(SJRCI-SB) bagian IV. Apa Itu Ruqyah (Jampi)?

on Thursday, January 13, 2005

Ruqyah adalah kumpulan ayat - ayat Qur’ani dan hadits - hadits Rasulullah SAW yang merupakan doa - doa perlindungan yang harus dibaca oleh setiap muslim atas dirinya, atau anaknya, atau istrinya, baik untuk tujuan perlindungan diri dari semua bentuk kejahatan manusia dan jin, atau kesurupan syetan, atau sihir, atau dari penyakit tersebut atau penyakit - penyakit fisik lainnya.



Itulah Ruqyah Syariah. Dan tidak sebagaimana dipahami banyak orang bahwa ia merupakan sebentuk sihir atau mantra - matra. Juga tidak digunakan untuk orang - orang yang mengalami penyakit - penyakit rohani saja. Pemahaman yang salah seperti itulah yang membuat orang tidak tertarik untuk menggunakan pengobatan seperti ini dalam kehidupan mereka walaupun mereka telah menderita dan merasakan begitu banyak penyakit.



3-4


Bermain, Bernyanyi, dan Berfoto Dengan Dik Aan

on Wednesday, January 12, 2005

Ini yang saya ceritakan dulu tentang si “Mata Indah Bola Pingpong” atau Dik Aan atau nama panjangnya Muhammad Nafan Abdillah. Sekarang Dik Aan sudah lumayan besar. Usianya sudah 3.5 tahun. Tambah besar tambah mbethik (=nakal). Kalau sedang naik ke atas (lantai II) atau tempatnya arek - arek ngekost, sukanya mbuka - mbuka pintu kamar saya. “Dol !!” lantas tertawa. Kalau tidak begitu suka maaf “ngentuti” saya. Tetapi bukan ngentut beneran cuma mulutnya saja yang bilang. “Mas Agus tak entuti.” Lantas sambil mebelakakingi saya mulutnyapun di sembur - semburkan “Blut.., blut.. blut..” Tertawa dan menutup pintu sambil berlari. Habis itu pintunya dibuka sedikit sambil intip - intip dari balik pintu. Nah, kalau aku tersenyum dia akan mengulangi aksinya beberapa kali sampai Dik Aannya capek sendiri. Nggak tau siapa juga yang ngajari. Jangan - jangan antum yang mbaca tulisan saya ini ya yang ngajari, karena aku nggak pernah ngajari hal - hal semacam ini. Hmm.. awas kalau ketahuan yang ngajari mau tak hajar (wih kejamnya).





Tetapi waktu aku bawa digital camera dan memfoto teman - temanku, eh Dik Aan-nya muncul dan malah suka ngikuti di belakangku, tetapi kalau diminta difoto nggak berani, takut sama blitnya. Kalau ada kilatan blitz kayaknya takut banget, Kaya mau nangis. Disangka petir kali he.. he.. he..



“Ya sudah sekarang foto sama Mas Agus saja, blitsnya nggak usah dinyalakan wis.” Waktunya memang sudah sore sih, jadi agak - agak gelap, akhirnya make lampu neon saja. Tapi ya gitu, Dik Aannya takut - takut berani. Akhirnya waktu di hitung satu, dua, ti.... mendadak mau lari dan mo nangis akhirnya tak pegangi saja. “Cret”.. nah tuh kan yang semula center jadi keluar layar. Lihat tuh mukanya Dik Aan tegang banget bukan? Ya.., jadinya Dik Aan yang cakep, putih, matanya besar, akhirnya kelihatan jelek, item, dan mau nangis. Tuh lihat tuh, mulutnya mau “mewek”. Habis gitu nggak mau di foto lagi. Ya sudah akhirnya cuma itu dokumentasinya.
Aku mencoba merayu, “Ayo Dik Aan, Foto lagi?”. “Emoh.., emoh.” Kata Dik Aan.



Habis itu beberapa hari yang lalu waktu Pak Kost naik keatas Dik Aannya ngikut. Barangkali jenuh ngikut bapak yang cuman ngobrol sama komting-nya Kost-kostan, Dik Aan masuk ke kamarku.
“Ayo Dik Aan sudah pandai nyanyi apa belum?“Tanyaku.
“Cudah.” Katanya.
Akhirnya waktu aku tawari headshet, eh malah suka banget. Aku putarin midi - midi koleksi anak - anak buatan Mas Didi Hariyadi. Eh seneng banget nyanyi. Tapi lagunya cuma bisa dua. Balonku ada lima, sama cicak di dinding. Ya sudah, daripada merekam lagu balonku ada lima yang panjang, mendingan yang tak rekam lagunya Cicak Di Dinding. Kan cuman pendek saja.



“Ayo Dik Aan kita rekaman saja ?” pintaku. Eh nggak taunya Dik Aan seneng banget. akhirnya ya ini suaranya Dik Aan. Putranya Pak Kost yang usianya baru 3.5 tahun. Lucu bukan. Habis gitu sering keatas minta nyanyi lagi. Ha.. ha.. ha..





Tapi sudah seminggu lebih Dik Aan kok nggak kelihatan naik keatas ya? Kemana nich. Tidak biasanya loh. Esok harinya saya ketemu di bawah. Hii ngeri.. jari telunjuk kanannya kayak mau putus. Disamping itu jalannya pincang dan jempol kakinya juga menghitam. Hi.. ngeri banget aku. Tetapi anaknya nggak kelihatan nangis, nggak kelihatan sedih cuman senyum - senyum saja.



“Hayo.. Dik Aan tangane kenek opo iki?” Tanyaku. (=Hayo.. Dik Aan, tangannya terkena apa ini?)
“Enek ading. Enek Ading.” Katanya. (Itu adalah suara anak kecil yang yang masih belum lancar bicaranya, yang maksudnya “Kenek Lading” atau dalam bahasa Indonesianya “Terkena Pisau“)
“Nek Endi?” tanyaku lagi (=Dimana?)
“Enek ading.” jawabnya. Dia tidak mau menjawab dimana terkena pisaunya tetapi cuman mengatakan kalau terkena pisau. Aku tanya saudaranya yang lain yang masih kecil juga pada nggak tau terkena apa Dik Aan itu.



Akhirnya aku tanya Bapak (bapak kost), beliau mengatakan kalau jari telunjuknya itu terkena alergi, dan diobati salep sehingga kelihatan kaya mau putus. Hii… terus jempol kakinya terkena “cantengen” atau infeksi kuku kaki, sementara jalannya pincang karena telapak kakinya terkena pecahan kaca. Aduh sampe aku kasihan banget. Habis Dik Aan itu sukanya main di tempat - tempat yang kotor. Atau orang jawa bilang suka “nrutus”.



