Apa Susahnya Berbagi Rezeki

on Tuesday, November 15, 2005

Hari Sabtu yang lalu saya balik ke Surabaya ikut mobil-nya bibi. Kebetulan hari Sabtu keluarga dari paman ada acara, sehingga balik ke Surabaya mobil kosong melompong. Mubadzirlah kalau saya naik bis, soalnya ada tumpangan. (Ye.. alasan cari gratisan mlulu). Dalam mobil ada empat orang. Paman, bibi, aku dan nenek, jadi cukup leluasa untuk sebuah mobil ukuran carry. Start-nya dari rumahnya nenek di Watulimo yaitu 10 km sebelum Pantai Prigi pukul 15.45 sehingga magrib sudah sampai Kediri. Seperti biasa sholatnya di masjid daerah Semampir, sebuah masjid sebelum perempatan pabrik rokok Gudang Garam, dan sehabis sholat biasanya duduk sebetar di emperan masjid untuk makan bakso. Karena di emperan luar masjid tadi ada penjual Baksonya.



Beberapa pengendara mobil dan motor juga masuk ke area masjid untuk menunaikan sholat Magrib. Beberapa saat kemudian seorang penarik becak seusiaku menghentikan laju becaknya tepat di bagian depan kananku. Orang nya masih muda, cakep dan bersih. Beberapa saat kemudian penarik becak tadi berjalan ke arah tempat wudhu, kelihatannya akan menunaikan sholat magrib juga. Sambil menunggu bakso disiapkan, akupun bertanya sama bibiku yang biasa tak panggil Bulik.



“Bulik, kenapa sih senengnya kok mampir di masjid sini?”
“Bulik paling seneng mampir di masjid ini karena di sini tempat wudhu-nya enak, luas, bersih, dan sehabis sembahyang bisa langsung maem bakso. Teman bulik di sini banyak, kadang ada penjual sapu, ada penjual kerajinan. Ya ampun Gus, kapan hari waktu bulik mampir di sini, bulik ngobrol sama ibu penjual sapu yang sudah tua, tetapi semangatnya untuk selalu hidup dari usahanya sendiri itu luar biasa. Bulik sering banget ngobrol disini.



Tak berapa lama kemudian Baksopun sudah terhidang. Alhamdulillah cukup lumayan untuk mengganjal perut yang semestinya diisi nasi he.. he.. he.. Setelah puas maem bakso kitapun istirahat sebentar.
“Ayo, sekarang melanjutkan perjalanan lagi.” kata bulikku.
Belum sempat aku beranjak penarik becak tadi ternyata sudah selesai menunaikan sembahyang magrib-nya. Dia duduk disebelah kananku tepat di depan becaknya sambil memandangi becak dan mengibas-ngibaskan topi ke badannya pertanda kalau dirinya sedang kegerahan. Bulikku yang bangkit duluan dari tempat duduknya berjalan mendekati penarik becak tadi dan bertanya,
“Bapaknya saking pundi ?” (=Bapak dari mana?)
“Saking mriki mawon Bu.” (=Dari {daerah} sini saja bu.)
“Dospundi penghasilanipun wonten hari raya ngenten meniko?” (Bagaimana penghasilan saat hari raya begini ?)
“Sami mawon, sepen, malah cenderung mandap.” (Sama saja, sepi, malah cenderung menurun).
“Sedinten angsal pinten ngeten meniko?” (Dalam sehari dapat {penghasilan} berapa?)
“Namung sak lapan” (Hanya sedikit.)
“Sak lapan pinten?” (Sedikit-nya berapa?)
“Kawet enjing namung angsal tigang ewu. Sepen Bu.” (Sedari pagi hanya dapat tigaribu rupiah, sepi Bu.)
“Kawet enjing mbecak Pak?” (Dari tadi pagi menarik becak pak?)
“Inggih Bu, nggih dereng wangsul.” (Iya Bu, ya belum pulang.)
“Yoganipun sampun pinten Pak?” (Anaknya sudah berapa Pak?)
“Badhe setunggal, sampun mlampah pitung wulan” (Akan satu, {usia dalam kandungan} sudah tujuh bulan)
“Meniko Pak damel Pelaris, angsalipun narik becak.” (Ini pak, anggap saja sebagai pemerlancar rezeki menarik becak.) Kata bibiku seraya mengeluarkan amplop dari dalam dompet dan memberikannya pada penarik Becak.
“Mboten Bu, sampun mboten.” (Tidak bu, sudah tidak usah) kata penarik becak menolak pemberian bibiku secara halus.

Saya tidak tahu pasti berapa isi amplop tadi dan akhirnya diterima apa tidak sama bapak yang menarik becak, karena saya sudah berjalan untuk masuk ke dalam mobil. Beberapa saat kemudian bibi dan pamanku menyusul. Sesaat setelah keluar dari parkiran masjid bibiku berkata,
“Wah Gus, bulik paling seneng sama orang kayak tadi. Masih muda, seumurmu, tetapi bersedia bekerja keras walaupun hanya sebagai penarik becak, padahal banyak lo pemuda seusianya males-malesan, bahkan akhirnya jadi peminta-minta.”
“Ya iya lah bulik, namanya juga sudah berkeluarga, kan mesti menghidupi keluarga. Ada semangatlah untuk mencari nafkah, karena dia mempunyai tanggungan dirumah, kali saja berbeda kalau belum memiliki tanggungan, nyantai saja kan?” Jawabku.
“Bukan itu Gus, tetapi lihat, menarik becak dari pagi sampai magrib masih dapat tiga ribu rupiah, apa cukup buat diamakan? Bulik lebih menghargai lagi karena penarik becak tadi magrib-magrib masih ingat sama sang pencipta, masih mau pergi ke masjid untuk menunaikan sholat. Jarang loh Gus ada orang seperti itu. Wah tadi waktu bulik kasih, semula menolak, tetapi alhamdulillah akhirnya diterima. Wajahnya menyiratkan kebahagiaan yang tak terkira sambil mengucapakan terimakasih berkali-kali. Wah pokoknya seneng banget, bulik juga turut seneng kalau ada orang yang bisa kita ajak berbagi dengan sedikit materi yang kita miliki. Jujur saja Gus, Bulik paling bangga sama orang yang seperti tadi, di tengah-tengah pekerjaan yang tidak menentu tetapi masih ingat sama yang menciptakan.” Terang bibiku.
“Bulik, saya lebih bangga lagi, punya bulik tetapi bersedia berbagi dengan orang - orang disekitar. Bersedia berbagi rejeki walaupun itu dengan seorang penarik becak yang kesulitan. Lebih-lebih jika semua orang bisa seperti bulik, semua wakil rakyat juga seperti bulik, pasti negara ini bisa maju.” Timpalku sambil tersenyum kecil.
“Wah, bulik tidak mengharapkan pujian seperti itu Le (=dalam bahasa jawa, maksudnya thole yang artinya nak atau anak), tetapi bulik lebih mengharapkan ridho dari Illahi.”
“Amiiin.” Kataku, pamaku, serta nenekku seraya tersenyum hampir bersamaan. 

0 comments:

Post a Comment