Lagu Kekalahan

on Thursday, January 6, 2005

Oleh : Ragdi F. Daye



Tergesa kucomot minyak rambut dari kemasan, meratakannya di telapak tangan, kemudian mengacak-acak rambut sampai terminyaki rata. Kuraih sisir berdiri di depan cermin. Menyisir cepat-cepat.



Kuperhatikan rautku di cermin yang sedikit terkotori debu yang datang dari jendela kamar yang tiap pagi kubuka. Rambutku hitam. Sebenarnya tanpa disisir aku malah kelihatan ganteng seperti Ricky Martin. Ganteng? hehehe… masa iya sih? Tapi memang, alisku hitam lebar. Hidungku mancung dan ada patahan di antara mata. Bibirku me..., ech… “alhamduliLlahi Allahumma kamaa hasanta kholqi fa hasin khuluqi.” Lirih, ingat juga ku berdoa. Mensyukuri wajahku yang tidak jelek.



Aku tersenyum. Senyumku kata teman-teman seperti senyum Panji Manusia Milenium. Senyum Bang Panji yang sedang sakit gigi kali. Ah kalau sudah melihat wajahku di cermin, bisa-bisa sampai sore aku tak kan beranjak dari kaca. Aku dengan seenaknya akan merasa wajahku mirip si Anu, mataku seperti mata artis itu, telingaku seperti telinga tokoh itu, gigiku bagai anu, daguku mirip dagu aktor itu, rahangku…



Ku pasang kacu pramuka merah putih yang tadi telah menyita banyak waktuku untuk mencatinya. Hampir seperempat jam aku mengaduk-aduk isi kamar ternyata segitiga penuh makna itu terserak di bawah lemari. Entah bagaimana bisa sampai ke sana.



Kulirik jam belajar hadiah ulang tahun dari seseorang pada masa laluku dulu di atas meja. Oalah Rabbi… sudah pukul tujuh lewat lima! Busyeet. Terlambat sudah.



Tergesa kupasang kaus kaki hitam. Menyorong kaki ke sepatu. Membuhul tali, menyambar tas kampus abu-abuku, berlari ke pintu.



Ciiiittt...!! Aku mengerem lariku.



Oh Tuhan! Hari apa sekarang? Sabtu? Sabtu apa Jum’at? Sabtu! Pelajaran apa sekarang? Hadap kiri, grak! Fisika tiga jam, agama dua jam, bahasa Indonesia dua jam. Oh My God! Bukankah hari ini ujian Fisika?



Aku menggaruk-garuk hidungku yang tak gatal dengan putus asa. Ah masa bodoh. Toh IQ-ku nggak jongkok-jongkok amat. Peduli amat belum belajar. Selama ini khan aku sering latihan soal. Pasti nanti aku bisa menjawab soal ulangan. Tapi, ulangan bab lalu aku Cuma dapat enam, padahal sudah belajar semalam suntuk. Lalui sekarang? Apa aku bisa mendapat nilai di atas enam dengan keadaan mendadak begini? Riskan sekali.



Alaah, cuek aja! Kali aja nanti aku kejatuhan mukjizat dari loteng. Bnisa sukses ulangan meski belum belajar barang sepokok bahasan pun. Bukan mustahil khan sodara-sodara?



Setelah men-swzzzzsh-swzzzsh-kan axe ke bagian-bagian sensitif air di tubuhku, kubuka pintu dengan bergegas.



Dugh...!!!



“Masya Allah si Tempe, nyeruduk-nyeruduk kayak buldoser. Mo jadi tukang gusur?” Tanya seseorang yang tertumbuk olehku di depan pintu kamar.



Ah dasar Nyap-Nyap. Paling senang lihat orang sengsara. Tak kupedulikan si Bawel Nining yang – maaf – adalah kakakku yang tanpa acara serah terima enak saja selalu memanggilku dengan si Tempe. Kutemui Amak (ibu) yang sibuk membuat telur dadar mata jengkol (istilahku karena masakan itu spesial untuk bokap tercinta yang punya mata sekembaran pimpong) di dapur.