Tetapi seminggu kemudian waktu naik ke atas lagi, Alhamdulillah berjalannya sudah normal, tinggal bekas - bekasnya saja.
“Eh Dik Aan endi jempolan sikil sing loro iku, wis mari yo?” Tanyaku. (=Eh Dik Aan mana jempol kaki yang sakit itu, sudah sembuh ya?)
Maka Dik Aanpun memperlihatkan jempolnya kakinya yang sudah mengering itu. Maka akupun menggoda saja.
“Hi...” kataku sambil menirukan mimik orang ketakutan.
dan Dik Aanpun mengusap usapkan jempol kakinya ke arah kakiku, sambil tertawa terbahak - bahak. Dan akupun menghindar sambil ngomong “Hi..., hi..” dan Dik Aanpun dengan semangat mengejarku sambil mengusap - usapkan jempol kakinya yang sakit itu. “Hi..”, lantas aku angkat badan kecilnya ke atas dan kamipun tertawa lebar.

Anak Sepasang Bintang

oleh: Ibnu HS



Bunda …, jadah itu artinya apa?”
Bunda tersentak waktu itu. Tak menyangka pertanyaan itu akan keluar dari sela bibir mungilku. Gadis kecilnya yang baru berumur lima tahun saat itu. “Kenapa Sayang?” Bunda bertanya sambil mendekapku di dadanya. “Orang-orang menyebutku seperti itu,” jawabku dengan sangat polos. Memeluk Bunda semakin erat dan merasakan perlindungannya.



Kudengar Bunda menarik nafasnya berkali-kali. Barangkali sibuk merumuskan jawaban yang tepat untuk pertanyaanku yang tak diduganya sama sekali.
“Nanti kalau sudah besar kau akan tahu sendiri jawabannya!” demikianlah akhirnya suara itu yang kudengar sebagai jawaban. Kalau mau jujur tentu aku tidak puas dengan kalimat itu. Tapi aku tidak pernah tega untuk menyakiti Bunda. Kupikir waktu itu mungkin memang Bunda tak tahu tentang apa makna dari kata-kata itu.



Di waktu lainnya aku ajukan pertanyaan lain padanya.
“Bunda …, apa saya punya Ayah?” tanyaku. Bunda baru saja selesai mendongeng padaku waktu itu.
Bunda tertegun begitu lama.
“Kenapa?” Bunda bertanya sambil memandangku dengan matanya yang indah.
“Orang-orang itu bilang saya tak punya Ayah,” jawabku murung sambil menundukkan kepala.
“Ada!” tegas Bunda meyakinkanku.
Di mana? Kenapa aku tak bisa menemuinya?
Tangan mungil ini kemudian digenggamnya. Bunda membimbingku bangkit dari tempat tidur kayu berkepinding. Mengajakku melangkah keluar rumah. Berjalan ke halaman tanpa penerangan.
“Kau lihat langit di atas sana?” Bunda bertanya tanpa melepas genggamannya. Aku mengangguk mengiyakan.
“Ayahmu ada di sana!” jawab Bunda meyakinkan.
Aku tidak melihat apa-apa. Selain langit hitam dan taburan berjuta bintang tidak ada gambar wajah manusia terlihat di sana.



Tapi aku tidak ingin bertanya lagi. Rasanya aku telah mendapatkan jawabannya. Barangkali ayahku adalah satu diantara kerlip bintang-bintang itu. Aku tidak merasa sedih lagi. Besok jika anak-anak itu menggodaku lagi dan mengatakan aku tidak punya ayah aku sudah punya jawabannya. Aku akan mengatakan pada mereka bahwa aku adalah anak sebuah bintang!



* * *



Sejak kecil aku cuma punya Bunda, perempuan yang dicipta dari seribu kuntum bunga. Perempuan yang miskin tanpa harta tapi penuh cinta. Yang selalu menyediakan dadanya untuk menyerap luka-luka.



Dengan upah seadaanya sebagai tukang cuci pakaian pada beberapa keluarga Bunda selalu menabung. Katanya aku harus sekolah setinggi mungkin dan jadi orang pandai. Agar tidak bodoh dan melarat seperti dirinya.



Bunda lewati seluruh kehidupan berat sendiri. Mengasuh anak yang terus tumbuh tanpa pendamping di sisi. Tidak mudah memang. Tapi tidak sekalipun aku melihatnya berduka. Kecuali sekali pada suatu malam aku terbangun dan melihatnya mengisak di atas sehelai sajadah.



Bagiku Bunda telah memberi segalanya padaku. Kecuali satu hal, kepastian tentang siapa orang yang harus kusebut sebagai ayah. Dulu waktu aku kecil aku bisa saja mengatakan aku adalah anak sebuah bintang. Tapi seiring perjalanan waktu dan aku menjadi semakin dewasa, tentu saja ucapan itu tak lagi memadai.
Seiring dengan pertambahan usia aku kian mengerti bahwa setiap orang lahir dari hubungan antara seorang lelaki dan seorang perempuan. Jelas aku adalah anak seorang manusia. Bukan anak sebuah bintang seperti yang selama ini kutafsirkan.
Beban inilah yang terus kusandang. Pertanyaan tentang siapa lelaki yang mesti kupanggil Ayah yang tak pernah menemukan jawab. Perlahan menjelma jadi sebuah kutukan yang mengiringi perjalanan usiaku.



Setiap kali aku menanyakan hal itu pada Bunda, cuma air matalah yang kemudian menjadi jawabannya. Seperti menguak luka yang tak pernah kering sama sekali. Lalu aku jadi tak pernah tega memaksa Bunda untuk menjawabnya. Sebab Bunda terlalu mulia untuk terluka.



Aku sendiri akhirnya berusaha melupakan semua persoalan itu sendiri. Menyimpan pertanyaan dan seribu keluh di udara. Membiarkannya berkelana mencari jawab hingga ke tempat bintang-bintang terjauh.



Aku tidak ingin mengecewakan Bunda. Perjuangannya tidak boleh sia-sia. Keinginannya melihatku sekolah setinggi mungkin memacu semangatku untuk belajar dengan giat. Dan hasilnya tidak memalukan. Aku selalu berhasil mencapai gelar juara sejak duduk di bangku SD hingga SMU. Bahkan setiap tahun Bunda tidak perlu repot mencarikan aku biaya karena aku aku selalu meraih beasiswa.
Lalu kemudian aku terpaksa berpisah dengan Bunda. Aku diterima masuk tanpa test di salah satu perguruan tinggi terkemuka di kota Pontianak. Sebenarnya aku tak tega meninggalkan Bunda sendiri dalam usianya yang semakin senja. Tapi Bunda bersikeras memaksa.



“Kau harus pergi. Sekolah setinggi-tingginya seperti impian Bunda!”
Maka pergilah aku meninggalkannya sendiri. Bertahun-tahun sudah aku tinggal di kota ini. Pendidikanku telah kuselesaikan dengan memuaskan. Sekarang aku bahkan telah diterima bekerja di salah satu Bank Syariah terkemuka yang baru berdiri.



Aku ingin menjemput Bunda. Mengajaknya pindah ke kota ini. Tapi Bunda menolak. Ia ingin tinggal di sana selamanya sampai kematian menjemputnya nanti. Aku sendiri tak bisa mencegahnya. Akhirnya aku tinggal di kota ini. Mengontrak rumah dengan seorang teman untuk mengirit biaya.
* * *
Kukira dengan meninggalkan tempat kelahiran aku akan bisa hidup dengan tenang. Semua mimpi buruk masa kecil tentang siapa ayahku tidak akan memburuku sampai ke kota ini. Tapi tidak. Sepertinya ia menjelma jadi kutukan yang mengikuti kemana pergi.



