Saat Kuingat...

on Saturday, January 8, 2005

Lagu nasyid berkumandang di kamar Rani, mahasiswa tingkat akhir di salah satu perguruan tinggi swasta di Bandung. Kamar berukuran 3 x 3 meter itu tampak sempit dengan tumpukan kertas-kertas bahan TA-nya. Di pojok ruangan tergantung gamis warna hijau, warna kesukaan Rani, yang tampak masih baru dan siap dipakai. Di ujung meja komputernya tergeletak setumpuk kartu undangan yang belum diedarkan dan lagi-lagi berwarna hijau. Di rak sepatunya bertengger sepatu warna hijau lembut yang senada dengan warna baju gamisnya.



Seminggu lagi hari pernikahannya. Tapi Rani masih berkutat dengan TA-nya. Baru tiga hari lagi dia pulang. Calon suaminya pun masih sibuk mengurus surat-surat untuk pernikahan mereka. Praktis, hubungan yang terjalin pun hanya lewat telpon dan sms. Tapi bukan itu yang sekarang membuat Rani hanya menatap kosong layar monitornya. Pikirannya melayang, teringat kejadian setengah tahun yang lalu.



“Kamu dah siap Ran? Kamu siap dengan segala resiko dan kemungkinan yang akan kamu hadapi? Sampai kemungkinan terburuk?” tanya Niken, sahabat baik Rani, sekali lagi.
Rani mengangguk mantap. “Insya Allah aku yakin. Toh, kemungkinan terburuk, tawaranku gak akan diterima kan?”
Niken menatap mata Rani dalam-dalam. “Kamu yakin?”
Sekali lagi Rani mengangguk mantap. “Aku sudah gak tahan Ken. Mikirin dia setiap hari tanpa ikatan yang jelas kayak gini bikin dosa aja. Capek Ken, aku blingsatan dan kegeeran tiap hari. Aku lelah teringat tentang dia tiap malam. Kamu tahu kan, daya imajinasiku tinggi sekali. Aku takut, bikin dosa terus. Walau dosa kecil kan, lama kelamaan jadi dosa besar juga.”



Niken tersenyum, “termasuk kamu siap jika kemungkinannya dia mau? Berarti kamu akan segera menikah, dan kamu akan jadi istri dia.”
Rani menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Bukannya ini memang tujuanku Ken?”
Niken tertawa tertahan, “Ternyata lo dah dewasa neh…. Kalah deh gue!”
Rani tersenyum. Masih menatap kosong layar monitornya. Tak sehurufpun dia ketikkan. Pikirannya masih pada kejadian itu. Dulu…. Setengah tahun yang lalu…
“Aku bisa bantuin Ran, tapi bener nih? Kamu udah yakin?” tanya Mas Ipong, calon suami Ika teman sekostnya. Mas Ipong lah yang akan jadi perantaranya.
Rani menutup wajahnya dengan ujung kerudungnya. Wajahnya terasa panas. Pipinya pun merona merah. Malu.
Ika menyahut, ”Udah lah Mas, Rani dah ga sabar tuh. Lihat tuh, mukanya merah tuh…. Ntar Mas Ipong nanyain aja, ya nawarin gitu deh. Ngerti kan? Ntar aku temenin deh, biar gak ngelantur kemana-mana omongannya.”
“Ya udah, kalo dah yakin. Tinggal nanya kan?” kata Mas Ipong sambil menahan senyumnya.
Wajah Rani semakin memerah.
“Udah yuk! Kita berangkat, dah telat nih…. Aku dah bikin janji ama dia, jam 7. lima menit lagi nih!” ajak Ika. “Kamu ikut gak Ran?”
Rani menggeleng, “Aku tunggu beritanya di kostan aja. Cepat pulang ya.”



Rani tersenyum tipis. Dulu, dia begitu yakin. Dulu, dia begitu mantap dengan jalan yang akan ditempuhnya. Menawarkan dirinya untuk dinikahi. Mencoba melancarkan keinginannya untuk segera menikah, agar tidak terpuruk terlalu jauh, dengan memikirkan laki-laki lain setiap hari, bahkan setiap saat, dan yang jelas bukan mukhrimnya.



