Kenapa Kita Mudah Terpecah Belah?

on Wednesday, July 20, 2005

Hati saya miris, sedih, dan kecewa, tatkala pada sebuah dusun di sebelah timur tempat saya dibesarkan di bangun sebuah mushola. Loh memang apa salahnya, bukankah membangun mushola itu bagus? Bukankah mensiarkan agama itu penting? Bukankah hal - hal semacam itu harus di dukung semua pihak?



Eh, tunggu dulu, jangan menuduh saya yang macam - macam. Permasalahannya kurang dari 100 m di sebelah barat mushola tersebut sudah ada mushola lama yang berdiri kokoh. Kalau dilihat dari pondasinya, mushola baru ini ukurannya memang lebih besar ketimbang mushola yang lama, tetapi alangkah baiknya jika mushola yang ada itu sendiri di rawat yang baik. Atau jika memiliki biaya alangkah baiknya mushola yang sudah ada di renovasi kembali. Bukahkah lebih baik?



Kebetulan di tempat saya juga ada beberapa orang pekerja yang sedang merenovasi rumah. Tatkala saya tanya perihal pembangunan mushola baru tersebut. Beberapa orang yang merenovasi rumah tersebut juga geleng - geleng kepala. Pada tidak tahu maksudnya, sambil berkata, “Nyapo yo, yen wong ISLAM iku dijak rukun angele ora mekakat, tapi yen dijak musuhan cepet banget, padahal agama ISLAM dewe ora ngajak umate eker - ekeran” (=Kenapa ya, orang ISLAM itu kalau diajak rukun sulitnya bukan main, tapi kalau di ajak berpecah belah cepat sekali, padahal agama ISLAM sendiri tidak mengajak umatnya untuk bermusuhan.)



Usut punya usut ternyata ada dua kelompok Yasinan di daerah tersebut. Yasinan adalah acara perkumpulan pembacaan surat Yasin, dan biasanya di gilir dari satu rumah ke rumah yang lain serta acaranya di laksanakan pada setiap malam jumat. Acara ini digunakan untuk mempererat warga desa biar tiap minggu bisa kumpul bersama, entah itu yang kaya, atau yang miskin, entah itu yang pejabat atau yang rakyat jelata, mereka bisa berkumpul serta bisa saling mengunjungi. Bisa saling bertukar informasi ataupun hanya untuk sekedar “jagongan” (=ngobrol).



Kelompok yang satunya adalah kelompok barat, dan satunya lagi kelompok timur. Nah yang kelompok barat itu base camp-nya adalah mushola lama, sedangkan kolompok timur belum memiliki mushola, akhirnya merasa perlu membangun kembali mushola untuk base camp-nya. Saya kurang tahu pasti apakah pembagian kelompok itu karena kelompok yang sudah ada terlalu banyak pesertanya, ataukah karena ada alasan lain. Tetapi masak kalau hanya perbedaan kelompok yasinan saja sampai - sampai membuat mushola sendiri. Tapi apa boleh buat, sayapun juga bukan orang berpengaruh di daerah, sehingga kalau ngomong macam - macam malah menjadi bumerang sendiri. Saya tidak tahu apakah kalau kita hanya mampu mendoakan semoga yang berselisih bisa dibukakan hatinya merupakan tindakan orang (=saya) yang mempunyai selemah - lemahnya iman.



Hingga harus kita akui mempersatukan orang islam sulitnya memang minta ampun. Bahkan orang yang perpindidikanpun sering kali harus terjebak dalam masalah ini. Dalam masalah suatu organisasi(baca= partai) misalnya, organisasi ISLAM sangat mudah dipecah - pecah, bermusuhan. Bahkan hasil muktamar organisasi biasanya awal perpecahan organisasi itu sendiri. Bahkan lebih lucu lagi, organisasi yang memecahkan diri tersebut akhirnya terpecah - pecah juga.



Tapi anehknya orang - orang bawah yang gak ngerti apa - apa juga turut musuhan. Padahal siapapun yang memimpin organisasi tersebut orang - orang bawah ini juga tidak akan kebagian apa - apa, tidak akan menjadi kaya, tidak akan diperhatikan nasib-nya. Ya tetap begitulah. Habis bagaimana orang - orang yang diatas sempat memikir yang bawah, lah wong sibuk ngurusi organisasi yang selalu eker - ekeran.



Orang desa yang tidak sempat mengenyam pendidikan SMP dan bekerja sebagai buruh bangunanpun tahu, kalau perpecahan itu bukanlah jalan yang baik, tapi kenapa orang - orang yang notabene berpendidikan malah melakukan. Ataukah memang teori tidak semudah praktek? Barangkali kita mesti menurunkan sedikit ego untuk kebaikan bersama. Hanya Alloh Yang Maha Tahu.