“Maa, mau pergi nih.”



“Ya. Hati-hati di jalan ya!”



“Maa, pergi Ma.”
”Iya!” Amak masih asyik dengan penggorengannya. Tewas aku! Sudah dua belas menit melangkah dari pukul tujuh.



Aje gilleee...! Jatah belom cair juga.



“Iya-iya, tapi ongkosnya mana? Ih, Amak ini.”



“Lho, yang kemarin?” Amak menoleh ke arahku. “Khan untuk beli obat tadi malam Amak kasih uang lima ribu. Sisanya belum kamu kembalikan khan? Amak rasa itu malah sama dengan jajanmu untuk setengah dua hari. Ada empat ribuan khan?”



Ah Amak ini. Mukaku mulai berpijar seperti senter kehabisan baterai. Merah nyaris padam. “Itu kemarin Mak. Yang lalu biarlah berlalu. Kan itu kata Amak selalu. Sekarang jatah harian Mak, nanti kan malming, malam minggu.”



Dengan sedikit bersungut-sungut Amak menyerahkan tiga lembar uang ribuan padaku. “Sono pergi, ntar terlambat kamu!”



“Siap Ma. Salam lekum.”
”Hush! Baca salam kok kayak gitu. Uah mau jadi anak sekolahan sarjana-an masih...”



“Sudah! Sudah! Sudah! Udah telat niiiiiiiiih...”



Aku kabur lewat pintu depan.



*****



Astaghfirullah! Buah seri di atas tungku. Mati aku.



Kupreteli lembar soal di depan hidungku. Waktu tinggal lima belas menit lagi, tapi soalnya baru sembilan yang terjawab. Berarti tinggal enam belas lagi. duh Raja Langit dan Bumi…



Reaktansi induktif rumusnya umega kali el. Umega sama dengan satu per dua phi ef. Eh, Benar nih? Bodo’ ah! Kucoret-coret kertas buram sehingga semakin buram dan curam. Curam apa suram apa guram? Pussiiiiiing! Orang lagi bingung malah ditanya yang enggak-enggak.



Wah busyet, kiamat nih. Sudah pukul delapan lima puluh dua menit. Sudah tidak mungkin lagi nih nyari-nyari. Nggak bakalan finish. Bisa-bisa aku malah kebobolan. Terus gimana dong dengan belasan soal yang belum terjawab ini.



Mikir-mikir amat, tengok aja kiri kanan, minta bala bantuan. Kalau kita sedang dilanda kesulitan nggak dosa kok untuk minta tolong.



Jadi, jadi berarti aku harus nyontek?



Nyontek?



Hiiii. Apa iya aku harus nyontek?



Apak, Amak, Enek, Akek, si Bawel, Paman Bibi, guru-guru SD, guru-guru SMP, guru-guru SMU, kepala sekolah, tetangga, kenalan, sobat-sobit.... semuanya selalu mewanti-wantiku bahwa : NYONTEK ITU TIDAK BAIK. Tujuan kita ulangan kan untuk menguji kemampuan, bukan mencari nilai.



Tapi, tapi nggak lucu bila nanti nilaiku seperti baru dilanda gunung meletus. Morat-marit. Bisa-bisa aku masuk DOT, Daftar Orang Tergoblok di kelas. Wih enggak lagi.



AstaghfiruLlah! Oh Tuhan. B-bismillah, ampuni hamba…



Kulongokkan kepala ke arah Junaidi yang sudah berngaso ria. Ia sudah selesai rupanya.



“Jun, Junaid. Junaid!”



Anak itu budek juga. Kali aja nanti bila nerima beasiswa ia perlu membeli alat pembantu pendengar.



“Apa?”