Aku telah dewasa kini. Telah siap untuk menikah dan berkeluarga. Sudah tiga orang lelaki shaleh yang datang mengajukan lamaran padaku. Tapi sudah tiga kali pula aku terpaksa menolaknya.



“Kamu kenapa sih? Lelaki shaleh sudah langka, lho …,” tanya Asti. Teman serumahku. Cuma padanya aku bisa cerita.
Asti benar. Tapi beban berat ini …
“Kau takut mereka bertanya tentang keluargamu?” ia bertanya sambil menatap mataku dalam-dalam. Persis seperti Bunda.
Aku mengangguk. Memang ini hal paling menakutkan bagi diriku. Aku sudah dewasa kini. Tak mungkin lagi mengemukakan jawaban seperti ketika aku masih kecil dulu. Aku tak mungkin mengatakan bahwa aku anak sebuah bintang.
“Jangan simpan prasangka pada Bunda. Ndak baik,”



Aku tahu. Tapi perasaan itu memburuku. Aku menduga Bunda menyembunyikan sesuatu yang buruk di masa lalunya dariku, anak satu-satunya. Dan itu terkait dengan keberadaan seorang lelaki yang harusnya kupanggil Ayah. Seorang lelaki yang tak kuketahui meski hanya selembar gambar.
Rabbi …, aku hanya ingin tahu siapa lelaki yang menjadi ayhku. Hanya itu. Apa aku durhaka pada Bunda?



“Sejelek apa pun kenyataannya, Bunda tetaplah Bunda!”
Aku tertegun mendengarnya. Kulihat Asti mengeluarkan sebuah kalung dengan mata berbentuk hati dari dalam kotak perhiasannya.
“Kenang-kenangan dari ibuku,” jawabnya seperti paham dengan pertanyaan yang tak kuutarakan. Lama ia menimang perhiasan tersebut sebelum memasukkannya kembali ke kotak perhiasan.



“Di mana ibumu sekarang?”
Ia menggelengkan kepala dan mengangkat bahunya.
“Aku bahkan tak tahu siapa namanya. Ia meninggalkanku di depan sebuah panti asuhan yang kemudian menjadi rumah bagiku,”
Aku tertegun mendengarnya. Baru kali ini ia menceritakan kisah hidupnya.



“Maaf …!”
Kulihat ia tersenyum.
“Tak apa. Kau beruntung, Sahabat. Meski tak punya seorang ayah kau masih punya Bunda. Perempuan yang katamu tercipta dari seribu kuntum bunga. Aku sendiri tak punya keduanya,” jawabnya tanpa melepas senyum di bibirnya.
Aku insyaf kini. Aku masih sangat beruntung mempunyai Bunda. Dalam sujudku malam itu aku menangis. Mohon kesempatan pada Allah untuk membahagiakan Bunda. Perempuan yang dicipta dari seribu kuntum bunga.



* * *



Berita itu sampai lewat seorang tamu. Salah seorang tetangga kami di kampung dulu. Sengaja datang untuk mengunjungiku. Padaku ia cerita Bunda sedang sakit.
“Sebenarnya ia sakit sejak lama. Tapi tak mau cerita. Bunda bilang tak mau kalau pekerjaanmu terganggu. Tapi aku pikir kau memang perlu tahu!”



Aku jadi sangat cemas karenanya. Asti menyarankan agar aku sebaiknya meminta izin untuk pulang kampung menjenguk Bunda. Mulanya aku ragu. Sebagai seorang karyawan yang belum lama bekerja belum tentu aku mendapat izin. Tapi mereka mengerti dan aku mendapat izin untuk pulang selama dua hari.
Di rumah aku lihat Bunda terbaring di tempat tidurnya. Tempat tidur yang sama seperti masa kecilku dulu. Tempat Bunda biasa mendekap, mendongeng dan berdoa sebelum lelap menyergapku.



“Kenapa Bunda tidak memberitahuku?” tanyaku setelah mencium tangannya.
“Bunda tak mau pikiranmu terganggu,” jawabnya sambil tetap mengukir senyum di wajahnya. Tapi aku melihatnya semakin lemah saja.
“Bunda ingin mengatakan sesuatu tentang ayahmu, ia …,”
“Tidak perlu, Bunda,” potongku cepat. “Jangan katakan apa-apa. Tidak ada yang perlu Bunda jelaskan tentang masa lalu. Bunda tetaplah Bunda. Perempuan yang dicipta dari seribu kuntum bunga!”



Aku memang sudah tidak lagi perduli. Bunda manusia biasa. Mungkin pernah khilaf di masa lalunya. Tapi bagiku kini Bunda adalah anugerah Allah terbesar dalam hidup ini.



Dua hari kemudian Bunda berpulang ke Rahmatullah. Aku harus menelpon Asti dan meminta perpanjangan izin di kantor. Tiga hari setelah pemakaman Bunda baru aku kembali ke kota.



Malam itu kembali aku menatap langit. Seperti waktu kecil dulu saat aku bertanya pada Bunda di mana ayahku. Bunda akan menunjuk ke arah langit. Tempat kegelapan malam dihiasi pendar jutaan bintang.



Bunda kini telah pergi. Menyusul ayahku di tempat yang abadi. Dan aku tahu kini. Jika seorang lelaki shaleh datang untuk melamar dan bertanya tentang keluargaku, aku akan mengatakan bahwa aku adalah anak sepasang bintang!



Kota Kuntilanak, 14 01 03



———————————————-
Penulis: Ibnu HS
ibnu.hs@plasa.com



diambil dari Muslimuda

Acungan Jempol Buat BK DPR

Acungan jempol, itulah tanda yang paling tepat buat BK DPR, Badan Kehormatan DPR. DPR itu singkatan dari Dewan Perwakilan Rakyak, dewannya rakyat, wakilnya rakyat yang kita pilih saat pemilihan umum lalu. Walau saya tidak ngeh dunia perpolitikan indonesia dan boleh dikatakan buta tentang tetek bengek perpolitikan, tetapi saya acungi jempol buat BK yang dengan berani menegur para anggota DPR yang mangkir dari rapat - rapat yang digelar, bahkan memaparkannya ke publik. Ya ini tindakan yang benar jadi biar rakyat - rakyat macam saya ini tahu, oh, calon ini sering mangkir karena suatu alasan tertentu, dan memang seperti itulah tugasnya semau team - team pengawas.



Dari yang saya baca di koran, saya sendiri heran, diantara anggota partai ada yang mangkir dari rapat karena sedang melanjutkan study. Walau saya tidak memilih wakil yang bersangkutan tetapi saya pribadi heran, nggumun dan tidak faham. Bagaimana mungkin orang yang menjadi lidahnya rakyat malah cuti dan melanjutkan studynya. Apakah memang dikira rakyat yang memilihnya itu cuman main - main saja? Ini bukanlah jabatan main - main tetapi amanah yang harus dipertanggungjawabkan. Padahal rakyat masih banyak yang membutuhkan fikirannya, dengan membebankan amanah itu kepundaknya. Dan waktu pemilu saya yakin semua calon wakil rakyat berjanji siap mengemban amanah itu. Masih banyak yang mesti diurus dan di fikirkan bapak - bapak dan ibu - ibu. Anda semua dipilih bukan untuk enak - enak, ongkang - ongkang kaki. Ada juga yang tidak ijin karena ngurus partai, nah ya beginilah kalau tugas ditumpuk - tumpuk di dobel - dobel.