Tujuh Dosa Besar

Loh, Yang Ngamen Teman Lamaku

Barangkali sekedar pesan pada diri saya sendiri, hidup yang cuma sekali ini ada baiknya di jalani dengan hati - hati agar tidak terperosok ke jurang yang amat dalam dan menyakitkan.



Masih dari cerita kepulangan kemarin, hari Jum’at tepatnya saya mengantar salah satu family ke seorang dokter spesialist penyakit dalam, hanya sekedar untuk cek up saja. Namun karena berangkatnya cukup pagi maka tidak perlu antri kalau hanya sekedar cek up. Setelah konsultasi, antri beli obat sama test darah, pukul 09.30 sudah bisa meninggalkan pintu tempat dokter tersebut praktik. Dengan naik Bus mini yang penumpangnya tak seberapa ramai, bus pun singgah di terminal kecamatan. Kalau kondisi bis-nya penuh, biasanya terminal kecamatan ini tidak di singgahi.



Biasalah “ngetem” (=menunggu penumpang) dulu barang sejenak. Dari pintu depan seorang pengamen berambut kriting mengenanakan kaca mata hitam, usianya sebaya denganku masuk ke dalam bus.



“Jreng”, suara guitar di petiknya.
“Permisi Pak!” Katanya. Sejurus kemudian lagu dari Dani Dewapun mulai di nyanyikannya “... manusia bisa terluka, manusia pasti menangis.... “



Ya, ampun pikirku dalam hati. Bukankah ini temen SMP dan SMA-ku. Aku pelototi sekali lagi. Terdapat tanda bekas luka di bagian bawah dagunya, yang tidak bisa membohongi bahwa itu adalah benar - benar temanku tempo dulu. Oh sejak kejadian itu ternyata dia pulang ke kampung.......



***



Aku tidak tahu pasti apakah saat dia menyanyi masih sempat memperhatikan aku, karena matanya ditutup dengan kaca mata hitam. Ya.. dia adalah temanku. Dulu waktu SMP anaknya lumayan manja, bahkan gaya bicaranya mirip anak - anak perempuan. Pernah pula tanpa sengaja kepalanya saya lempar dengan bongkahan batu bata, hingga benjol he.. he.. he.., Tapi bukan bongkahan batu besar loh. sedangkan di SMA kita beda kelas.



Akhirnya sejak 1998 saya kuliah duluan di Surabaya, kemudian temanku itu mulai kuliah sekitar tahun 2000 di salah satu sekolah swasta di Surabaya juga. Kabarnya sejak kuliah kegiatannya lumayan padat. Saya turut angkat topi, karena kabarnya dia bisa membiayai kuliahnya sendiri. Hingga pada suatu saat di sekitar penghujung tahun 2001 berita tidak mengenakkan saya dengar. Temanku tadi di penjara di rutan kawasan Sukolilo karena terlibat pesta narkoba dan kabarnya lebih dari itu. Saya tidak tahu pasti apakah temanku tadi hanya terlibat Narkoba saja atau juga ikutan kelebihannya itu. Yang jelas dia dipenjara. Bahkan beritanya muncul di beberapa koran harian Surabaya.



Setidaknya setelah 2 minggu di dalam tahanan, beberapa teman SMA sempat mengajakku untuk menjenguknya, tetapi melihat kasusnya semacam itu, saya jadi tidak tega untuk ikut menjenguknya. Bukannya saya membenci, tetapi saya kawatir bukannya membangkitkan semangatnya, tapi malah akan membuatnya malu. Lebih - lebih saya sudah tidak sedekat saat masih SMP dulu. Akhirnya tawaran beberapa teman SMA untuk ikut menjenguknya saya tolak dengan sangat halus.



Setelah kejadian tersebut, dia di keluarkan dari kampusnya sekaligus dikeluarkan dari tempat kerjanya, dan kabarnya memang pulang ke kampung, hingga akhirnya saya bertemu kemarin.



***



Tak terasa sebuah lagupun telah selesai dinyanyikannya. Hingga tiba saat menarik sumbangan seikhlasnya. Namun sesampainya di tempatku hmmm ternyata di lewati saja, kayak orang pura - pura tak tahu. Kali saja malu. Namun aku buru - buru memasukkan sejumlah sumbangan yang jumlahnya tak seberapa banyak. (Habis belum kerja layak sih..),



Dan temankupun berkata, “Matursuwun Mas Agus” (=Terimakasih Mas Agus), emmm nampaknya masih ingat sama saya.
“Nyanyi sing apik.” (=Menyanyi yang bagus) Kataku lirih seraya tersenyum, tidak tahu didengar atau tidak, karena temen lamaku buru - buru keluar dari bis ini.



