Tak Bisa Ke Lain Hati Bagian 2 (Tamat)

on Sunday, July 17, 2005

15 Juli 2001



Surat dari orangtuaku kugenggam erat. Mereka memintaku pulang liburan ini. Mereka rindu sekali. Ah, gumpalan angan itu melayang lagi. Solo tercinta dan mas… Kusandarkan kepala ke tembok dekat jendela, ‘Duhai Rabb,.... apa arti semua ini?”



Solo. Gambaran mas Rijal yang masih belum menikah dan aku yang masih setia menunggu. Kesetiaan memang kadang terasa teramat menyakitkan. Kesetiaan yang aku sendiri tak tahu apakah layak kubangun dan kupelihara pada seorang yang aku tak pernah tahu apakah memang benar akan menjadi jodohku.



Tapi aku tak bisa membohongi diri, harapan itu masih lekat. Meskipun itu berarti malam-malamku menjadi teramat gelisah. Sujud malamku mengalir hambar. Tangis malamku tanpa cinta. Dalam kepalaku hanya dipenuhi lelaki shalih itu. Kini aku sering merutuki diri yang kurasa bukan lagi aku yang dulu. Dhina yang penuh percaya diri dan sangat yakin jodoh itu Allah jua yang menentukan. Bahkan Aku… aku sering takut mas Rijal menemukan muslimah lain yang lebih baik dan cocok untuknya.



24 September 20001



“Dhin, seorang ikhwan kembali melamarmu. Kemarin Mbak sodorkan beberapa biodata, tapi ternyata dia memilihmu. Apakah kamu sudah siap sekarang?” Ucapan Mbak Lia tadi siang menyeruak kembali.



Aku? Dilamar? lagi? Ya, Rabb apalagi ini? Di saat sedemikian banyak akhwat antri menunggu datangnya pinangan , justru aku yang tak berharap malah mendapatkannya. ‘Ya Allah, aku masih ingin menunggu mas Rijal’, bisikku dalam hati dengan mata terpejam penuh penghayatan.



Sudah kedua kalinya Kau kirimkan sosok laki-laki shalih kepadaku. Apakah itu artinya mas Rijal bukan jodohku? Apakah itu artinya sudah tiba masaku untuk memutuskan menikah? Walau bukan dengan mas Rijal? bahkan berbeda 180 derajat dibanding mas Rijal? Sanggupkah aku?.. kututupi wajahku, tak sanggup menahan gundah ini.



“Beri saya waktu satu pekan, mbak. saya ingin istikharah dulu,” kata-kata itu yang kulontarkan pada mbak Lia.



***



1 Oktober 2001 saat langit biru cerah dan matahari bersinar hangat.



Dengan mengucap Bismillah, aku berangkat ke rumah Mbak Lia. hari ini adalah hari yang disepakati untuk memberikan keputusan. ‘Ya Allah, Engkau yang membulak-balikkan hati hamba-Mu, berikanlah keputusan yang berbaik bagiku’. Do’a itu kulantunkan berkali-kali dalam tiap keheningan malamku sepekan terakhir. Di malam terakhir aku sudah mantap dengan keputusanku. Matap? Benarkah? Mungkin tidak. tapi Mungkin juga iya. “Ya Allah, Engkau maha tahu, apa yang bermain-main di hatiku. Tapi, Ya Rabb, aku hanya ingin memenuhi setengah dienku. Bantu aku!,” Seperti bacaan dizikir, kata – kata itu kuulang-ulang sepanjang perjalanan ke rumah mbak Lia.



“Gimana, Dhin?” tanya Mbak Lia tanpa basa-basi setelah aku duduk di ruang tamunya.
Aku terdiam sejenak. Kurasakan jantungku berdegup keras. “Insya Allah saya menerimanya, Mbak,” suaraku terdengar agak parau di telingaku sendiri. Mbak Lia menatapku lekat.



Aku mengarahkan mataku untuk balas menatap, “Beliau bagaimana, mbak?”



Mbak Lia tak segera menjawab. Diraihnya tanganku dan digenggamnya erat.



“Sabar, ya Dhin!” Mbak Lia memandangku penuh kasih. Aku tahu maksudnya. Ada selintas nyeri kurasa menikam hatiku.



“Kalau boleh tahu, alasannya mundur karena apa, Mbak?”



“Tidak ada, Hanya, katanya perasaannya mengatakan anti belum siap!”



***



“Belum Siap?!”.... Belum Siap, apa?



Kalimat itu terus mengikutiku sepanjang perjalann pulang. Sakit sekali hati ini dibilang belum siap. Padahal aku sudah coba mengikhlaskan diri, kubuang segala pertimbangan manusiawiku, tapi malah dia yang mundur, kenapa aku lagi yang harus dipersalahkan? Ah.. Kalau memang tidak sreg, kenapa tidak terus terang saja?



Ataukah ini hukuman-Mu padaku ya, Allah? Karena aku pernah menolak seorang lelaki shalih yang datang padaku dengan hati yang ikhlas? Kucoba pendam perasaan terhina ini. Bagaimanapun , ini adalah konsekuensi dari pilihanku.



Sejujurnya, haiku sebenarnya masih belum sepenuhnya menerima ikhwan itu. Karena dia tak seperti Mas Rijal. Ah, dia lagi, kenapa juga sosok itu terus menggangguku? Tak mau lekang dari ingatan?



Bahkan, selintas tadi ada semacam kelegaan yang mengalir saat mendengar beliau mundur. Itu berarti, aku masih punya harapan pada Mas Rijal. Ya, masih ada Mas Rijal.



