Memori Sepotong Coklat

on Thursday, January 6, 2005

Oleh : Ai Varidah



Silverqueen ‘95
Hem! Nyam! Nyam!
Kiran termangu-mangu di sebuah mini market. Ditengoknya kantong seragam yang di depannya ada label OSIS warna cokelat. Emh, hanya ada selembar gopek lecek yang nongkrong di sana. Itu pun buat ongkos pulang. Mana cukup!
“Heh, yuk ah. Aku cuma beli parfum doang,” tahu-tahu Rima telah menarik lengannya.
Yaa, Kiran yang memang datang ke mini market ini hanya ngantar Rima, mau tak mau mesti nurut. Kakinya melangkah, tapi matanya masih meleng ke belakang.
“Eh, lihat apaan sih?” Rima sadar jika sobatnya tertarik sesuatu, “Ooh..., Silverqueen. Mau?” Rima tertawa meledek.
“Huss! Malu-maluin aja kamu. Sana cepet bayar!” Kiran mendorong Rima ke arah kasir. Huh! Dasar anak ini. Bikin wajah memerah saja. Untung tidak ada yang merperhatikan.
Kiran dan Rima baru saja ke luar ketika tiba-tiba mata mereka menangkap sosok jangkung.
“Hei, Iwang!” teriak Rima nyaring tanpa bas.
Dag-dig-dug! Jantung Kiran tiba-tiba berdegup kencang. Aduh! Gimana ini? Belakangan Kiran suka salting kalau ketemu Iwang. Hayo kenapa? Padahal mereka satu kelas lho.
“Hei, lagi pada ngapain, Non?” Iwang mendekat, “Belon pada pulang nih?”
“Kebetulan baru mau. Kita bareng ya, Wang? Kita kan bisa nebeng ongkos. Tul nggak, Ran?” Rima mengedipkan matanya ke arah Kiran yang tengah asyik merasakan panas dingin di sekujur tubuhnya. Kiran hanya tersenyum gugup.
“Mimpi apa gue semalam, siang-siang dibajak gini. Tapi tidak apa-apa, bajak lautnya ‘kan imut-imut,” Iwang tertawa.
Sebuah angkot lewat. Iwang buru-buru menyetopnya. Bertiga mereka naik.
“Heh, sakit gigi ya, Ran? Diem aja sih,” Iwang mulai memperhatikan Kiran setelah lelah telinganya mendengarkan Rima yang rame bercas-cis-cus.
“Masih ingat Silverqueen ya? Aduh, kalo tadi dokuku masih ada pasti dibeliin.”
Asem tuh Rima! Berani-beraninya ia buka kartu di depan cowok ini. Wajah Kiran makin mirip kepiting rebus.
“Ooh, pingin Silverqueen. Entar dah tak gue beliin,” Iwang tertawa.



Silverqueen Oktober ‘95
“Eh… Teh Ian, ini apa?” Ros, adik Kiran yang masih cadel, tiba-tiba mengacungkan sebuah bungkusan dari dalam tas sekolah Kiran.
Kiran menoleh kaget. Bungkusan dari mana itu?
Kiran baru saja pulang sekolah dan melempar tasnya ke kasur. Kemudian Ros datang dan merazia tas warna biru dongker itu. Emang jadi kebiasaan tuh anak setelah sering mendapatkan permen dalam tas kakaknya.
Sementara Kiran bengong, tangan mungil Ros telah merobek kertas kado bunga-bunga warna pink itu.
“Aciik...! Cokyat!” teriaknya riang, “Teh Ian, ini buat Yos ya? Aciik! Mama, Mama, Iyos punya cokyat.”
Anak kecil itu berlari ke luar kamar sambil mengacungkan cokelatnya tinggi-tinggi. Sebatang Silverqueen.
Kiran memungut bungkus kado yang tergeletak di lantai. Ada secarik kertas dilipat rapi.
“Semoga harimu lebih indah. Met ultah.”
Singkat, padat, dan tanpa identitas. Kiran mengerutkan dahi. Ultah? Emangnya ini tanggal berapa? Yap! 17 Oktober. Ya, ampun, ini kan benar-benar ultahnya.
Siapa yang mau memperhatikan tanggal bersejarah ini? Orang-orang rumah saja tak perduli. Kiran sendiri malah lupa. Lantas siapa yang menyimpan cokelat itu. Jangan-jangan…