Trenggalek, 15 Juli 2005

Obati Kangen Linux Dengan Damn Small Linux

on Sunday, July 17, 2005

“Bagi saya Damn Small Linux (DSL) merupakan Distro Linux yang berukuran kecil, ber-GUI, mudah di gunakan serta eksekusi programnya terasa ringan, dan saya paling seneng saat semua program di dalamnya dapat di copy ke memory kemudian kepingan cd DSL-nya bisa dilepas. Asyik banget kan?” (Agus Waluyo, http://agusw.penamedia.com).


Logo Damn Small Linux



Dulu saya sering kali nyoba - nyoba software di Linux, tetapi karena hardisk saya yang kurang dari 3 Gb sudah penuh, akhirnya tidak pernah nyoba - nyoba software di Linux lagi. Sehingga praktis untuk urusan Linux hanya mengandalkan Knoppix yang berjalan sangat berat di komputer saya yang masih tetap setia menggunakan Pentium 200 ini.



Namun kemarin syukurlah, saat berselancar saya dapati kecepatan warnetnya lumayan berkisar antara 10-25 kb/s, maka sayapun buru - buru cari Linux’s Live on CD yang berukuran mini. Akhirnya dari ubek - ubek sebentar itulah saya diketemukan dengan Damn Small Linux yang ukurannya cuman 50 Mb, namun sudah dalam tampilan GUI, walaupun desktop enviromentnya mirip XFCM dengan program - program yang dibundel dipilih program - program minimalist.



Kunjungi homepage resminya di http://damnsmalllinux.org, kemudian untuk mempermudah, downloadlah file ISO yang berukuran hampir 50 Mb tersebut. File iso adalah jenis file yang siap untuk di burning(di bakar) pada kepingan CD. Pilihlah menu burning file ISO dari software burning favorit anda. Bisa K3B Linux, Nero Burning Windows ataupun software burning lainnya yang telah mendukung burning dari file ISO ini. Jika hasil burning tersebut anda lihat pada sembarang operating sistem, maka dalam CD terdapat dua buah directory (Knoppix dan lost+fount) serta sebuah file index.html.



Loh, kok ada directory Knoppix? Ya, karena Damn Small Linux (DSL) ini memang dibuat berbasiskan Knoppix, hanya saja program-programnya yang dibundelnya dirancang seminimalist mungkin, sehingga proses loading operating system ini sangat cepat. Pada komputer saya, jika di copy ke dalam memory memakan waktu 2 menit, dengan rincian 1 menit pertama adalah proses pencopyan dari CD ke memory, dan 1 menit selanjutnya untuk proses loading operating sistemnya. Namun jika di jalankan lewat CD hanya memakan waktu 1,25 menit. Nah cepat sekali bukan? Lebih - lebih jika spesifikasi komputer anda lumayan bagus, bisa lebih cepat dari itu.



Proses Running



Untuk menjalankan Damn Small Linux, ikutilah langkah - langkah berikut :

  1. Dari BIOS setinglah bootable CDROM pada urutan pertama.
  2. Masukkan kepingan CD Damn Small Linux kemudian restratlah komputernya.
  3. Tunggu sampai terdapat logo Damn Small Linux dengan kata boot: , kemudian pilihlah salah satu pilihan berikut:

    • Tekan enter jika anda menginginkan Damn Small Linux berjalan pada defaultnya (resolusi 1024x768, dengan kualitas warna 32 bit/true color)
    • Ketik dsl toram jika menginginkan Damn Small Linux di copy ke dalam memory. Syarat untuk menyimpan DSL ke dalam memori, komputer anda harus memiliki RAM minimal 128 Mb. Saya mencoba dengan RAM 80 Mb pada komputer saya bisa sih sebenarnya, tetapi jika menjalankan beberapa program sekaligus membuat GUI DSL-nya hilang.
    • Tekan tombol F2 jika akan melihat beberapa pilihan boot yang bisa dijalankan pada Damn Small Linux.

  4. Biarkan proses auto configurasi berjalan. Lewati (skip) konfigurasi hardware jika anda tidak mengerti, atau ikuti perintah one by one-nya jika ada cukup mengerti tentang tipe device yang ada gunakan (tipe mouse, resolusi, dan bit warna pada monitor)
  5. Selamat datang di Damn Small Linux.



    Desktop Damn Small Linux


Memulai Bekerja dengan Damn Small Linux.



Gigitlah jari anda jika anda mengharapkan ada tombol start(K pada KDE, G pada GNOME) di pojok kiri bawah, karena tombol tersebut tidak ada. Di layar hanya ada warna hitam bergambar logo Linux serta sebuah task bar kecil. Namun segera lepas gigitan jari anda, karena tombol strat tersebut diwakili dengan sebuah klik kanan pada desktop. Kemudian pilihlah program yang akan dijalankan.




