Ihwan Ngamen

on Friday, May 13, 2005

Kalau di sebut ikhwan rasanya saya sendiri juga kurang pantas, tetapi kalau disebut akhwat jelas nggak mungkin. Toh walau kadang saya ngomong sama Boss Iman yang webnya bisa dilihat dari link friendship sebagai Ihwan Bagajulan ataupun Ikhwan Dagelan, tapi sebenarnya malu juga, habis pinginnya jadi ikwan sholeh sih he.. he.. he.. Tapi berat juga mo jadi ikhwan sholeh karena masih suka main gitar, suka uthak - athik midi, ataupun suka “mbujuki” dan ngerjai beberapa temen yang memang pantas untuk dikerjai. Bahkan kadang yang dikerjai sampai ketakutan, marah - marah, atau malah mutung (=baca ngambek). Biarkan sajalah nanti pasti baikan lagi, yang penting asal nggak sampai nangis :p.



Alhamdulillah sejak kuliah dikaruniai sedikit kemampuan bermain gitar walau hanya kunci - kunci dasar, serta kesukaan berolah vocal meski hanya dikamar mandi ataupun di dalam kamar sendiri, eh bukankah akhir - akhir ini saya nyanyi yang sudah di online. Rasanya pass juga ya kalau buat mengamen he.. he.. he..



Ups… bukannya saya yang masih kesulitan mengais - ngais rezeki ini mau ngamen, tetapi saya punya cerita menarik tentang mengamen. Emmm.. kalau saya mengamen wah mesti operasi untuk mempertebal muka, karena saya tidak bisa menutup kedua muka saya dengan tangan, kan tangannya buat megang dan metik gitar :D



Ceritanya begini, hari Selasa 19/04/05 saya ke Malang untuk menemui sepupuku yang manja dan lucu banget, karena menurutnya kepalanya itu pusing karena tak bisa mengerjakan tugas Komputer yang diberikan sekolah. Dengan senang hati sayapun berangkat ke Malang. Rencananya ingin berkereta dari Stasiun Gubeng Surabaya, tetapi karena jadwalnya saja tak seberapa tahu, keretanya sudah berangkat 45 menit sebelum kedatangan saya. Kereta selanjunya baru 3 jam kemudian. Akhirnya naik Angkutan ke Terminal Wonokromo disambung bis kota ke Bungurasih atau Purabaya. Dari sini naik Bis umum jurusan malang. Perjalananpun lancar - lancar saja. Habis melewati tol panjang, maka pengamen dan pedagang asongan menyerbu silih berganti. Tak ada yang aneh dengan pengamen-pengamen selama perjalanan tersebut.



Saat bis melewati kota Lawang, saya yang tiduran sayup - sayup mendengar lagu yang kurang biasa dinyanyikan pengamen bis. Lagu apa ya perasaan saya pernah dengar tuh.



“Muhammad.., Muhammad, Muhammad Musthofa. Ibunya bernama Aminah, Ayahnya bernama Abdullah, Dilahirkan di Mekkah Mukaromah, Ibu susunya Aminatuz Zadiah. Ayahnya meninggal dunia, Ketika Nabi di dalam kandungan, Alangkah sedih pilunya, Ibunya menjaga bayinya. Semasa di dalam perjalanan, Pulang dari makam suaminya, Aminah jatuh sakit di ‘Abwa, Kembali ke alam baka. Tinggallah Nabi seorang diri, Hilang insan yang dikasihi, Tinggallah Nabi seorang dari, Mengajarnya hidup berdikari. Anak yatim anak yang mulia, Dilindungi Allah setiap masa..... “



Akhirnya mata saya terbuka dan baru sadar bahwa lagu tersebut adalah nasyidnya Raihan dalam album Senyum yang berjudul Nabi Anak Yatim.



Saya tidak seberapa tahu ini ikhwan beneran atau ikhwan jadi-jadian eh.. atau bukan? Kalau dilihat dari penampilan fisiknya hanya jenggotnya yang lebat yang menandakan ke-ikhwanan-nya. Penampilannyapun lusuh seperti pengamen pada umumnya, badannya kekar dan memakai topi kayak topi yang sering di pakai para rapper.



Nah habis menyanyikan lagu pertama, lantas menyanyikan lagu kedua. Tetapi lagu ini nasyidnya siapa saya nggak seberapa paham. Kalau dilihat dari lirik dan syairnya sih macam kepunyaan Suara Persaudaraan, karena ada lirik yang menyatakan Allah tujuan hidup, Al Qur’an sebagai kitab suci, Muhammad tauladannya dan Jihad Fisalbilillah langkah perjuangannya. Karena lagu Suara Persaudaraan yang terakhir saya nggak membeli kasetnya. Jadi benar tidaknya saya tidak seberapa tahu.



Sehabis menyanyikan lagu ke dua itu, seperti pengamen yang lain, partisipasi dana seikhlasnya. Saya yang duduk di bangku belakang terkaget - kaget melihat nominal yang didapat saat kotak itu di sodorkan pada saya, ada sekitar 3-4 uang ribuan dan belum lagi uang recehan 500-an dan 100-anya. Wah ternyata besar juga penghasilannya :D. Saya taksir sekitar 5000 sampai 6000. Saya bangingkan dengan yang menyanyi “Gema Adzan Asyar ku masih diperjalanan”... paling banter dapatnya 2000, itupun kadang degan setengah memaksa.



Bayaingin saja nich yang nyanyi nasyid sekali ngamen Rp.5000,- Kalau sehari sepuluh kali ngamen dapat berapa? Wah bisa - bisa gaji pegawai negeri kalah itu? he.. he.. he..



Tetapi siapa juga sih ya yang pingin jadi pengamen, barangkali karena ketiadaanlah. Karena minimnya lapangan kerja yang layak ataupun nasib yang bercerita lain. Walaupun pengamen berbeda dengan pengemis, tetapi kita perlu ingat bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan dibawah. Entah itu ikhwan entah itu bukan kalau ada kelebihan rezeki ada baiknya kita berbagi.

1 comments:

hanafi said...

hmm..gimana ya? soal ikhwan ngamen?
sepetinya bukan pekerjaan yang ‘layk huni’ deh..buat seorang al-akh..
akan lebih ‘mempunyai izzah’ jika menjeadi tukang sapu daripada tukang ngamen. af1, ini pendapat pribadi ane.

Post a Comment