Bahkan masalah dobel jabatan pernah disoroti secara serius dalam editorial media indonesia yang ditayangkan langsung oleh MetroTV yang menggembar - gemborkan diri sebagai TV independent tanpa memihak. Tetapi kenyataan dilapangan, memang sangat mustahil ada media tanpa keberpihakan. Sewaktu calon yang digadang - gadang maju bahkan dengan jabatan rangkap, editorial media indonesia tidak berani mengupasnya, jangakan mengupasnya menyinggunnya saja tidak berani. Dagelan indenpendent macam apa lagi ini?



Nah untuk itulah badan - badan yang berani semacam BP ini pantas untuk dipertahankan, pantas utuk dilestarikan. Badan yang mau memplubikasikan sepak terjanga dewan kita, sehingga rakyat ini tidak membeli kucing dalam karung. Dengan mengetahui sepak terjang wakil kita tentu akan menjadi catatan bagi kita untuk memilih tidaknya di pemilu yang akan datang.



Tetapi buat yang mangkir anda masih lumayan, karena ada yang lebih berbahaya lagi dari anggota dewan kita. Titip Absen. Nah ini lebih parah dan mesti di waspadai. Lebih berbahaya daripada yang membolos. Memang semuanya hanya kembali pada hati nurani yang berangkutan?



Huwallohu Alam.

(SJRCI-SB) bagian III. Pendahuluan

on Tuesday, January 11, 2005

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurahkan keharibaan Rasulullah SAW.



Ada begitu banyak penyakit di zaman ini, dan ada begitu banyak jenis dan bentuknya. Sebagian diantaranya adalah penyakit – penyakit baru yang bahkan sebelumnya tidak pernah kita kenal. Orang – orang pun berusaha mencari obat. dan untuk itu mereka membuang begitu banyak harta dan waktu. Namun hasilnya tetap saja nihil.



Tetapi mereka lupa, atau setidaknya hampir lupa dengan suatu bentuk pengobatan yang dapat menyembuhkan seluruh penyakit mereka, tentu saja dengan izin Allah. Yaitu Ruqyah Syariah (jampi – jampi berdasarkan syariah).



Saya sungguh senang menulis risalah ringkas ini untuk membicarakan beberapa aspek dari Ruqyah Syariah. Semoga risalah ini dapat mencapai tujuannya dan semoga Allah menyembuhkan seluruh orang – orang sakit dan kaum muslimin. Amin ya Rabbal Aalamiin.



Bersambung ...



1-2

(SJRCI-SB) bagian II. Persembahan ....

Saudaraku sesama muslim ...



• Apakah anda sering mengeluh dari penyakit fisik tertentu yang belum juga sembuh?



• Apakah Anda sering merasa sedih dan gundah gulana atau cemas dan terhimpit ?



• Apakah Anda sering merasa malas melakukan kewajiban - kewajiban agama?



• Apakah Anda sering merasa lesu dan lemas di sekujur tubuh serta merasa tak berdaya ?



• Apakah ..???



Ada begitu banyak pertanyaan yang - dengan izin Allah - akan Anda temukan jawabannya, secara tuntas, dalam lembaran - lembaran berikut ini.



Bersambung ...



v-vi

Sehat Jiwa Raga Cara Islam bagian I

on Monday, January 10, 2005

Asalamu’alaikum



Selanjutnya kolom Doa dan Hadits akan saya isi terjemahan
“SEHAT JIWA RAGA CARA ISLAM (SENI BERJAMPI)”
yang dituliskan oleh Abdullah bin Adul Aziz bin Abdullah, dengan alih bahasa Muh. Anis Matta, Lc dan diterbitkan oleh :



Yayasan Pusat Study Islam Al-Manar.
Jl. Nangka I No. 4 Utan Kayu Jakarta Timur
Telp (021) 8510132,
Cetakan pertama Dzulqoidah 1418 H - Maret 1998



dan selanjutnya dalam tiap judulnya akan disingkat menjadi (SJRCI-SB) untuk lebih memudahkan.



Saya merasa buku ini sangat cocok untuk digunakan sebagai wirid dan bacaan sehari - hari karena banyaknya penyakit yang aneh - aneh dewasa ini. Terus terang buku ini saya tulis tanpa seizin Penerbit , dan jika pihak penerbit atau yang terkait lainnya merasa berkeberatan dengan pemuatannya, saya harapkan menghubungi saya lewatkan email, insya Allah tulisan yang terkait dengan tulisan ini akan saya turunkan.



Namun jika di perkenankan semoga menjadi sutau hal yang bermanfaat dan tercatat sebagai suatu amal kebaikan bersama. Amin.



Karena akan saya tulis di tengah - tengah saya mencari kesibukan yang lain, maka buku kecil setebal 119 akan saya bagi menjadi banyak bagian. Dan jika antum sebagai pembaca budiman ada yang merasa perlu dengan buku tersebut, atau sedikit membaca buku tersebut lantas tertarik, silahkan hubungi penerbit karena harganya paling kurang dari sepuluhribu rupiah, saat saya miliki di tahun 1999 harganya hanya empat ribu rupiah saja.



Bagian pertama ini bukanlah merupakan bagian dari buku tersebut, tetapi pengantar dari saya pribadi tentang pencantuman buku ini pada personal web saya.



Semoga bermanfaat !!



Wassalamu’alaikum
Agus Waluyo
e-mail : kank_agus@yahoo.com

Alhamdulillah, Akhirnya Launching Juga.

Hampir dua bulan saya uthek - uthek di depan komputer, mengerjakan personal site. Namun tidak sepenuhnya dua bulan terus menerus didepan komputer mengerjakan personal site ini, waktu tersebut lebih banyak saya habiskan untuk mengetik e-book hadits arbain sekaligus versi onlinenya, karena kelahiran ponakan pertama saya, sekaligus minta doanya pada antum semua. Disamping itu juga menyelesaikan bimbingan sholat ditambah e-book almaktsurat. Alhamdulillah kesemuanya bisa selesai.



Tetapi ya seperti itu konsekuensinya personal site-pun menjadi molor. Seharian didepan komputer terus kadang membuat mata ini sakit, dan badan terasa lelah dan capek. Bahkan pernah juga delete tabelpun keliru drop database, waduh, padahal yang saya submit sudah lumayan banyak. Walau sempat ke-backup rasanya saya kehilangan waktu seharian mensubmit isi web. Tapi tak apalah sekalian peringatan bagi saya pribadi untuk lebih berhati - hati.