Memulai Aplikasi



Untuk merubah tampilan desktop, pilihlah Klik Kanan -> Desktop. Pilih Full Enhanced Desktop jika menginkan ada tampilan icon dan beberapa aplikasi lainnya. Serta pilihlah Styles jika ingin merubah warna styles desktop, ada banyak pilihan styles, favorit saya adalah blue.



Program - Program Yang Disedikan



Beberapa program yang bisa dijalankan pada DSL diantaranya :

  • XMMS adalah program pemutar multimedia yang disediakan.
  • Ted untuk pengolah kata.
  • ABS sebagai spreadsheetnya.
  • Editornya adalah Scite (my favorite editor), nVi, Emacs, dan Nano.
  • Pengolah gambarnya adalah XPaint, dan viewernya xzgv
  • Xpdf digunakna untuk intip - intip file PDF
  • Dillo dan Links sebagi browsernya.
  • Bash Burn adalah software untuk burning CD walau hanya dapat di jalankan di bawah bash.
  • File Managernya adalah Emelfm dan Midnight Commander.
  • Control Panel
  • Shell
  • Gamenya lumayan banyak diantaranya XPacMan, xTris, gTuxNES, Sack of Flour, Box Boy, GalaxyPatrol, BombSweeper, MunchieAttack, Soko Ban, JetFigter, Solar Wars, serta Oneko.
  • Serta seambreg Tools dan berbagai program internet jika anda ingin menghubungkannya dengan dunia maya.


Beberapa Aplikasi pada Damn Small Linux



Mount Device.



DSL dirancang tidak auto mounting, sehingga untuk mengakses CDROOM, floppy, usb flash disk, ataupun partisi lain haruslah di mounting dulu. Walau demikian pada DSL ini, setiap device yang dikenali akan ditempatkan di bawah folder /mnt/.



Ada beberapa cara untuk memounting, yaitu login ke root, dengan perintah pada bash adalah sudo su . Atau bisa di akses lewat menu Klik Kanan Desktop -> XShells -> Root Access. Kemudian lakukan proses mounting, misal untuk CDROOM ketik mount /mnt/cdrom namun jika masih gagal tulis secara lengkap mount /dev/cdrom /mnt/cdrom, sehingga sekarang untuk membaca CDROOM anda tinggal masuk ke folder /mnt/cdrom. Sedang untuk melepaskan mounting, ketik pada bash umount /mnt/cdrom.



Jika cara diatas terlalu sulit DSL telah menyediakan alternatif yang cukup mudah. Masuklah ke desktop enhance DSL. yaitu Klik Kanan Pada Desktop -> Desktop -> Full Enhanced Desktop. Perhatikan kotak besar di sebelah kanan bawah, yang berisi informasi CPU, SWAP dan device komputer. Letak Device komputer berapada pada kotak yang paling bawah sendiri, di sana ada tanda kurang lebih mirip —|,

<

dan >. Nah tanda —| berfungsi untuk memounting sedangkan tanda

<

dan > untuk menemukan/mencari device yang dikenali atau berfungsi sebagai previous dan next device. Setelah anda klik tanda —|, maka device tersebut akan termounting dan warnanya berubah menjadi hijau menyala, jika ingin meng-umounting klik kembali tanda —| tersebut. Jangan kawatir DSL sudah mengenali usb flash disk.



Mounting Device



Nah, berarti DSL tidak hanya untuk tulis menulis saja, tetapi juga bisa untuk recovery data jika operating system yang biasa kita gunakan sedang bermasalah. DSL dapat juga di install ke dalam hardisk. Jangan lupa baca pula readme-nya yang selalu muncul tatkala anda me-running-nya dari dalam CD. Selamat mencicipi Damn Small Linux (DSL).



NOTE :
Gambar - gambar di capture dengan Take Snapshoot-nya XPaint 2.6.2. serta Tulisan di ketik dengan SciTE pada Damn Small Linux.



OS : Damn Small Linux Lives on CD
Ukuran : 50 Mb
Web/URL : http://damnsmalllinux.org

Tak Bisa Ke Lain Hati Bagian 2 (Tamat)

15 Juli 2001



Surat dari orangtuaku kugenggam erat. Mereka memintaku pulang liburan ini. Mereka rindu sekali. Ah, gumpalan angan itu melayang lagi. Solo tercinta dan mas… Kusandarkan kepala ke tembok dekat jendela, ‘Duhai Rabb,.... apa arti semua ini?”



Solo. Gambaran mas Rijal yang masih belum menikah dan aku yang masih setia menunggu. Kesetiaan memang kadang terasa teramat menyakitkan. Kesetiaan yang aku sendiri tak tahu apakah layak kubangun dan kupelihara pada seorang yang aku tak pernah tahu apakah memang benar akan menjadi jodohku.



