Tak Bisa Ke Lain Hati

on Friday, July 1, 2005

“Suatu saat, jika ada yang berniat menikahiku, aku ingin itu karena dia melihat sesuatu yang istimewa dalam diriku. Bukan seorang yang hanya berniat menikah, dan menyerahkan kepada guru ngajinya dijodohkan dengan siapapun. Apakah aku salah?”



April 2001, saat bulan bersinar lebih dari separuh.



’Apakah ikhlas selalu bermakna menafikan pertimbangan-pertimbangan manusiawi?’ Pertanyaan itu tak bisa lekang dari benakku. Sejak peritiwa ta’aruf dua hari yang lalu. Saat itu, mbak Lia, guru ngajiku berpesan, ‘Dhin, kalau sudah seaqidah dan sefikrah, yang lainnya tinggal mengikuti. Apalagi, sekarang akhwat lebih banyak daripada ikhwan. Jangan sampai kamu menolak rizqi. Dia ikhwan lho!’



Mengingat itu semua, aku kembali menghela nafas. ‘Apakah ikhlas selalu bermakna menafikan pertimbangan manusiawi?’ Pertanyaan itu kembali bersemayam di kepalaku. Berputar, melibas, mengurangi, tanpa menemukan jawaban. Hingga akhirnya, pertanyaan itulah yang ingin aku mintakan jawaban pada Yanti, teman sekamarku. Keheningan malam dan kebekuannya yang memenjarakan dinding kamar sempit kami menjadi saksi.



“Secara umum, aku kira jawabanya adalah YA,” jawab Yanti. “Karena Ikhlas bisa bermakna menerima apa yang diberikan Allah dengan lapang dada.”
“Tapi itu tak berarti guru ngaji berhak menodong khan?….”
“Tentu saja tidak. Anti berhak menyampaikan harapan-harapan, keinginan dan sebagainya”.
“Apakah jika dia berpredikat ‘ikhwan’ dan ngaji, semuanya sudah cukup! Di mana diletakkan kecocockan visi, pemikiran, orientasi, dan karakter? Sekarang ini jumlah ikhwan akhwat melimpah. Lantas atas dasar apa, seorang ikhwan dijodohkan dengan seorang akhwat?”, desaku.
“Bukankah anti bisa bertanya, minta informasi yang lebih lengkap?” Yanti menyarankan dengan sabar.
“Sudah…!” Lantas aku serasa mendapat tempat utuk mengurangi beban yang beberapa hari ini kusandang.



Sepekan yang lalu mendadak Mbak Lia memberikan biodata seorang ikhwan. usiaku memang sudah sangat cukup untuk menikah. Dua puluh lima tahun. Aku terkejut ketika itu, tapi aku hanya sanggup untuk mengiakan. Tiga hari kemudian aku dihadapkan dengan ‘laki-laki tak di kenal’ dalam biodata itu di rumah mbak Lia, aku sangat berharap laki-laki itu seperti yang kuimpikan. Seperti…., Ah! Sudahlah, ternyata aku harus kecewa.



“Suatu saat, jika ada yang berniat menikahiku, aku ingin itu karena dia melihat sesuatu yang istimewa dalam diriku. Bukan seorang yang hanya berniat menikah, dan menyerahkan kepada guru ngajinya dijodohkan dengan siapapun. Apakah aku salah?”



“Tidak. Hak kamu untuk punya keinginan seperti itu. Betapapun, kamu yang akan menjalani. Maka keputusan itu harus keputusanmu, bukan keputusan guru ngaji.”



“Aku ingin dia bisa menerimaku dengan segala kondisiku, bahkan mendukung cita-citaku. Bahwa aku bukan tipe orang yang bisa diam di rumah. Bahwa aku ingin kuliah lagi, aku ingin mengajar, aku ingin aktif bergabung dengan lembaga-lembaga sosial.”



Aku menerawang keluar jendela kamar yang terbuka. Beberapa kerlip bintang tertangkah oleh mataku. “Tapi dia ingin aku di rumah saja. Dia ingin aku tidak bekerja di luar jika sudah punya anak”.
“Kalau begitu, kamu tolak saja.”
“Aku tak berani!”



Yanti menatapku lama. “Tampaknya, ada permasalah lain yang jadi ganjalanmu, Dhin! Bukan bagaimana dia. Istikharahlah Ukhti agar Allah saja yang menunjukkan jalan itu untukmu, “Yanti menepuk pundakku dan meninggalkanku yang masih menatapi langit. Bulan di langit mulai tertutup awan.



’Permasalahan lain!’. Ya, Permasalahan lain. Barangkali memang benar inilah masalahku yang sebenarnya. Kata-kata Yanti itu kurasakan dalam membekas. Kata-kata itu pula yang menghadirkan nama pada galau hati yang selama ini tak kumengerti apa. Galau yang telah delapan bulan ini mengisi jiwa dan menenggelamkanku pada rasa gelisah, cemas, harapan serta penantian. Juga pada mimpi. Mimpiku tentang seorang lelaki shalih, yang pernah melamarku delapan bulan yang lalu. Mas Rijal. Lelaki shalih kakak kelasku di SMA dulu, di Solo, kota kelahiranku. Laki-laki yang aku tahu pasti akan mendukung cita-cintaku. Laki-laki idaman. Cerdas, alim dan bersahaja.