Silver queen Februari ‘96
Be my valentine. Aku sayang kamu.
Singkat, padat, dan lagi-lagi tanpa identitas. Silverqueen misterius yang nyaris terlupakan itu kini muncul lagi di tas Kiran, plus selembar kartu valentine warna pink. Romantis, bo!
“Woow! Dapet hadiah ya, Ran?” Tiba-tiba Rima telah berdiri di samping Kiran. Kelas kosong. Anak-anak sudah pulang. Tinggal mereka berdua yang belum beranjak.
“Eh, coba lihat!” Rima merebut kartu dari tangan Kiran, “Kok nggak ada pengirimnya?”
“Siapa ya, Rim?”
“Mana aku tahu,” Rima mengangkat bahu, “Yang jelas dia sayang kamu. Jangan-jangan si Abi. Dia kan naksir berat ama kamu.”
“Amit-amit deh.”
“Lho kenapa? Ya, terima aja. Si Abi ‘kan lumayan.”
“Embat aja ama situ. Sekalian tuh ama coklatnya.”
Tiba-tiba saja Kiran ketakutan sendiri. Tak bisa dibayangkan kalau itu benar-benar dari Abi. Ih, kepikiran juga nggak tentang anak itu.



Silverqueen Oktober ‘96
Ting! Tong! Ting! Tong!
Ah, siapa sih sore-sore begini? Kiran agak malas membukakan pintu. Habis ia lagi asyik baca buku. Sebuah buku praktis penuntun salat. Dikit-dikit Kiran ingin memperbaiki salatnya yang selama ini terkesan asal jadi.
Ting! Tong! Bel pintu masih cerewet juga. Ogah-ogahan Kiran beranjak.
“Eh, Rulli,” Kiran menatap anak usia sepuluh tahun yang tegap di mulut pintu, “Ada apa?”
“Ada titipan, Teh,” Rulli menyodorkan benda panjang kurang lebih 20 centi meter berbungkus kertas kado pink.
“Buat?”
“Buat Teh Kiran.”
“Dari siapa?” Kiran menerima bungkusan itu dengan tatapan sangsi.
“Rulli juga nggak tahu. Orangnya naik motor gede, pake helm, wajahnya nggak kelihatan. Mari, Teh.”
Kiran masih terbengong-bengong. Tak sadar kalau Rulli telah berlari meninggalkan rumahnya. Heh? Kiran terhenyak begitu mengamati kado di tangannya. Kertas warna pink bermotif bunga-bunga kecil. Yap! Sama persis dengan bungkus dua Silverqueen misterius.
Wek! Wek! Buru-buru Kiran merobek kadonya. Silverqueen lagi
“Selamat ulang tahun, Kiran.”
Hah? Ulang tahun? Iya. Ini ‘kan 17 Oktober!
“Di sweat seventeen-mu ini aku hanya ingin bilang, kian hari aku tambah sayang kamu.”
Buntu. Kalimat itu berakhir sampai di sana. Tak ada nama pengirim. Bahkan sepotong huruf pun tak ada. Misterius!
“Ris, di sekolahan kita ada anak yang suka pake motor gede nggak?” Kiran langsung menelepon Risma. Kali ini ia harus menemukan otak di balik Silverqueen iseng itu.
“Banyak dong. Ada si Anton, Buyung, Farhan, Dika, Bima, dan si Abi.”
Deg! Jantung Kiran agak berdegup mendengar nama terakhir yang disebut Risma.
“Ada apa, Ran?”
“Ah, nggak. Udah dulu ya.”
Klik! Kiran menutup telepon. Tidak peduli Risma yang pasti terbengong-bengong di seberang sana.



Silverqueen Oktober ‘97
Ada lagi sepotong Silverqueen dengan bungkus kado warna pink berbunga-bunga kecil tepat pada tanggal 17 Oktober. Kali ini dibawa seorang tukang koran yang tiap pagi mengantarkan surat kebar untuk ayah.
Kali ini tulisannya tidak begitu polos. Sedikit dibubuhi identitas walau hanya dua huruf.
Selamat ulang tahun.
Sampai detik ini aku masih tetap sayang kamu
‘Bi
Bi, Bi, siapa? Bi apa ya? Atau....? Ya. Bukankah Bi bisa saja potongan dari kata Abi. Jadi yang selama ini memberi Kiran sepotong Silverqueen...?