Harap-harap cemas aku melirik Pak Perof di depan yang sedang konsen menebar lirikan-lirikan matunya. Aku mah baru perdana kayak gini. Jadi grogi asli. “Hem, no-nomor tujuh belas, de-dlapan belas, mbilan be-belas.”



Junaidi seperti terheran. Peduli tape uli sama anak itu. Ia memantau Pak Perof sebentar. Kemudian…



“E, E, C!”



Cepat-cepat kuisi kertas jawabanku. Setelah itu aku mengarahkan kepala ke kiri, kearah Junaidi lagi. Tanganku sudah basah berpeluh. “Naid, nomor du...”



“Zainaaal!!”



Huwaaaa. Aku terlonjak saking kagetnya. Pak Perof memandangku dnegan mata elang laparnya. “Nyontek?”



Aku bersusah payah menyelaraskan pernafasanku. Ba-bapak ini, ti-tidak tt tahu, aku kan ke-ke-keturunan penya-nyakit j-jantung. Paling ng-nggak boleh dii-kejuttin. untung saja, t-tadi aku ti-tidak wafat sssess-seketika.



Aku melirik Junaidi yang menyurukkan pandangannya. Inikah mukjizat dari loteng itu?



*****



Pada pergantian jam pelajaran agama dengan pelajaran Bahasa Indonesia, sang cheerman (ketua kelas), si Bliru datang dengan membawa kertas ulangan Fisika pagi tadi. Isi kelas langsung mengadakan acara screaming dadakan.



“Karena kalian semua sepertinya tidak bisa mengendalikan diri masing-masing, maka silakan mengambil sendiri kertas ulangannya!” Bliru mengultimatum sambil meletakkan kertas-kertas ulangan itu di meja bagian depan. Tentunya setelah terlebih dahulu mengantongi kertas ulangannya.



Dari segenap penjuru lokal, dari sayap kiri, sayap kanan, poros muka, poros belakang, corner dekat jendela Utara dan Selatan. Pokoknya semuanya pada semangat reformasi ‘98 menyalurkan aspirasinya dengan menyerbu kertas ulangan.



Setelah menempuh perjuangan berat dengan mengorbankan sepatuku yang baru kemarin disemir super kilap diinjak-injak oleh oknum yang tidak beranggung jawab, akhirnya kertas ulangan itu kudapatkan juga dalam kondisi yang sangat kritis.



Aku bersicepat duduk ke bangkuku ingin segera tahu bagaimana nilaiku.



B L A A A A A R R ! !



Aku merasa jangtungku seperti akan berhenti berdetak. sebuah angka dua yang begitu angkuh dengan sangat PD nya mejeng besar-besaran di kanan atas kertas ulanganku. Dan di bagian bawah, dengan terlalu manisnya, tergores sedikit kata mutiara dari Pak Perof. “Mencontek itu bukanlah suatu perbuatan yang baik. Hanya belajar rajin sebagai penangkalnya.”



Busyet!!



“Dapet berapa Nal?”



“Pasti tinggi. Kan tadi kerjasama dengan sang the best Junaidi. berapa? Sembilan atau sepuluh?”



Aku merasa kejatuhan duren belasan ton. Bonyok luar dalam. Baru sekali ini nyontek sudah dikira jago nyontek. Disindir-sindir pula lagi layaknya seorang pejabat ikut nebeng dalam skandal korupsi.



Bah, frustasi aku!



Aku melirik Junaidi yang dirubungi teman-teman karena keberhasilannya. Ough! Tobat dah. Kapok! Besok nggak mau sok ber-IQ setinggi nyiur melambai lagi. Insyaf. suer dah aku insyaf!! N G G A K L A G I I I . . . . ! !



Penulis adalah Anggota Forum Lingkar Pena Sumatera Barat
radefi@yahoo.com



==============================================
Dapatkan cerita - cerita islam menarik di http:// agusw.cjb.net
menebar SENYUM merajut UKHUWAH
--————————————————————————————-

0 comments:

Post a Comment