Tapi aku tak bisa membohongi diri, harapan itu masih lekat. Meskipun itu berarti malam-malamku menjadi teramat gelisah. Sujud malamku mengalir hambar. Tangis malamku tanpa cinta. Dalam kepalaku hanya dipenuhi lelaki shalih itu. Kini aku sering merutuki diri yang kurasa bukan lagi aku yang dulu. Dhina yang penuh percaya diri dan sangat yakin jodoh itu Allah jua yang menentukan. Bahkan Aku… aku sering takut mas Rijal menemukan muslimah lain yang lebih baik dan cocok untuknya.



24 September 20001



“Dhin, seorang ikhwan kembali melamarmu. Kemarin Mbak sodorkan beberapa biodata, tapi ternyata dia memilihmu. Apakah kamu sudah siap sekarang?” Ucapan Mbak Lia tadi siang menyeruak kembali.



Aku? Dilamar? lagi? Ya, Rabb apalagi ini? Di saat sedemikian banyak akhwat antri menunggu datangnya pinangan , justru aku yang tak berharap malah mendapatkannya. ‘Ya Allah, aku masih ingin menunggu mas Rijal’, bisikku dalam hati dengan mata terpejam penuh penghayatan.



Sudah kedua kalinya Kau kirimkan sosok laki-laki shalih kepadaku. Apakah itu artinya mas Rijal bukan jodohku? Apakah itu artinya sudah tiba masaku untuk memutuskan menikah? Walau bukan dengan mas Rijal? bahkan berbeda 180 derajat dibanding mas Rijal? Sanggupkah aku?.. kututupi wajahku, tak sanggup menahan gundah ini.



“Beri saya waktu satu pekan, mbak. saya ingin istikharah dulu,” kata-kata itu yang kulontarkan pada mbak Lia.



***



1 Oktober 2001 saat langit biru cerah dan matahari bersinar hangat.



Dengan mengucap Bismillah, aku berangkat ke rumah Mbak Lia. hari ini adalah hari yang disepakati untuk memberikan keputusan. ‘Ya Allah, Engkau yang membulak-balikkan hati hamba-Mu, berikanlah keputusan yang berbaik bagiku’. Do’a itu kulantunkan berkali-kali dalam tiap keheningan malamku sepekan terakhir. Di malam terakhir aku sudah mantap dengan keputusanku. Matap? Benarkah? Mungkin tidak. tapi Mungkin juga iya. “Ya Allah, Engkau maha tahu, apa yang bermain-main di hatiku. Tapi, Ya Rabb, aku hanya ingin memenuhi setengah dienku. Bantu aku!,” Seperti bacaan dizikir, kata – kata itu kuulang-ulang sepanjang perjalanan ke rumah mbak Lia.



“Gimana, Dhin?” tanya Mbak Lia tanpa basa-basi setelah aku duduk di ruang tamunya.
Aku terdiam sejenak. Kurasakan jantungku berdegup keras. “Insya Allah saya menerimanya, Mbak,” suaraku terdengar agak parau di telingaku sendiri. Mbak Lia menatapku lekat.



Aku mengarahkan mataku untuk balas menatap, “Beliau bagaimana, mbak?”



Mbak Lia tak segera menjawab. Diraihnya tanganku dan digenggamnya erat.



“Sabar, ya Dhin!” Mbak Lia memandangku penuh kasih. Aku tahu maksudnya. Ada selintas nyeri kurasa menikam hatiku.



“Kalau boleh tahu, alasannya mundur karena apa, Mbak?”



“Tidak ada, Hanya, katanya perasaannya mengatakan anti belum siap!”



***



“Belum Siap?!”.... Belum Siap, apa?



Kalimat itu terus mengikutiku sepanjang perjalann pulang. Sakit sekali hati ini dibilang belum siap. Padahal aku sudah coba mengikhlaskan diri, kubuang segala pertimbangan manusiawiku, tapi malah dia yang mundur, kenapa aku lagi yang harus dipersalahkan? Ah.. Kalau memang tidak sreg, kenapa tidak terus terang saja?



Ataukah ini hukuman-Mu padaku ya, Allah? Karena aku pernah menolak seorang lelaki shalih yang datang padaku dengan hati yang ikhlas? Kucoba pendam perasaan terhina ini. Bagaimanapun , ini adalah konsekuensi dari pilihanku.



Sejujurnya, haiku sebenarnya masih belum sepenuhnya menerima ikhwan itu. Karena dia tak seperti Mas Rijal. Ah, dia lagi, kenapa juga sosok itu terus menggangguku? Tak mau lekang dari ingatan?