Desain ini terselesaikan lebih dahulu. Terinspirasi dari Windows Media Player 10, yang pada akhirnya saya capture untuk dijadikan headernya myweb ditambah sedikit pewarnaanya, jadi kolom search dan garis ke kiri di atas itu mengambil skinnya Windows Media Player 10. Sedangkan desain lainnya terinspirasi dari Open Source Web Development yang alamatnya bisa antum lihat dari Favorites. Code program phpnya pertama kali saya contoh dari Open Sourcenya kakakku, karena konsep Open Sourcenya kakakku dan keinginanku berbeda jauh, ngedel - ngedelnya juga lama. Tetapi satu bulan mrogram tidak selesai - selesai juga. Tampilannya sudah jadi tetapi belum ada halaman adminya. Waduh pasti masih lama nich.



Atas saran kakak saya, akhirnya make source code-nya homepage my brother tersebut. Ya, kalau pakei ini dua minggu saja sudah beres. Sebenarnya kalau mau full kerja paling satu minggu sudah selesai. Ya.. itu tadi sambil mengerjakan e-book - e-book yang barangkali berguna, padahal rencananya kemarin mau full mrogram sendiri. Ternyata eh ternyata hah mrogram sendiri itu bikin kepala cenut - cenut serasa mau pecah. Pusing iya, mumet iya.. he.. he.. he.., Alhamdulilah akhirnya jadi juga. Ditambah lagi pinjaman servernya.. Lengkap sudah deh kegratisannya.



Nah kalau punya web begini kan enak, misalkan saat menemukan cerita islam bisa disubmit. Eh tiba - tiba dan mendadak pingin nulis doa - doa atau hadits, bisa di submit; atau pingin curhat, submit; Enak kan? Terimakasih untuk My Brother atas pemberian source code sekaligus pinjaman servernya he.. he. he..



Saya masih berusaha mengemas keorisionalitasan di web ini, jadi kalau antum bertamu ada yang antum dapatkan dan bisa di bawa pulang serta tidak ditemukan di web yang lain. Terkecuali Cerita Islam, semua aplikasi disini telah melalui sentuhan tangan saya. Ambil contoh nich karaoke midi. Saya tak ingin hanya meletakkan file midi di server. Sama kan? di homepage lain pastilah ada yang telah mengusung midi, tetapi di sini saya tambahan track text yang barangkali belum ada di Indonesia yang telah membuatnya, Karena saya telah mengubek - ubek berkali kali mencari karaoke midi dalam format *.kar belum ada homepage di indonesia yang menyediakannya, tetapi kalau dalam midi barat ada banyak homepage yang telah menyediakannya.  Mengenai cerita islam kenapa saya masukkan ke dalam server juga, ya daripada tertimbun di PC saja, kan eman - eman ada cerita menarik, kenapa tidak saya publish sekalian. Bisa saja saya ngelink langsung ke yang bersangkutan tetapi nanti kalau tiba - tiba webnya mati seperti moslemword, nah kan eman - eman.



Serta masih tetap mengusung motto “menebar SENYUM merajut UKHUWAH” he he, karena moto ini dulu saya cari - cari dengan melekan sampai semalam ditemani Om Yeye (sekarang Om Yeye-nya sudah kerja di Jakarta) karena kemarin ada teman complain. He.. moto-nya mbacem ya? Enak saja, moto ini orisinil made in sendiri. Memang sih saya sering kali menemukan beberapa web yang menggunakan motto mirip - mirip moto ini, jangankan web, ada buletin bahkan rumah sakit make moto mirip - mirip pula, tetapi tak apalah wong cuman moto saja. Berarti minimal mereka yang memiliki moto kayak ini paling tidak pernah berkunjung kesini. Saya sih malah seneng saja, melekan saya yang semalaman sampai mendapat moto yang dulu itu berarti diterima banyak kalangan. Yang menjengkelkan itu kalau dikatain kayak temenku tadi, moto-nya mbacem nah itu baru kurang ajar he.. he.. he..



Pendukung web ini ada banyak. File-file berada di geocities.com dan geocities.com.sg, Foto - foto saya taruh di fotobucket.com, scrip php dan datanya ada di my brother, terus domainnnya ada di cjb.net. Jadi sekarang sever gratisnya di brinkster jadi nganggur. Sebenarnya pingin juga sih punya server sendiri semuanya dikasih di dalam server sendiri tersebut, sehingga maintenance-nya enak, tapi yach, belum ada finansial yang memadahi. Belum kerja ia, tak punya duit iya. Kalau dulu waktu kuliah enak, bisa menyisihkan sedikit - sedikit uang makan buat ngenet.  Bersyukur saja deh masih bisa online walau seminggu kadang cuman sekali. Bukankan Allah sendiri pernah berjanji kalau kita bersyukur akan ditambah nikmatnya.



Segitu dulu, terimakasih semuanya yang menyempatkan waktu membaca tulisan ini, masukan antum sangat saya harapkan. Tanpa adanya feedback rasanya kurang lengkap untuk mengetahui kelemahan dan kebodohan baik itu tulisan ataupun langkah - langkah saya.

Style Pada Ms Word (Word 2002) bagian I

Sebenarnya banyak fasilitas dalam Ms Word yang kurang diketahui. Sebagai contoh konkritnya adalah pembuatan daftar isi otomatis. Waktu Tugas Akhir dulu terus terang saya mentertawakan teman saya yang membuat Daftar Isi secara Manual pada Word. Di cek satu persatu lantas diketik, padahal tinggal empat kali klik saja semua daftar isi pada Ms Word sudah terbentuk.



Belum lagi tatkala dosen pembimbingnya meminta jenis dan ukuran font untuk Judul Bab, Subbab, dan text umumnya harus diubah. Sayapun tinggal tertawa terbahak - bahak. Lah memang sudah saya peringatkan berkali - kali untuk menggunakan style tetapi tidak mahu, bukankah menjadi pekerjaan yang berkepanjangan?



Namun buat yang belum pernah mencoba dan merasakan pembuatan daftar isi otomatis ini, anda tidak bisa langsung menggunakan fasilitas istimewa tersebut jika belum berkenalan sama yang namanya ‘style’, karena antara style dan pembuatan daftar isi ini sangat berhubungan erat. Jika anda tidak menggunakan style maka secara otomatis data anda tidak bisa di buat daftar isinya otomatisnya.



Walaupun untuk tugas akhir dulu saya menggunakan OpenOfficeWriter dengan equation yang seambreg, namun saya agak mengerti tentang style MsWord. MsWord saya dahulukan ketimbang OpenOffice karena banyaknya masarakat yang menggunakan MsWord ketimbang OpenOffice, kususnya untuk saat ini. Tetapi jangan kawatir, jika dimungkingkan setelah pembahasan style pada MsWord ini akan saya usahakan untuk membahas style pada OpenOffice Writer seperti yang saya pergunakan saat saya mengerjakan tugas akhir dulu, ya semoga saja masih sempat.