***



“Baru pulang, Mbak?” teguran Ibu Nardi, tetangga depan rumah membuyarkan lamunanku. Rupanya aku sudah sampai di rumah kontrakanku yang terkunci. Semua teman serumahku sedang pergi.



“Ini ada surat buat mbak, tadi Pak Pos datang,” Bu Nardi mengulurkan sebuah amplop coklat. Dahiku berkerut saat menerima amplop itu. Ada cap pos kilat khusus Solo di pojok atas. Nama dan alamatku diketik rapi pakai komuter. “Terima Kasih, Bu”, ucapku.



Tanganku gesit membuka amplop itu. Sepucuk undangan berwarna biru muda! Warna favoritku juga Mas Rijal. Tiba-tiba badanku terasa dingin. Sejenak aku terpaku menatapinya. Solo..  mas Rijal? pikirku coba menghubungkan. Dengan tangan agak gemetar, pelan-pelan kubuka undangan itu. Aku berharap itu bukan dia.



Dengan tinta warna emas tertulis nama itu. Nam yang teramat kukenal. Nama yang setahun terakhir mengisi mimpi-mimpiku. Nama yang setahun terakhir menjadi kekuatanku untuk bertahan di kota rantauan ini. Seseorang yang mendorongku untuk terus berkembang. ‘Rijal Herguno’. Tak terasa setitik air jatuh membasahi undangan biru itu. Inikah akhir dari penantianku, ya Allah?



Lagu dangdut bersenanda dari warung kopi dekat rumah. Suaranya lengking, mengiringi suasana hatiku, membuatku malu lalu menghapus air mata. Seorang wanita muda yang menangisi harapan semu…



***



15 Oktober 20001, 10.00 WIB



Saat ini, 675 km dari Jakarta di kota kelahiran kami, Mas Rijal pasti tengah melangsungkan pernikahannya. dengan seorang akhwat shalihah, pilihannya sendiri. Akhwat berwajah sederhana, namun tersenyum manis yang lebih empat tahun darinya. “Dhin, Wajah cantik itu belum tentu bidadari. Tapi seorang wanita shalihah pasti bidadari… “ aku teringat ucapannya dulu. Sudah lama, tapi masih akrab di telinga.



Penantian panjangku telah berakhir. Kegelisahan itu telah menemukan muaranya.  Sekarang, akan lebih mudah bagiku untuk menerima orang lain. Seorang yang tulus, seorang yang tak kalah dari Mas Rijal”, tegasku.



Aku teirngat sebuah ceramah tentang poligami beberapa waktu lalu. salah satu alasan kenapa laki-laki boleh menikahi lebih dari satu wanita tetapi wanita tidak adalah karena secara psikologis, wanita hanya sanggup mencintai satu orang laki-laki sedangkan pria bisa mencintai lebih dari satu orang sekaligus dengan kadar yang relatif sama. Dulu aku tak sependapat dengan argumen itu. Tapi kini? Aku merasakan sendiri ternyata memang benar, wanita tak akan pernah bisa mendua hati. Hatiku hanya cukup diisi satu nama. Dan selama ini tanpa sadar, aku telah mengisi dengan sebuah nama yang ternyata bukan hakku. Sesuatu yang akhirnya membuatku menutup pintu bagi lelaki shalih lain. Hampir saja aku membakar ladang hatiku hanya karena mengharap seekor belalang. “Rabb, Berikanlah aku cinta-Mu dan cinta orang-orang yang mencintai-Mu..”



Satu-satu, jari-jariku mantap memencet tombol-tombol Handphone, “Happy wedding day, Barakallahu lakum —Dhin’ Pendek saja. Berikutnya kumasukkan sebuah nomor yang sangat aku hafal setahun terakhir, dan segera memencet “send”.



“Ini yang terakhir”, bisikku. “Selamat jalan, semoga bahagia”.



TAMAT



Note :
Tulisan ini saya ketik kembali dari Majalah Al-Izzah No. 24/Th. 3, 31 Januari 2002. “Kadang memang beginilah hidup ini, yang diharapkan tidak seindah kenyataan. Sehingga berserah diri pada Yang Maha Kuasa barangkali jalan yang terbaik, disamping masih tetap berusaha dan berdoa. Tidak hanya dalam urusan jodoh, tetapi dalam urusan rejeki dan kesehatan.”

8 comments:

suroi said...

subhanallah
ceritanya koq mirip ceritaku ya, cuman ikhwannya sampe sekarang bln nikah
akunya yang ga sreg mulu nikah ma orang laen, hiks, gimna dunks...:-(

dedek said...

nyentuh banget ceritanya.........
ini kisah nyata kali?

dedek said...

kisah-kisah seru kaya gini dtambahi lagi donnng. kok dah lama belum ada tambahsan kisah yang laen? ayo buat lagi

Zahra said...

Kisah'a daleem boo, sedlm ksdihan si akhwat x yee

Rie said...

Subhanallah,indah bgt cerita'n...
Sedih bgt y dtinggal nikah m org yg kt cintai.Cerita'n aku bgt,beda'n seseorg tu lom nkh,tp dia memilih utk bahagia tanpa aku,sedih c,hiks...
Tp itulah hidup tak selama'n seindah yg kt inginkan.Keep spirit...
Aku yakin,kelak Allah tlah menyediakan seseorg terbaik utkku,amien...

dany said...

pagi2 baca beginian sedih juga. T.T

shafira said...

wah... jeren... semoga kita dapat kesimpulan dan renungan yang begitu mengesankan....

betha said...

sama persis kayak apa yg aku alami, bahkan sampai sekarang pun aku blm bisa melupakan sepenuhnya... tp ku selalu terus berusaha ......

Post a Comment