Bahkan, selintas tadi ada semacam kelegaan yang mengalir saat mendengar beliau mundur. Itu berarti, aku masih punya harapan pada Mas Rijal. Ya, masih ada Mas Rijal.



***



“Baru pulang, Mbak?” teguran Ibu Nardi, tetangga depan rumah membuyarkan lamunanku. Rupanya aku sudah sampai di rumah kontrakanku yang terkunci. Semua teman serumahku sedang pergi.



“Ini ada surat buat mbak, tadi Pak Pos datang,” Bu Nardi mengulurkan sebuah amplop coklat. Dahiku berkerut saat menerima amplop itu. Ada cap pos kilat khusus Solo di pojok atas. Nama dan alamatku diketik rapi pakai komuter. “Terima Kasih, Bu”, ucapku.



Tanganku gesit membuka amplop itu. Sepucuk undangan berwarna biru muda! Warna favoritku juga Mas Rijal. Tiba-tiba badanku terasa dingin. Sejenak aku terpaku menatapinya. Solo..  mas Rijal? pikirku coba menghubungkan. Dengan tangan agak gemetar, pelan-pelan kubuka undangan itu. Aku berharap itu bukan dia.



Dengan tinta warna emas tertulis nama itu. Nam yang teramat kukenal. Nama yang setahun terakhir mengisi mimpi-mimpiku. Nama yang setahun terakhir menjadi kekuatanku untuk bertahan di kota rantauan ini. Seseorang yang mendorongku untuk terus berkembang. ‘Rijal Herguno’. Tak terasa setitik air jatuh membasahi undangan biru itu. Inikah akhir dari penantianku, ya Allah?



Lagu dangdut bersenanda dari warung kopi dekat rumah. Suaranya lengking, mengiringi suasana hatiku, membuatku malu lalu menghapus air mata. Seorang wanita muda yang menangisi harapan semu…



***



15 Oktober 20001, 10.00 WIB



Saat ini, 675 km dari Jakarta di kota kelahiran kami, Mas Rijal pasti tengah melangsungkan pernikahannya. dengan seorang akhwat shalihah, pilihannya sendiri. Akhwat berwajah sederhana, namun tersenyum manis yang lebih empat tahun darinya. “Dhin, Wajah cantik itu belum tentu bidadari. Tapi seorang wanita shalihah pasti bidadari… “ aku teringat ucapannya dulu. Sudah lama, tapi masih akrab di telinga.



Penantian panjangku telah berakhir. Kegelisahan itu telah menemukan muaranya.  Sekarang, akan lebih mudah bagiku untuk menerima orang lain. Seorang yang tulus, seorang yang tak kalah dari Mas Rijal”, tegasku.



Aku teirngat sebuah ceramah tentang poligami beberapa waktu lalu. salah satu alasan kenapa laki-laki boleh menikahi lebih dari satu wanita tetapi wanita tidak adalah karena secara psikologis, wanita hanya sanggup mencintai satu orang laki-laki sedangkan pria bisa mencintai lebih dari satu orang sekaligus dengan kadar yang relatif sama. Dulu aku tak sependapat dengan argumen itu. Tapi kini? Aku merasakan sendiri ternyata memang benar, wanita tak akan pernah bisa mendua hati. Hatiku hanya cukup diisi satu nama. Dan selama ini tanpa sadar, aku telah mengisi dengan sebuah nama yang ternyata bukan hakku. Sesuatu yang akhirnya membuatku menutup pintu bagi lelaki shalih lain. Hampir saja aku membakar ladang hatiku hanya karena mengharap seekor belalang. “Rabb, Berikanlah aku cinta-Mu dan cinta orang-orang yang mencintai-Mu..”



Satu-satu, jari-jariku mantap memencet tombol-tombol Handphone, “Happy wedding day, Barakallahu lakum —Dhin’ Pendek saja. Berikutnya kumasukkan sebuah nomor yang sangat aku hafal setahun terakhir, dan segera memencet “send”.



“Ini yang terakhir”, bisikku. “Selamat jalan, semoga bahagia”.



TAMAT



Note :
Tulisan ini saya ketik kembali dari Majalah Al-Izzah No. 24/Th. 3, 31 Januari 2002. “Kadang memang beginilah hidup ini, yang diharapkan tidak seindah kenyataan. Sehingga berserah diri pada Yang Maha Kuasa barangkali jalan yang terbaik, disamping masih tetap berusaha dan berdoa. Tidak hanya dalam urusan jodoh, tetapi dalam urusan rejeki dan kesehatan.”

Tak Bisa Ke Lain Hati

on Friday, July 1, 2005

“Suatu saat, jika ada yang berniat menikahiku, aku ingin itu karena dia melihat sesuatu yang istimewa dalam diriku. Bukan seorang yang hanya berniat menikah, dan menyerahkan kepada guru ngajinya dijodohkan dengan siapapun. Apakah aku salah?”