Oke sekarang mari kita mulai belajar style MsWord. Saran saya gunakan Ms Word 2002 saja atau terbundel dalam office XP, (buat pemula harap diperhatikan bahwa Office XP tidak sama dengan WIndows XP, Windows XP adalah sebuah sistem operasi sedangkan Office XP adalah salah satu aplikasi yang dijalankan dibawah sistem operasi). Walau untuk urusan Drawing (gambar)versi ini kadang menjengkelkan tetapi kalau untuk urusan Style adalah jagoaanya.



Jalankan Ms Word hingga muncul jendela MsWord. Dari menu F

o

rmat klik lagi submenu

S

tyle and Formatting sehingga muncul “Task Pane Style and Formating” yang berada di sisi kanan MsWord.



Lihatlah pada kotak Pick Formatting to Apply secara default akan terdapat sebuah perintah Clear Formating dan empat buah standar style Ms Word. Keempat buah standart style ini adalah Heading 1, Heading 2, Heading 3, dan Normal.



Secara default Heading 1 menempati urutan level 1, Heading 2 menempati urutan level 2, dan Heading 3 menempati urutan level 3, sedangkan Normal menepati level ‘bodytext’.



Untuk menerangkan bagaimana sebenarnya level itu perhatikan sebuah contoh makalah yang saya buat ini.




Bab I Paket Office

1

1.1 Pengolah Kata

2

Pengolah Kata adalah salah satu paket Office yang paling banyak digunaan diantara paket Office yang lain. Betapa banyaknya surat menyurat, arsip - arsip dan data - data yang harus diketik. Tanpa ada pengolah kata rasanya sangatlah sulit

normal

1.1.1 Ms Word

3

Pengolah kata ini dikeluarkan oleh Microsoft, walaupun harganya selangit, tetapi kemudahan yang diberikan cukup menjanjikan. Dalam hal kecepatan misalnya MsWord sangat kompatibel dengan Windows, loadingnya paling cepat dan fasilitas yang diberikan sangat banyak........

normal

1.1.2 Open Office Writer

3

Seakan tak mau kalah dengan paket Word dari Microsoft, Open Office Writer berusaha menguasai pangsa pasar dengan menjanjikan kemudahan dan fasilitas yang tak kalah dengan Ms Word. Bersifat open source dan free Open Office memiiki kompatibilitas yang cukup tinggi denga MsWord. Didukung kemampuannya yang multi operating sistem pengolah kata ini makin banyak digandrungi.......

normal




Catatan : No 1 menadakan judul tersebut beradap pada level 1, No 2 menandakan judul tersebut berada pada level 2, No 3 menandakan level tersebut berada pada level 3 dan normal menandakan level ‘bodytext’.



Perlu dicatat juga bahwa level tidak menunjukkan bentuk font ataupun letaknya namun sebagai tingkatan dalam sebuah tulisan yang dalam hal ini adalah makalah. Dalam suatu makalah level tertinggi adalah judul bab, dan berada pada level satu. Jika dibawahnya terdapat Subbab maka Subbab itu berada pada level ke 2, dan jika dibawahnya Subbab terdapat Subsubbab, maka ia akan menempati level ke 3 begitu seterusnya. Dalam MsWord ini jumlah level dibatasi sampai 9. Jika masih belum mengerti ada baiknya anda lihat contoh daftar isi berikut ini.






Bab I Paket Office

1

............................................. 1
        1.1 Pengolah Kata

2

.................................... 1
                1.1.1 Ms Word

3

.................................. 1
                1.1.2 Open Office Writer

3

................... 1






Mengapa normal tidak dimasukkan dalam jenes level ke-empat? Karena normal memang sebaiknya berada pada outline level “bodytext”, bisa saja diubah menjadi level ke empat misalkan, tetapi hal ini malah mempersulit anda untuk mencek bab dan subbabnya. Terutama sangat menyusahkan untuk pembuatan Daftar Isi Otomatis, karena setiap level dari level 1 sampai level 9 akan terindex kedalam daftar isi.  Bukahkan daftar isi sendiri hanya berisi Judul Bab dan Subab?



Jika anda pemula dan masih bingung itu adalah normal, dan insya Allah akan mengerti jika kita telah mempraktekkannya. Untuk sesion ini minimal kita sudah mengerti tentang tingkatan - tingkatan level dalam suatu tulisan.



(bersambung)

Bunga Dari Yang Paling Kusayang

on Saturday, January 8, 2005

Pasti sudah pada tahu yang saya maksud bukan? Ya.. kalau ada web ginian ya nggak mungkin dari pacar, siapa lagi kalau bukan dari Ibuku saat wisuda dulu. Hmm.. sebenarnya saya sendiri juga males. Lah untuk apa sih di kasih bunga segala, lah wong tiada gunanya. Namun ya itulah seorang tua yang ingin melihat anak - anaknya tersenyum senang. Menyenangkan buah hatinya. Tak mungkinlah aku mengucapkan semacam itu untuk ibuku tersayang. Nggak mungkin aku tega menyakiti hatinya. Mesti dalam hati bilang gitu tapi di luar ya ngucapkan “Makasih deh ibu, Ibu buaek buanget, ibu dan perhatian lagi saya saya? cup muah .. muah. cipika cipiki.” He.. he.. he.. Toh juga sudah terlajur dibeli, kalau di tolak malah menyakiti hati orang tua. Dosa kan?





Ya.. terimakasih deh ibu, atas perhatiannya selama ini. Dan maafkan putramu yang ndableg ini belum bisa membantu apa - apa. Belum bisa memberikan yang terbaik buat engkau. Sabar ya bu?

Saat Kuingat...

Lagu nasyid berkumandang di kamar Rani, mahasiswa tingkat akhir di salah satu perguruan tinggi swasta di Bandung. Kamar berukuran 3 x 3 meter itu tampak sempit dengan tumpukan kertas-kertas bahan TA-nya. Di pojok ruangan tergantung gamis warna hijau, warna kesukaan Rani, yang tampak masih baru dan siap dipakai. Di ujung meja komputernya tergeletak setumpuk kartu undangan yang belum diedarkan dan lagi-lagi berwarna hijau. Di rak sepatunya bertengger sepatu warna hijau lembut yang senada dengan warna baju gamisnya.



Seminggu lagi hari pernikahannya. Tapi Rani masih berkutat dengan TA-nya. Baru tiga hari lagi dia pulang. Calon suaminya pun masih sibuk mengurus surat-surat untuk pernikahan mereka. Praktis, hubungan yang terjalin pun hanya lewat telpon dan sms. Tapi bukan itu yang sekarang membuat Rani hanya menatap kosong layar monitornya. Pikirannya melayang, teringat kejadian setengah tahun yang lalu.



“Kamu dah siap Ran? Kamu siap dengan segala resiko dan kemungkinan yang akan kamu hadapi? Sampai kemungkinan terburuk?” tanya Niken, sahabat baik Rani, sekali lagi.
Rani mengangguk mantap. “Insya Allah aku yakin. Toh, kemungkinan terburuk, tawaranku gak akan diterima kan?”
Niken menatap mata Rani dalam-dalam. “Kamu yakin?”
Sekali lagi Rani mengangguk mantap. “Aku sudah gak tahan Ken. Mikirin dia setiap hari tanpa ikatan yang jelas kayak gini bikin dosa aja. Capek Ken, aku blingsatan dan kegeeran tiap hari. Aku lelah teringat tentang dia tiap malam. Kamu tahu kan, daya imajinasiku tinggi sekali. Aku takut, bikin dosa terus. Walau dosa kecil kan, lama kelamaan jadi dosa besar juga.”



