Satu Lagi Tentang Demokrasi

on Tuesday, February 8, 2005

Minggu kemarin saya pulang ke kampung, sudah dua bulan tidak menghirup segarnya udara kampung. Tidak ada yang istimewa, kecuali pohon - pohon kelapa mulai tumbang satu persatu karena di serang hama “kwang wung” serangga yang menghabiskan daun - daun muda (janur). Dan tampaknya baik itu pemerintah desa, pemerintah kabupaten tidak melakukan tidakan sama sekali apalagi DPD yang kabarnya dulu adalah penyambung masalah rakyatpun juga tidak kita kenal. emm.. barangkali mereka lebih sibuk menyiapkan pencalonan dirinya supaya terpilih kembali, padahal hama tersebut sudah menyerang sejak lama, dan semua pohon kelapa terancam punah. Akahkah hal yang kelihatan semacam ini juga harus menunggu laporan? he.. he.. he..



Menurut orang - orang tua di kampung hama semacam ini dahulunya pernah menyerang. Tetapi saat itu dinas pertanian dengan cepat bertindak sehingga hama “kwang wung” bisa di punahkan.



Kita mesti maklum saja lah kalau pemerintah desa ataupun kabupaten kurang perhatian pada penduduknya. Sebagai contoh nyata yaitu kepulangan saya kemarin berbarengan dengan pemilihan bayan. Bayan sendiri tugasnya adalah sebagai penyampai berita, atau dalam tatanan desa semacam sekretaris dusun. Dusun adalah suatu pemerintahan di bawah desa, sehingga dalam satu desa terdapat beberapa dusun.



Pemilihan dilakukan dengan sistem pencoblosan, semacam pemilihan umum tetapi hanya dilakukan oleh kepala keluarga. Satu keluarga satu suara, karena dalam dusun tempat saya itu terdapat 370 Kepala Keluarga.



Di sana ada dua orang calon. Calon Pertama adalah tetangga saya sendiri, yang mendapat restu Pak Kades karena hubungan family, dan didukung penuh oleh tiga orang yang cukup berpengaruh di desa. Sedangkan calon Kedua mendapat restu Kepala Dusun dan mengusung team sukses seorang penjudi dan petarung ayam yang cukup tersohor (botoh).



Sejak awal kegiatan kampanye, Team Sukses calon pertama ini sudah pontang panting melakukan negosiasi dan pendekatan dengan orang - orang dusun, sehingga suara dimasyarakat sudah hampir dapat dipastikan kalau calon pertama ini menang.



Sejak sehari sebelum pencoblosan, orang - orang yang tidak saya kenal berkeliaran di jalan depan rumah. Bahkan konsentrasi masa yang tidak lain para penjudi (botoh) dimana kebanyakan adalah orang luar desa bahkan luar kabupaten semakin menumpuk. Maka perjudian dalam jumlah puluhan bahkan ratusan jutapun tidak terhindarkan lagi.



Setelah dilakukan pencoblosan dan dilakukan perhitungan akhirnya pemilihan bayan itu dimenangkan oleh Calon Kedua dengan Team Suksesnya seorang penjudi yang hanya tamatan SD. Pingin tahu bagaimana mereka memenangkan hal ini? Hmm caranya adalah dengan money politics dan kerjasama yang baik antar botoh yang kebanyakan orang luar daerah tersebut. Sebenarnya sama saja sih, kedua calon ini menggunakan money politik semua. Calon pertama menggunakan biaya sejumlah 20.000 tiap kepala keluarga, sedangkan calon ke dua menggunakan biaya Rp. 10.000,- lebih kecil memang tetapi jika dia menang maka berjanji akan menggenapi pesangonnya menjadi Rp. 60.000,- lumayan bukan?



Sebenarnya kenapa sih mereka harus ber money politik? Itulah kenyataan di lapangan. Orang - orang dusun jika tidak di beri duit, mereka kebanyakan tidak akan pergi ke TPS. Lah untuk apa pergi ke TPS? Bukankah lebih menguntungkan pergi ke sawah membersihkan gulma (rumput2 liar penggangu padi)? Bukankah lebih menguntungkan mencari ruput untuk pakan ternaknya? Bukankah lebih menguntungkan pergi kepasar untuk berjualan? Karena siapapun calon yang terpilih tidak akan membawa perubahan berarti, sedangkan di kampung katakanlah untuk mencari duit seribu rupiah harus jungkir balik tidak karoan. Bukankan nominal yang lumayan sekali jika mendapatkan duit Rp 60.000,- Lebih - lebih jika anda adalah seorang yang netral. Netral dalam artian tidak menunjukkan dukungan pada siapapun, maka anda akan mendapatkan pesangon dari dua calon tersebut. Tidak hanya lumayan jika dengan ongkang - ongkang kaki mendapatkan Rp 80.000 sehari.



Memang demokrasi merupakan cara pemilihan yang baik, dan diterima banyak kalangan, tetapi fakta dilapangan memang seperti itulah demokrasi. Menghasilkan pejabat yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tunjuan, dan jika sudah jadi pemimpin akan berfikir bagaimana biaya yang dikeluarkan tersebut bisa balik modal? Yach kalau Calon Kedua yang saya ceritakan tidak perlu berfikir lagi, karena semua biaya yang dikeluarkan ditanggung sama ‘botoh’ yang barusan memenangkan perjudiannya dalam jumlah yang lumayan besar. Jadi ada benarnya juga kalau untuk memilih seorang pemimpin diperlukan orang - orang yang berkompeten dibidangnya, orang yang ahli dan mengetahui. Orang yang bisa melakukan musyawarah untuk mufakat dan diterima banyak pihak. Namun pertanyaannya menjadi “Siapa orang yang ahli tersebut?”



Ya memang kita hanya bisa berharap dan berdoa semoga pemimipin yang bisa memimpin umat seperti Rosululloh yang kita rindukan bisa hadir di tengah - tengah krisis multidimensi ini.



Huwallohualam

2 comments:

sakinah said...

waduh...money politics everywhere..semalam ada seminar “memperkasakan muslimat muda” …jd kesimpulannya ada 3 faktor terpenting jika mahu muslimat aktif dlm kepimpinan masyarakat islam....yang paling dibutuhkan ialah unit kerjaya...kita mesti memberi peluang pekerjaan dlm menangani masalah dakwah islami di mana2 pun...thanks for sharing

demokritiks said...

demokrasi telah terbukti gagal menyejahterakan rakyat..
padahal ada solusi yang lebih manjur..
yakni ISLAM..
hanya aturan dari sang pencipta kita yang cocok untuk kita.. bukan semuanya di tangan rakyat!

Post a Comment