April 2001, saat bulan bersinar lebih dari separuh.



’Apakah ikhlas selalu bermakna menafikan pertimbangan-pertimbangan manusiawi?’ Pertanyaan itu tak bisa lekang dari benakku. Sejak peritiwa ta’aruf dua hari yang lalu. Saat itu, mbak Lia, guru ngajiku berpesan, ‘Dhin, kalau sudah seaqidah dan sefikrah, yang lainnya tinggal mengikuti. Apalagi, sekarang akhwat lebih banyak daripada ikhwan. Jangan sampai kamu menolak rizqi. Dia ikhwan lho!’



Mengingat itu semua, aku kembali menghela nafas. ‘Apakah ikhlas selalu bermakna menafikan pertimbangan manusiawi?’ Pertanyaan itu kembali bersemayam di kepalaku. Berputar, melibas, mengurangi, tanpa menemukan jawaban. Hingga akhirnya, pertanyaan itulah yang ingin aku mintakan jawaban pada Yanti, teman sekamarku. Keheningan malam dan kebekuannya yang memenjarakan dinding kamar sempit kami menjadi saksi.



“Secara umum, aku kira jawabanya adalah YA,” jawab Yanti. “Karena Ikhlas bisa bermakna menerima apa yang diberikan Allah dengan lapang dada.”
“Tapi itu tak berarti guru ngaji berhak menodong khan?….”
“Tentu saja tidak. Anti berhak menyampaikan harapan-harapan, keinginan dan sebagainya”.
“Apakah jika dia berpredikat ‘ikhwan’ dan ngaji, semuanya sudah cukup! Di mana diletakkan kecocockan visi, pemikiran, orientasi, dan karakter? Sekarang ini jumlah ikhwan akhwat melimpah. Lantas atas dasar apa, seorang ikhwan dijodohkan dengan seorang akhwat?”, desaku.
“Bukankah anti bisa bertanya, minta informasi yang lebih lengkap?” Yanti menyarankan dengan sabar.
“Sudah…!” Lantas aku serasa mendapat tempat utuk mengurangi beban yang beberapa hari ini kusandang.



Sepekan yang lalu mendadak Mbak Lia memberikan biodata seorang ikhwan. usiaku memang sudah sangat cukup untuk menikah. Dua puluh lima tahun. Aku terkejut ketika itu, tapi aku hanya sanggup untuk mengiakan. Tiga hari kemudian aku dihadapkan dengan ‘laki-laki tak di kenal’ dalam biodata itu di rumah mbak Lia, aku sangat berharap laki-laki itu seperti yang kuimpikan. Seperti…., Ah! Sudahlah, ternyata aku harus kecewa.



“Suatu saat, jika ada yang berniat menikahiku, aku ingin itu karena dia melihat sesuatu yang istimewa dalam diriku. Bukan seorang yang hanya berniat menikah, dan menyerahkan kepada guru ngajinya dijodohkan dengan siapapun. Apakah aku salah?”



“Tidak. Hak kamu untuk punya keinginan seperti itu. Betapapun, kamu yang akan menjalani. Maka keputusan itu harus keputusanmu, bukan keputusan guru ngaji.”



“Aku ingin dia bisa menerimaku dengan segala kondisiku, bahkan mendukung cita-citaku. Bahwa aku bukan tipe orang yang bisa diam di rumah. Bahwa aku ingin kuliah lagi, aku ingin mengajar, aku ingin aktif bergabung dengan lembaga-lembaga sosial.”



Aku menerawang keluar jendela kamar yang terbuka. Beberapa kerlip bintang tertangkah oleh mataku. “Tapi dia ingin aku di rumah saja. Dia ingin aku tidak bekerja di luar jika sudah punya anak”.
“Kalau begitu, kamu tolak saja.”
“Aku tak berani!”



Yanti menatapku lama. “Tampaknya, ada permasalah lain yang jadi ganjalanmu, Dhin! Bukan bagaimana dia. Istikharahlah Ukhti agar Allah saja yang menunjukkan jalan itu untukmu, “Yanti menepuk pundakku dan meninggalkanku yang masih menatapi langit. Bulan di langit mulai tertutup awan.



’Permasalahan lain!’. Ya, Permasalahan lain. Barangkali memang benar inilah masalahku yang sebenarnya. Kata-kata Yanti itu kurasakan dalam membekas. Kata-kata itu pula yang menghadirkan nama pada galau hati yang selama ini tak kumengerti apa. Galau yang telah delapan bulan ini mengisi jiwa dan menenggelamkanku pada rasa gelisah, cemas, harapan serta penantian. Juga pada mimpi. Mimpiku tentang seorang lelaki shalih, yang pernah melamarku delapan bulan yang lalu. Mas Rijal. Lelaki shalih kakak kelasku di SMA dulu, di Solo, kota kelahiranku. Laki-laki yang aku tahu pasti akan mendukung cita-cintaku. Laki-laki idaman. Cerdas, alim dan bersahaja.