Niken tersenyum, “termasuk kamu siap jika kemungkinannya dia mau? Berarti kamu akan segera menikah, dan kamu akan jadi istri dia.”
Rani menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Bukannya ini memang tujuanku Ken?”
Niken tertawa tertahan, “Ternyata lo dah dewasa neh…. Kalah deh gue!”
Rani tersenyum. Masih menatap kosong layar monitornya. Tak sehurufpun dia ketikkan. Pikirannya masih pada kejadian itu. Dulu…. Setengah tahun yang lalu…
“Aku bisa bantuin Ran, tapi bener nih? Kamu udah yakin?” tanya Mas Ipong, calon suami Ika teman sekostnya. Mas Ipong lah yang akan jadi perantaranya.
Rani menutup wajahnya dengan ujung kerudungnya. Wajahnya terasa panas. Pipinya pun merona merah. Malu.
Ika menyahut, ”Udah lah Mas, Rani dah ga sabar tuh. Lihat tuh, mukanya merah tuh…. Ntar Mas Ipong nanyain aja, ya nawarin gitu deh. Ngerti kan? Ntar aku temenin deh, biar gak ngelantur kemana-mana omongannya.”
“Ya udah, kalo dah yakin. Tinggal nanya kan?” kata Mas Ipong sambil menahan senyumnya.
Wajah Rani semakin memerah.
“Udah yuk! Kita berangkat, dah telat nih…. Aku dah bikin janji ama dia, jam 7. lima menit lagi nih!” ajak Ika. “Kamu ikut gak Ran?”
Rani menggeleng, “Aku tunggu beritanya di kostan aja. Cepat pulang ya.”



Rani tersenyum tipis. Dulu, dia begitu yakin. Dulu, dia begitu mantap dengan jalan yang akan ditempuhnya. Menawarkan dirinya untuk dinikahi. Mencoba melancarkan keinginannya untuk segera menikah, agar tidak terpuruk terlalu jauh, dengan memikirkan laki-laki lain setiap hari, bahkan setiap saat, dan yang jelas bukan mukhrimnya.



Ya Allah, aku ingin segera menikah agar tidak terpuruk seperti ini. Aku tidak tahan memikirkan lelaki yang bukan mukhrimku. Aku lelah. Ya Allah, aku ingin segera menyempurnakan ½ agama-Mu. Ya Allah, jika dia memang yang terbaik untukku, maka mudahkanlah jalanku untuk menikah dengannya. Tapi jika dia bukan yang kau pilihkan untukku, jauhkan hatiku darinya. Do’a Rani setiap hari dalam kegalauannya.



Ya Allah, jika jalan yang kutempuh ini adalah jalan yang terbaik untukku, jalan yang penuh hikmah, maka mudahkanlah. Berilah keyakinan dan kemantapan untukku untuk melaluinya.
Tapi ternyata keinginannya harus tertunda. Seperti yang telah dibayangkannya. Tawarannya belum bisa diterima. Karena ternyata lelaki itu masih belum siap untuk mengarungi bahtera rumah tangga.



Rani tersenyum teringat saat itu. Saat itu dia menjadi begitu pendiam dan hanya mampu menunduk dan memainkan karet gelang yang dipegangnya. Dan Dendi, lelaki itu, berkali-kali mencoba mulai berbicara, tapi tampak sangat kesulitan. Karena berkali-kali hanya suara tawa kecilnya yang keluar.
“Mmmm…, maaf Ran. Sebenarnya aku… ga ingin pacaran. Aku…, aku ingin langsung menikah,” kata Dendi pelan. Seakan takut melukai hati Rani.



Aku pun ga mau pacaran! Aku pun ingin langsung menikah! Teriak Rani dalam hati.



“Tapi untuk menikah sekarang…, aku belum siap. Aku…, mmm…, masih ingin sendiri,” kata Dendi lebih hati-hati. Seakan takut suaranya adalah pedang yang akan merobek-robek hati Rani.
Rani tersenyum kecil. Seperti yang kubayangkan, aku belum diterima. Yah, sudahlah, aku harus mencari orang lain yang sudah siap menikahiku. Tapi siapa?



“Lagi pula, aku baru mau menikah setelah lulus Ran.”
Kenapa harus? Aku bisa kapan aja. Toh menikah gak perlu ijazah S1.



“Kamu sudah siap menikah?” tanyanya.
Aku gak akan melakukan ini kalo aku gak siap untuk menikah. Aku bukan hanya ingin menikah, aku butuh menikah! “Aku…,” kata Rani tercekat. “Aku ga tahu. Itu pun yang selalu menghantui pikiranku.”



“Dulu, aku memang pernah suka sama kamu.”
Yah… Akhirnya aku benar-benar di tolak.
“Maaf ya Ran. Aku masih ingin sendiri.”
Dasar! Cowok takut menikah?
Rani mengangguk pelan, dan masih tersenyum.
“Mmmm…., aku sebenarnya ga nyangka kamu akan seperti ini.”
Kenapa tidak? Khadijah pun menawarkan dirinya pada Rasulullah. Dan ini bukan hal tabu. Seharusnya aku yang gak nyangka kamu belum mau menikah. Bukankah Rasulullah bersabda, bukan termasuk golonganku orang yang merasa khawatir akan terkungkung hidupnya karena menikah kemudian ia tidak menikah. Yah sudahlah…, mungkin dia benar-benar belum siap.
“Sebenarnya ada apa sih?” tanya Dendi. “Maksudku, kenapa kamu bisa melakukan hal ini?”



Rani masih mempermainkan karet gelang yang dipegangnya. Karena aku ga mau bikin dosa setiap detikku! Aku butuh menikah! “Aku ga tahu Mas,” kata Rani sambil menatap Dendi, tapi sesaat kemudian dia menundukkan pandangannya kembali.
“Pasti kamu punya alasan. Gak mungkin kamu melakukan sesuatu hal tanpa alasan.”



Karena kamu yang selalu menghantui pikiranku! “Aku ga tahu, apa itu.” Rani masih menggeleng.
Esoknya, Rani mengirim surat untuk Dendi.
Rani membuka file surat yang dia kirimkan untuk Dendi setengah tahun yang lalu. Dibacanya pelan-pelan surat yang berisi keinginannya untuk segera menyempurnakan ½ dien-Nya, yang membuatnya berani melakukan hal ini. Surat sebanyak 5 halaman A4, dan ditulisnya di pagi hari selepas sholat subuh.
Rani tersenyum membayangkan ekspresi Dendi ketika membaca surat itu. Surat yang disalin dalam tulisan tangan nya yang kecil-kecil dan yang pasti akan membuat Dendi pusing ketika membacanya. Seperti yang dikeluhkannya saat itu.
“Aku ingin mengomentari suratmu itu Ran. Boleh kan?” tanya Dendi melalui telpon. “Kok kamu gak bilang dari kemarin sih? Kan aku jadi gak enak?”