Ya Allah, aku ingin segera menikah agar tidak terpuruk seperti ini. Aku tidak tahan memikirkan lelaki yang bukan mukhrimku. Aku lelah. Ya Allah, aku ingin segera menyempurnakan ½ agama-Mu. Ya Allah, jika dia memang yang terbaik untukku, maka mudahkanlah jalanku untuk menikah dengannya. Tapi jika dia bukan yang kau pilihkan untukku, jauhkan hatiku darinya. Do’a Rani setiap hari dalam kegalauannya.



Ya Allah, jika jalan yang kutempuh ini adalah jalan yang terbaik untukku, jalan yang penuh hikmah, maka mudahkanlah. Berilah keyakinan dan kemantapan untukku untuk melaluinya.
Tapi ternyata keinginannya harus tertunda. Seperti yang telah dibayangkannya. Tawarannya belum bisa diterima. Karena ternyata lelaki itu masih belum siap untuk mengarungi bahtera rumah tangga.



Rani tersenyum teringat saat itu. Saat itu dia menjadi begitu pendiam dan hanya mampu menunduk dan memainkan karet gelang yang dipegangnya. Dan Dendi, lelaki itu, berkali-kali mencoba mulai berbicara, tapi tampak sangat kesulitan. Karena berkali-kali hanya suara tawa kecilnya yang keluar.
“Mmmm…, maaf Ran. Sebenarnya aku… ga ingin pacaran. Aku…, aku ingin langsung menikah,” kata Dendi pelan. Seakan takut melukai hati Rani.



Aku pun ga mau pacaran! Aku pun ingin langsung menikah! Teriak Rani dalam hati.



“Tapi untuk menikah sekarang…, aku belum siap. Aku…, mmm…, masih ingin sendiri,” kata Dendi lebih hati-hati. Seakan takut suaranya adalah pedang yang akan merobek-robek hati Rani.
Rani tersenyum kecil. Seperti yang kubayangkan, aku belum diterima. Yah, sudahlah, aku harus mencari orang lain yang sudah siap menikahiku. Tapi siapa?



“Lagi pula, aku baru mau menikah setelah lulus Ran.”
Kenapa harus? Aku bisa kapan aja. Toh menikah gak perlu ijazah S1.



“Kamu sudah siap menikah?” tanyanya.
Aku gak akan melakukan ini kalo aku gak siap untuk menikah. Aku bukan hanya ingin menikah, aku butuh menikah! “Aku…,” kata Rani tercekat. “Aku ga tahu. Itu pun yang selalu menghantui pikiranku.”



“Dulu, aku memang pernah suka sama kamu.”
Yah… Akhirnya aku benar-benar di tolak.
“Maaf ya Ran. Aku masih ingin sendiri.”
Dasar! Cowok takut menikah?
Rani mengangguk pelan, dan masih tersenyum.
“Mmmm…., aku sebenarnya ga nyangka kamu akan seperti ini.”
Kenapa tidak? Khadijah pun menawarkan dirinya pada Rasulullah. Dan ini bukan hal tabu. Seharusnya aku yang gak nyangka kamu belum mau menikah. Bukankah Rasulullah bersabda, bukan termasuk golonganku orang yang merasa khawatir akan terkungkung hidupnya karena menikah kemudian ia tidak menikah. Yah sudahlah…, mungkin dia benar-benar belum siap.
“Sebenarnya ada apa sih?” tanya Dendi. “Maksudku, kenapa kamu bisa melakukan hal ini?”



Rani masih mempermainkan karet gelang yang dipegangnya. Karena aku ga mau bikin dosa setiap detikku! Aku butuh menikah! “Aku ga tahu Mas,” kata Rani sambil menatap Dendi, tapi sesaat kemudian dia menundukkan pandangannya kembali.
“Pasti kamu punya alasan. Gak mungkin kamu melakukan sesuatu hal tanpa alasan.”