Silverqueen ‘98
Masa-masa SMU sudah mencapai batas. Resepsi perpisahan baru saja usai beberapa jam yang lalu. Hampir saja Kiran masuk ke mobil Papa, ketika Risma berlari-lari menghampirinya.
“Tunggu, Ran. Ada titipan nih buatmu,” Risma menyodorkan sebuah bungkusan. Kertas kado pink berbunga-bunga kecil. Kiran lagi-lagi tersentak.
“Dari siapa?”
“Entar dah tahu sendiri,”
Hati Kiran tiba-tiba berdegup kencang. Rasanya tak sabar untuk segera membuka bungkusan itu. Kebetulan Mama duduk di jok depan bersama Papa. Kiran bisa leluasa.
Silverqueen again!
Aku sayang kamu
Sampai detik ini
Aku pengecut
Untuk menampakkan diri
Tapi...satu hal
Aku sayang kamu, Kiran
Iwang Bimantara
Deg! Terrr....! Dug! Dug! Derrrrr...!



Silverqueen ‘99
Januari 99, Silverqueen terakhir dari Iwang. Setelah itu tak ada lagi kabar tentang Iwang. Padahal sejak mereka menempuh kuliah di universitas yang berbeda dan di kota yang berjauhan, nyaris tiap minggu surat Iwang datang.
“Cokelat memang manis, tapi kalau nggak tahu nempatinya cokelat bisa bikin gigi kita keropos,” komentar Ula saat Kiran mengatakan jika ia rindu sepotong cokelat dari Iwang.
Anak berjilbab teman sekost Kiran ini memang tidak respek dengan persoalan-persoalan macam ini. Kalau Kiran cerita tentang Iwang dan cokelat-cokelatnya, dia hanya diam tanpa komentar. Uh! Susah deh kalau ngomongin cowok sama dia.
“Sebenarnya cokelatnya sih nggak jadi masalah, tapi kok surat Iwang nggak dateng-dateng aku kangen nih.”
Ula menelan ludah. Duh, Kiran anak manis.
“Kiran, kupikir kehilangan surat-surat Iwang bukan musibah. Kamu nggak bisa baca surat-suratnya juga nggak rugi. Asal kita jangan sampai kehilangan surat-surat Ilahi dan tidak lupa membaca surat-Nya,”
Tuh, respon Ula tidak seperti respon Inne, Rice, dan konco-konconya di kampus. Biasanya mereka menyemangati bukan menghempaskan kayak begini. Bahkan Inne memberi saran biar Kiran nulis surat saja buat Iwang.
Tapi… sudah hampir empat kali Kiran mengirim surat, tak satu pun yang dibalas Iwang. Ke mana aja tuh anak? Sibuk kuliah? Sibuk organisasi? Atau… jangan-jangan malah kecantol gadis Yogya. Kiran tak akan memaafkan kalau sampai Iwang berkhianat.
Telepon ke rumahnya. Ide itu meleset dari otak Kiran. Andai saja teleponnya yang di Yogya bisa dihubungi, tentu Kiran dapat melacak keberadaan Iwang. Sayang berulang kali dihubungi, tak pernah sekali pun nyambung.
Tak ada jalan lain selain telepon ke rumah Iwang. Siapa tahu nasib sedang mujur, Iwang kebetulan ada di rumah. Kalau pun tidak, ia bisa bertanya pada orang tua atau Firya, adiknya.
Agak gemetar ketika sore ini Kiran memijiti nomor telepon rumah Iwang di wartel depan kampus.
“Assalamualaikum.” Nah, ini pasti suara Firya.
“Kum salaam. Iwangnya ada?”
“Mas Iwang nggak ada di rumah. Ini sama siapa ya?”
“Sama Kiran.”
“Ooh, Teh Kiran. Sudah beberapa bulan ini Mas Iwang tidak pulang. Mungkin sibuk. Mau nitip pesan?”
“Emh, kalau pulang atau telpon, tolong suruh dia menghubungi aku. Sudah beberapa bulan ini...” Kiran mengurungkan kata-katanya. Gengsi dong mesti ngeluh sama Firya tentang surat-surat Iwang yang tak pernah datang.
“Insya Allah, Teh. Nnng… tapi kalau boleh Firya ngasih saran, lebih baik Teh Kiran belajar melupakan mas Iwang.”
“Lho? Memangnya ada apa?” Kiran merajuk. Perasaannya mulai tidak enak. Jangan-jangan ada sesuatu yang dapat mengancam stabilitas hubungan bilateralnya dengan Iwang.
“Nggak ada apa-apa sih, cuma....cuma takut Teh Kiran nanti kecewa.”
“Selama Iwang tidak..., emh, rasanya Iwang nggak akan ngecewain.”
“Itulah, Teh. Emh… menurut orang bijak, tapi maaf lho, Jangan tersinggung. Nng… kalau kita berharap pada manusia maka kita harus siap untuk kecewa. Hanya berharap pada Allah yang tidak akan membuat kecewa.”
Kiran menjauhkan horn telepon dari telinganya beberapa saat. Bisa juga nih anak ngomong.
“Baiklah, Ya. Nggak apa kalau Iwangnya nggak ada.”
Buru-buru Kiran menutup telepon. Sia-sia deh usahanya kali ini. Iwang benar-benar sulit dilacak.