Namun sayang, proses kami tidak berjalan lancar, karena aku masih kuliah Ekstensi di Jakarta. Masih dua tahun lagi, dan aku tak bisa menginggalkannya karena orangtuaku keras tidak mengijinkanku. Sementara, Mas Rijal juga tak bisa pindah ke Jakarta, karena beliau memegang posisi kunci di usaha media yang baru dirintisnya.



Aku tahu itu dan sangat sadar. Aku rela serela-relanya kalau mas Rijal mundur atas alasan ini. Bahkan dulu, delapan bulan yang lalu itu, aku yang mengajurkan beliau untuk mencari muslimah lain saja. Namun, jawaban Mas Rijal sangat di luar dugaanku ‘Let it be my problem! Not Yours’. Jawaban yang mengantung. Akhirnya aku memilih untuk menunggu saja.



Sementara itu, mbak Lia, yang sudah keuanggap pengganti orangtuaku di Jakarta menganggap semuanya sudah berakhir, karena Mas Rijal tak pernah berkabar lagi tentang lamarannya.



Namun tidak demikian bagiku. Masih sangat nyata dalam benakku, masih kusimpan dengan rapi surat berisi kalimat terakhir Mas Rijal, ‘Let it be my problem. Not Yours’



Meskipun beliau sangat jarang dan hampir tidak pernah menghubungiku, tapi kenyataan bahwa beliau sampai saat ini belum menikah makin memperkuat harapanku.



***


Masih April, bulan tak lagi bulat penuh.



Dua hari lagi aku harus memberikan jawaban. Dan aku masih juga diliputi keraguan. bayang-bayang Mas Rijal bukannya makin tipis, tapi malah makin lekat di benakku. Hari ini, sudah berulangkali aku meraih gagang telpon dan memencet nomor HP mas Rijal. Aku ingin bertanya tentang komitmennya. Tapi selalu saja pada angka terakhir gagang telpon itu aku letakkan kembali. Aku tak sanggup. Aku malu. Jiwa perempuanku, jiwa putri Soloku menahan hasratku itu. ‘Perempuan tak layak untuk memulai, dia semestinya menunggu’, begitu pelajaran dari nenekku. tapi aku harus bagaimana? Aku masih berharap-harap cemas. Aku bingung statusku dalam lamaran atau tidak. Istikharahku tak menghasilkan apa-apa. Bahkan resah di jiwa itu kian mendera.



***



Awal Mei 2001



Hari ini adalah hari terakhir harus memberi keputusan. Dan aku masih juga tenggelam dalam balauku. Duhai Rabbi, kenapa aku jadi lembek begini?



“Saya tak bisa menerimanya Mbak, sya belum siap” Jawaban itulah yang akhirnya ku berikan. Nampak benar wajah Mbak Lia menyemburatkan kekecewaan. Tapi ada dayaku? Aku tak sanggup mendua jiwa. Bagiamana munkin aku bisa mengiyakan, sementara hatikumasih terpaut pada seseorang lain yang masih saja ‘nakal’ bermain-main dalam ruang hatiku. Aku bisa membayangkan, tentu ini akan sangat menyakiti hai ikhwan pilihan Mbak Lia itu. Mana ada laki-laki yang rela istrinya mendua hati? aku tak tega melukainya. Aku… aku lebih memilih menunggu mas Rijal. Ya! Menunggu mungkin lebih baik. Harapanku, suatu saat nanti, ketika takdir telah menyatakan bahwa mas Rijal memang bukan jodohku. Atau ketika aku telah sanggup melupakan Mas Rijal. Ini yang berat !.. (Cerita Oleh : Himmah ‘Aliyah )



Bersambung ......



=======
Tulisan ini saya ketik kembali dari Majalah Al-Izzah No. 24/Th. 3, 31 Januari 2002, Soalnya ceritanya mengharu biru, dan jari-jari kedua tangan saya sudah gatal ingin mengetik lagi. Duh.. tak ada yang bisa diketik nich selain ngetik cerita he.. he.. he.. Jadinya maaf bin Afwan pada pengarang dan Majalah Al-Izzah karena saya tulis ulang tanpa konfirmasi dulu. Kalau tak berkenan harap informasikan ke mail kank_agus(at)yahoo.com, dan tulisan ini akan saya turunkan serta separuh ceritanya tidak saya ketik lagi :), tetapi kalau dijinkan semoga bisa menjadi suatu kebaikan.
=======