galau.



***



“Hari ini, di kampus, aku dan teman-teman aktivis Rohis berkumpul di mushala. Lepas sholat zuhur, kami mengadakan rapat untuk acara pesantren kilat (sanlat) mengisi liburan.



“Ajak aja Niq, Wi!” kata Ratna. “Ikhwan panitia juga banyak yang mengajak adiknya.”
“Ngajak Niq? Ke laut, aja!” ledekku. “Sejak kapan dia berminat?”
“Hus, nggak boleh gitu. Namanya hidayah, siapa tahu?” timpal Kiki.



Aku menggeleng. Susah mengajak Niq ke acara-acara seperti itu. Dia mau shalat saja aku sudah syukur banget!
“Rambutnya belum dipotong juga?” Tanya Ratna tiba-tiba. Ratna dan Kiki memang orang kampus yang paling tahu tentang keluargaku.



“Belum,” jawabku pendek.
“Hati-hati lho, Wi. Bukan apa-apa. Biasanya cowok gondrong itu sering dikira preman, sering juga dikira anak bandel. Pemabuk atau pemadat!”



Aku agak tersinggung dengan ucapan Ratna. “Niq nggak begitu, kok!”
“Iya, aku tahu.” Ratna menjajari langkahku. “Jaga-jaga saja. Kamu tahu nggak, anak-anak kiri di kampus kita rata-rata gondrong. Lalu … setiap ada kerusuhan di Jakarta, itu kan banyak cowok-cowok gondrong yang terlibat.”



Alisku terangkat.
“Selain Budiman Sudjatmiko, anak-anak PRD itu banyak yang gondrong!”
“Iya, bilang sama Niq, jangan sampai kalau ada apa-apa, dia yang kena!” timpal Kiki. “Orang jaman sekarang kan sering salah paham dan suka mencari kambing hitam!”
Ooo …! Kok, ngomongnya jadi pada ngelantur sih?



***



“Kok, diam saja dari tadi, Wi? Ada masalah?” Tanya Ibu lembut.
Aku menggeleng. Kulirik jam di dinding. Pukul 23.30, dan Niq belum juga pulang.



“Niq, kok, belum pulang sih, Bu?’
“Katanya latihan band di Grogol. Di rumahnya si Dodo!” suara ayah yang masih betah menonton televisi.



“Astaghfirullah. Perasaan Wiwi kok, nggak enak, ya?!”
“Aku juga, Wi. Soalnya tadi dia bilang mau pulang cepat. Film di tivi bagus!” Bang Faris menghampiriku.



“Aduh … gimana, ya?”
“Kenapa, sih?” desak Ibu yang sudah beberapa kali kulihat menguap.



“Wiwi … khawatir …”
“Cerita, dong!” desak Ibu.
Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tak gatal. Lalu tiba-tiba semua yang dikatakan Ratna dan Kiki mengalir. Kuceritakan kepada Ibu, Ayah, dan Bang Faris.



Dan … semua diam. Duh, aku jadi merasa bersalah! Sementara dentang jam dinding sudah menunjukkan pukul dua belas malam.



Kita doakan saja tak terjadi apa-apa,” kata Ayah. Waktu terus berlalu dan kami benar-benar tak bisa tidur! Sesekali pandangan kami mengarah pada telepon di ruang tamu.



Tepat pukul 01.00 pintu diketuk. Aku bangkit dan mengintip jendela. “Bukan Niq! Temannya kali! Bang Faris aja, yang buka!” kataku ketika melihat sosok asing dari balik jendela.
Semua berpandangan. Ayah dan Bang Faris bangkit, mengintip jendela, kemudian membuka pntu.
Seorang pemuda berambut rapi. Baju putihnya berdarah. Kami berempat menatap tak percaya! Niq!



Ibu langsung memeluk Niq panik! “Kamu kenapa? Ya Allah, bajumu berdarah?”
“Ya Robby …” bibirku kelu. Dengkulku lemas. Sementara aku masih menatap wajah Niq aneh. Dia tak gondrong lagi! Apa pula ini? Ah …



“Niq nggak jadi latihan band. Sebenarnya tadi mau langsung pulang … “
“Tapi?” Tanya Ayah tak sabar.



“Niq ketemu Udin.”
“Udin? Tukang Koran kita?” tanyaku beruntun.
Niq mengangguk. “Dia digebuk beberapa berandalan yang mau merampas duitnya. Niq nggak bisa membiarkan …”



“Lan … tas?” suara Ibu bergetar.
“Niq berantem. Berandalan itu kabur setelah Niq dan Udin berteriak minta tolong. Niq luka sedikit kena clurit.”



Wajah kami pias. Ya Allah, adikku kena clurit!
“Tapi nggak apa, sudah ke poliklinik. Maaf, Niq nggak telepon. Takut semua panik.”



Kami menarik napas lega. Ibu membelai Niq dan sesaat mengusap lebam wajahnya. Ayah menepuk bahunya. Bang Faris tercenung, sementara aku menatap Niq tak berkedip. Rambut gondrongnya benar-benar sudah raib!



“Ram … ram .. butmu?”
Niq tersenyum. Kami jadi bingung.
“Buat Udin,” jawabnya pendek.
“Buat Udin? Buat apa?” Tanya kami hampir serempak. Emangnya Udin butuh rambut???



“Udin butuh duit buat lanjutin sekolah. Dia kan anak yatim dan ibunya cuma tukang cuci. Jadi … tadi Niq pangkas rambut agar uang yang tujuh ratus ribu itu bisa buat sekolah Udin dan modal emaknya buka warung.”



Kami terbelalak. “Tujuh ratus ribu?” Tanya Ayah.
“Ya, yang dulu dijanjiin kalau Niq mau potong rambut. Masih berlaku, kan? Kalau bisa, besok duitnya sudah ada, ya?” Niq nyengir kuda.



“Rambut sih, bisa panjang lagi!” tambahnya badung.
“Hah?” semua berpandangan, mengerutkan kening.
Akan tetapi, mataku berkaca-kaca.



***



sumber : moslemworld.co.id

0 comments:

Post a Comment