Silverqueen Oktober ‘99
17 Oktober kelabu!
Kali ini, tak ada lagi sepotong cokelat hadiah ulang tahun dari Iwang. Tak ada lagi kata-kata singkat, padat, dan romantis. Iwang telah menghilang entah ke belahan bumi yang mana. Iwang membuat Kiran lelah menanti.
“Selamat ulang tahun, Kiran!” Tiba-tiba Ula datang menyerbu Kiran yang tengah tiduran di kasur. Baru saja Ula pulang kuliah.
“Semoga Allah tambah sayang kamu,” ujar Ula hangat.
“Makasih, La.”
Mata Kiran berkaca-kaca. Haru ia dengan perhatian Ula. Hatinya sedikit terobati walau ulang tahun kali ini tanpa ucapan selamat dari Iwang tersayang yang mulai melayang.
“Kiran, aku nggak bisa ngasih apa-apa.”
Ula menyodorkan bungkusan kecil berbentuk kotak.
“Kok jadi ngerepotin, La. Makasih ya.” Mata Kiran makin berkaca-kaca.
“Ayolah buka, Ran. Mudah-mudahan kamu suka.”
Hati-hati Kiran membuka bungkus kado.
Allah! Hati Kiran tergetar halus. Tiba-tiba dadanya terasa sesak dengan tangis yang mendesak ingin ke luar. Kaca-kaca di matanya pecah menjadi bening air yang mulai berguguran. Matanya bersirobok dengan sepasang mata tenang Ula.
“Ulaa...” Kiran memeluk Ula erat, “Makasih. Ini hadiah paling agung yang pernah aku terima. Al-Quran!”
“Ini surat Sang Kekasih yang bisa menenangkan hati kita,” Ula mengusap-usap rambut Kiran penuh sayang.
Panas matahari di luar perlahan meredup, karena sang bola api menutupi wajahnya dengan selembar awan hitam. Udara terasa mulai sejuk.



Silverqueen Januari 2000
Kiran tersenyum. Firya duduk menunduk di hadapannya. Sangat manis dengan balutan jilbabnya birunya.
Baru kemarin Kiran pulang. Ibu mengabarkan ada pesan dari Firya agar ia segera menghubungi gadis itu. Inilah hasilnya. Pertemuan di suatu siang yang cukup panas.
“Firya ingin mengabarkan tentang Mas Iwang,” Firya berucap hati-hati.
“Katakanlah,” Kiran sudah sangat siap mendengar apa pun tentang Iwang. Sekalipun sangat menyakitkan.
“Semingggu yang lalu Mas Iwang berangkat ke Jepang.”
“Ke Jepang?” Dahi Kiran berkerut, “Dalam rangka?”
“Studi.”
“Alhamdulillah! Aku turut bangga.”
“Cuma...emh.... sebelum pergi Mas Iwang menitipkan ini buat Teh Kiran.”
Kiran meraih lipatan kertas putih yang disodorkan Firya. Sebuah surat pendek.
“Aku ingin mohon maaf atas semua yang telah terjadi antara kita selama ini. Lupakan potongan-potongan cokelat yang telah mengotori hati kita masing-masing. Ada yang jauh lebih berarti dalam hidup ini daripada sepotong cokelat.”
Kiran melipat kembali kertas itu tanpa beban, seperti dia melipat masa lalunya dalam catatan sejarah.
“Mas Iwang sangat terbebani telah menyeret Teh Kiran dalam hubungan yang tidak syar’i. Maafkan Mas Iwang ya, Teh.”
“Teteh juga salah. Khilaf. Biarkan saja masa itu itu sebagai cermin.”
Mata Firya berbinar. Ditatapnya wajah Kiran yang tampak lebih teduh dalam balutan jilbabnya.
Selamat jalan, Iwang! Umat menantimu kembali.



Bandung, 7 Maret 2000
Buat eks-I.A MAN 2 Ciamis, berbuatlah untuk umat!



sumber Annida

0 comments:

Post a Comment