Karena kamu yang selalu menghantui pikiranku! “Aku ga tahu, apa itu.” Rani masih menggeleng.
Esoknya, Rani mengirim surat untuk Dendi.
Rani membuka file surat yang dia kirimkan untuk Dendi setengah tahun yang lalu. Dibacanya pelan-pelan surat yang berisi keinginannya untuk segera menyempurnakan ½ dien-Nya, yang membuatnya berani melakukan hal ini. Surat sebanyak 5 halaman A4, dan ditulisnya di pagi hari selepas sholat subuh.
Rani tersenyum membayangkan ekspresi Dendi ketika membaca surat itu. Surat yang disalin dalam tulisan tangan nya yang kecil-kecil dan yang pasti akan membuat Dendi pusing ketika membacanya. Seperti yang dikeluhkannya saat itu.
“Aku ingin mengomentari suratmu itu Ran. Boleh kan?” tanya Dendi melalui telpon. “Kok kamu gak bilang dari kemarin sih? Kan aku jadi gak enak?”



Ohya? Berarti dia bener-bener mengerti isi hatiku itu dong?
“Tapi ga sekarang sih, mungkin besok. Bisa?” kata Dendi lagi.
Rani seperti mendapat harapan baru, “Mmm…, bisa. Besok ya?”
“Besok malam…, malam Minggu ya?”
Kenapa? Toh kamu jomblo juga kan?
“Begini aja deh. Besok aku telpon kamu lagi, untuk kepastian kapannya. Gimana?”
“Oke,” Rani setuju. Dan senyum mengembang di bibir Rani saat itu.
Rani menggigit bibirnya menahan tangis teringat malam minggu itu dan malam-malam selanjutnya. Selama dua minggu, Dendi tak juga menepati janjinya. Berbagai macam cara ditempuh Rani agar Dendi segera membicarakan apa yang ingin dibicarakannya. Mulai sms, telpon, sampai meminta bantuan Mas Ipong, Ika, dan Niken tak berpengaruh apa-apa. Tak membuat Dendi segera membicarakan hal itu.
Rani semakin merana. Nafsu makannya menghilang. Berat badannya turun drastis. Konsentrasi belajarnya menghilang, padahal saat itu dia harus menghadapi Ujian Akhir Semesternya. Tugas kuliahnya terbengkalai. Kegiatannya sehari-hari hanya melamun dan menangis. Sudah dicobanya untuk mencari kesibukan lain, tapi setiap kali masuk ke kamarnya, dia kembali teringat Dendi.
Air mata Rani menetes. Sama seperti waktu itu. Seminggu terakhir dalam masa penantiannya itu, setiap malam Rani membasahi pipinya dengan air mata. Tiap malam kamarnya menjadi saksi bisu kegalauannya. Tempat sampahnya penuh dengan tissue bekas yang dicampakkan begitu saja. Buku hariannya penuh dengan kekesalan dan penantian yang tanpa tahu kapan akan berujung.
Aku gak tahu, dia menunda terus hal ini karena apa? Apa yang masih dia pikirkan? Apakah dia memikirkan jawabannya, ataukah dia memikirkan cara untuk menyampaikan jawabannya? Kenapa dia begitu tega membuat aku menunggu seperti ini? Kenapa dia tak mengerti perasaanku? Jerit Rani dalam tangisnya. Tangis yang tak lagi dimengertinya apakah patut dia berikan untuk seseorang yang telah membuat hatinya tercabik-cabik.
Aku masih bisa menerima penolakan dia. Aku masih sanggup menerimanya dan aku tak menangis. Tapi, harus menunggu seperti ini? Aku tak sanggup. Tapi aku tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan? Kenapa? Apakah ini cara dia agar aku membenci dia dan dengan mudah melupakannya? Tapi aku tak bisa.