Namun sayang, proses kami tidak berjalan lancar, karena aku masih kuliah Ekstensi di Jakarta. Masih dua tahun lagi, dan aku tak bisa menginggalkannya karena orangtuaku keras tidak mengijinkanku. Sementara, Mas Rijal juga tak bisa pindah ke Jakarta, karena beliau memegang posisi kunci di usaha media yang baru dirintisnya.



Aku tahu itu dan sangat sadar. Aku rela serela-relanya kalau mas Rijal mundur atas alasan ini. Bahkan dulu, delapan bulan yang lalu itu, aku yang mengajurkan beliau untuk mencari muslimah lain saja. Namun, jawaban Mas Rijal sangat di luar dugaanku ‘Let it be my problem! Not Yours’. Jawaban yang mengantung. Akhirnya aku memilih untuk menunggu saja.



Sementara itu, mbak Lia, yang sudah keuanggap pengganti orangtuaku di Jakarta menganggap semuanya sudah berakhir, karena Mas Rijal tak pernah berkabar lagi tentang lamarannya.



Namun tidak demikian bagiku. Masih sangat nyata dalam benakku, masih kusimpan dengan rapi surat berisi kalimat terakhir Mas Rijal, ‘Let it be my problem. Not Yours’



Meskipun beliau sangat jarang dan hampir tidak pernah menghubungiku, tapi kenyataan bahwa beliau sampai saat ini belum menikah makin memperkuat harapanku.



***


Masih April, bulan tak lagi bulat penuh.



Dua hari lagi aku harus memberikan jawaban. Dan aku masih juga diliputi keraguan. bayang-bayang Mas Rijal bukannya makin tipis, tapi malah makin lekat di benakku. Hari ini, sudah berulangkali aku meraih gagang telpon dan memencet nomor HP mas Rijal. Aku ingin bertanya tentang komitmennya. Tapi selalu saja pada angka terakhir gagang telpon itu aku letakkan kembali. Aku tak sanggup. Aku malu. Jiwa perempuanku, jiwa putri Soloku menahan hasratku itu. ‘Perempuan tak layak untuk memulai, dia semestinya menunggu’, begitu pelajaran dari nenekku. tapi aku harus bagaimana? Aku masih berharap-harap cemas. Aku bingung statusku dalam lamaran atau tidak. Istikharahku tak menghasilkan apa-apa. Bahkan resah di jiwa itu kian mendera.



***



Awal Mei 2001



Hari ini adalah hari terakhir harus memberi keputusan. Dan aku masih juga tenggelam dalam balauku. Duhai Rabbi, kenapa aku jadi lembek begini?



“Saya tak bisa menerimanya Mbak, sya belum siap” Jawaban itulah yang akhirnya ku berikan. Nampak benar wajah Mbak Lia menyemburatkan kekecewaan. Tapi ada dayaku? Aku tak sanggup mendua jiwa. Bagiamana munkin aku bisa mengiyakan, sementara hatikumasih terpaut pada seseorang lain yang masih saja ‘nakal’ bermain-main dalam ruang hatiku. Aku bisa membayangkan, tentu ini akan sangat menyakiti hai ikhwan pilihan Mbak Lia itu. Mana ada laki-laki yang rela istrinya mendua hati? aku tak tega melukainya. Aku… aku lebih memilih menunggu mas Rijal. Ya! Menunggu mungkin lebih baik. Harapanku, suatu saat nanti, ketika takdir telah menyatakan bahwa mas Rijal memang bukan jodohku. Atau ketika aku telah sanggup melupakan Mas Rijal. Ini yang berat !.. (Cerita Oleh : Himmah ‘Aliyah )



Bersambung ......



=======
Tulisan ini saya ketik kembali dari Majalah Al-Izzah No. 24/Th. 3, 31 Januari 2002, Soalnya ceritanya mengharu biru, dan jari-jari kedua tangan saya sudah gatal ingin mengetik lagi. Duh.. tak ada yang bisa diketik nich selain ngetik cerita he.. he.. he.. Jadinya maaf bin Afwan pada pengarang dan Majalah Al-Izzah karena saya tulis ulang tanpa konfirmasi dulu. Kalau tak berkenan harap informasikan ke mail kank_agus(at)yahoo.com, dan tulisan ini akan saya turunkan serta separuh ceritanya tidak saya ketik lagi :), tetapi kalau dijinkan semoga bisa menjadi suatu kebaikan.
=======

2 comments:

kenyu soraya said...

cerita nya bgus dan sangat bermanfaat izin share ya..^^

Agus Waluyo said...

Monggo silahkan mbak...

Post a Comment