Air mata Rani menetes semakin deras, mengingat hal itu. Diraihnya tissue di atas meja dan diseka air matanya.
Tapi Rani juga heran, saat berita buruk itu harus dia terima juga. Saat Mas Ipong mengabarkan bahwa Dendi benar-benar masih belum ingin menjalin hubungan dengan seorang wanita, Rani masih bisa menerima dengan tegar.



“Sudahlah Ran, cari aja yang lain. Atau kau masih mau menunggunya?” tanya Mas Ipong selepas mengabarkan berita itu.
“Nyari yang lain lah Mas. Aku harus nunggu sampe kapan? Dan gak pasti lagi. Udah nunggu eh, ternyata dia gak mau gimana?” kata Rani mantap.



Tapi aku masih ingin membicarakan hal ini langsung dengan nya. Kenapa dia gak ngomong sendiri aja? Kenapa harus lewat orang lain?



“Katanya, dia sebenarnya selama ini bingung mo ngomongnya ama kamu kayak gimana. Jadinya dia ngomong lewat aku dulu, dan dia akan hubungi kamu,” kata Mas Ipong lagi.
Rani mengangguk. “Tapi kapan dia mo ngomong Mas?”
“Mungkin sehabis kamu ujian Ran. Kemaren dia janjinya sama kamu gitu kan?”
Rani mengangguk. Menunggu 4 hari lagi….
Rani meraih selembar tissue lagi untuk menyeka air matanya yang kembali menetes. Ternyata janji Dendi pun tinggal janji. Tak ada lagi pembicaraan di antara mereka. Rani pun terpaksa menutup kasus ini dengan galau. Dengan ganjalan yang begitu besar, yang tak pernah bisa terpecahkan lagi. Kejadian yang tak pernah dibayangkan menjadi seperti ini. Resiko yang begitu besar yang harus dihadapi. Air mata yang harus dia habiskan, untuk menangis dan merana. Waktu yang harus dia lewati hanya dengan melamun. Tapi satu tekad Rani saat itu, dia tak mau menyesal telah melakukan hal itu, walau begitu besar akibat yang harus dia terima.



Rani pun berpikir bahwa Allah belum memberikan jodoh untuknya karena diennya yang belum berkualitas untuk mendapatkan ikhwan yang berkualitas pula. Dan mungkin pula niat dan orientasi Rani untuk menikah belum lurus. Dan bisa jadi pula jalan yang ditempuh Rani masih belum benar, masih banyak lobang di sana-sini.



Tapi saat itu juga, dia merasa ada hikmah lain yang bisa dia dapatkan. Suatu pelajaran berharga yang tak ternilai harganya.
Namun setelah kejadian itu hubungan Rani dengan Dendi pun berangsur-angsur kembali seperti semula. Walau pada awalnya keduanya berusaha dengan keras, mencoba bersikap normal, namun pada akhirnya hubungan keduanya kembali seperti semula.
Ponsel disebelah Rani berdering membuyarkan lamunannya. Iwan, calon suaminya, miss call. Artinya dia mengingatkan Rani untuk menghentikan aktivitasnya dan segera menunaikan sholat Dzuhur. Dua bulan yang lalu Iwan melamar Rani. Dia salah seorang sahabat Dendi dan sahabat Rani juga. Dulu, pada Iwan lah Dendi menceritakan masalah itu padanya, walau tak menyebutkan nama Rani disana. Dan Iwan lah yang setiap hari selalu hadir di mimpi Rani, walau saat itu dia pikirkan adalah Dendi. Dan seminggu lagi, insya Allah, mereka akan segera menikah.
Rani tersenyum dibalik sisa-sisa air matanya yang telah mengering.



Akhirnya aku segera tersadar. Hanya pada Allah-lah tempat aku bersandar. Yang akan menguatkan hatiku yang terkapar. Insya Allah ‘azzamku akan terwujud lancar (Galau – Suara Persaudaraan)



TAMAT



Saat aku benar-benar harus melupakan dia yang jauh di sana.
Bandung, 17 Januari 2004 1:14 PM



pengirim: Nail [driena@eudoramail.com]



Sumber : http://islamuda.com

0 comments:

Post a Comment