Ohya? Berarti dia bener-bener mengerti isi hatiku itu dong?
“Tapi ga sekarang sih, mungkin besok. Bisa?” kata Dendi lagi.
Rani seperti mendapat harapan baru, “Mmm…, bisa. Besok ya?”
“Besok malam…, malam Minggu ya?”
Kenapa? Toh kamu jomblo juga kan?
“Begini aja deh. Besok aku telpon kamu lagi, untuk kepastian kapannya. Gimana?”
“Oke,” Rani setuju. Dan senyum mengembang di bibir Rani saat itu.
Rani menggigit bibirnya menahan tangis teringat malam minggu itu dan malam-malam selanjutnya. Selama dua minggu, Dendi tak juga menepati janjinya. Berbagai macam cara ditempuh Rani agar Dendi segera membicarakan apa yang ingin dibicarakannya. Mulai sms, telpon, sampai meminta bantuan Mas Ipong, Ika, dan Niken tak berpengaruh apa-apa. Tak membuat Dendi segera membicarakan hal itu.
Rani semakin merana. Nafsu makannya menghilang. Berat badannya turun drastis. Konsentrasi belajarnya menghilang, padahal saat itu dia harus menghadapi Ujian Akhir Semesternya. Tugas kuliahnya terbengkalai. Kegiatannya sehari-hari hanya melamun dan menangis. Sudah dicobanya untuk mencari kesibukan lain, tapi setiap kali masuk ke kamarnya, dia kembali teringat Dendi.
Air mata Rani menetes. Sama seperti waktu itu. Seminggu terakhir dalam masa penantiannya itu, setiap malam Rani membasahi pipinya dengan air mata. Tiap malam kamarnya menjadi saksi bisu kegalauannya. Tempat sampahnya penuh dengan tissue bekas yang dicampakkan begitu saja. Buku hariannya penuh dengan kekesalan dan penantian yang tanpa tahu kapan akan berujung.
Aku gak tahu, dia menunda terus hal ini karena apa? Apa yang masih dia pikirkan? Apakah dia memikirkan jawabannya, ataukah dia memikirkan cara untuk menyampaikan jawabannya? Kenapa dia begitu tega membuat aku menunggu seperti ini? Kenapa dia tak mengerti perasaanku? Jerit Rani dalam tangisnya. Tangis yang tak lagi dimengertinya apakah patut dia berikan untuk seseorang yang telah membuat hatinya tercabik-cabik.
Aku masih bisa menerima penolakan dia. Aku masih sanggup menerimanya dan aku tak menangis. Tapi, harus menunggu seperti ini? Aku tak sanggup. Tapi aku tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan? Kenapa? Apakah ini cara dia agar aku membenci dia dan dengan mudah melupakannya? Tapi aku tak bisa.



Air mata Rani menetes semakin deras, mengingat hal itu. Diraihnya tissue di atas meja dan diseka air matanya.
Tapi Rani juga heran, saat berita buruk itu harus dia terima juga. Saat Mas Ipong mengabarkan bahwa Dendi benar-benar masih belum ingin menjalin hubungan dengan seorang wanita, Rani masih bisa menerima dengan tegar.



“Sudahlah Ran, cari aja yang lain. Atau kau masih mau menunggunya?” tanya Mas Ipong selepas mengabarkan berita itu.
“Nyari yang lain lah Mas. Aku harus nunggu sampe kapan? Dan gak pasti lagi. Udah nunggu eh, ternyata dia gak mau gimana?” kata Rani mantap.



Tapi aku masih ingin membicarakan hal ini langsung dengan nya. Kenapa dia gak ngomong sendiri aja? Kenapa harus lewat orang lain?



“Katanya, dia sebenarnya selama ini bingung mo ngomongnya ama kamu kayak gimana. Jadinya dia ngomong lewat aku dulu, dan dia akan hubungi kamu,” kata Mas Ipong lagi.
Rani mengangguk. “Tapi kapan dia mo ngomong Mas?”
“Mungkin sehabis kamu ujian Ran. Kemaren dia janjinya sama kamu gitu kan?”
Rani mengangguk. Menunggu 4 hari lagi….
Rani meraih selembar tissue lagi untuk menyeka air matanya yang kembali menetes. Ternyata janji Dendi pun tinggal janji. Tak ada lagi pembicaraan di antara mereka. Rani pun terpaksa menutup kasus ini dengan galau. Dengan ganjalan yang begitu besar, yang tak pernah bisa terpecahkan lagi. Kejadian yang tak pernah dibayangkan menjadi seperti ini. Resiko yang begitu besar yang harus dihadapi. Air mata yang harus dia habiskan, untuk menangis dan merana. Waktu yang harus dia lewati hanya dengan melamun. Tapi satu tekad Rani saat itu, dia tak mau menyesal telah melakukan hal itu, walau begitu besar akibat yang harus dia terima.



Rani pun berpikir bahwa Allah belum memberikan jodoh untuknya karena diennya yang belum berkualitas untuk mendapatkan ikhwan yang berkualitas pula. Dan mungkin pula niat dan orientasi Rani untuk menikah belum lurus. Dan bisa jadi pula jalan yang ditempuh Rani masih belum benar, masih banyak lobang di sana-sini.



Tapi saat itu juga, dia merasa ada hikmah lain yang bisa dia dapatkan. Suatu pelajaran berharga yang tak ternilai harganya.
Namun setelah kejadian itu hubungan Rani dengan Dendi pun berangsur-angsur kembali seperti semula. Walau pada awalnya keduanya berusaha dengan keras, mencoba bersikap normal, namun pada akhirnya hubungan keduanya kembali seperti semula.
Ponsel disebelah Rani berdering membuyarkan lamunannya. Iwan, calon suaminya, miss call. Artinya dia mengingatkan Rani untuk menghentikan aktivitasnya dan segera menunaikan sholat Dzuhur. Dua bulan yang lalu Iwan melamar Rani. Dia salah seorang sahabat Dendi dan sahabat Rani juga. Dulu, pada Iwan lah Dendi menceritakan masalah itu padanya, walau tak menyebutkan nama Rani disana. Dan Iwan lah yang setiap hari selalu hadir di mimpi Rani, walau saat itu dia pikirkan adalah Dendi. Dan seminggu lagi, insya Allah, mereka akan segera menikah.
Rani tersenyum dibalik sisa-sisa air matanya yang telah mengering.



Akhirnya aku segera tersadar. Hanya pada Allah-lah tempat aku bersandar. Yang akan menguatkan hatiku yang terkapar. Insya Allah ‘azzamku akan terwujud lancar (Galau – Suara Persaudaraan)



TAMAT



Saat aku benar-benar harus melupakan dia yang jauh di sana.
Bandung, 17 Januari 2004 1:14 PM



pengirim: Nail [driena@eudoramail.com]



Sumber : http://islamuda.com

Peace.. peace...

on Friday, January 7, 2005

Foto ini diambil sesudah sidang Tugas Akhir. Sidang yang lumayan melelahkan, sebenarnya tidak melelahkan juga, tetapi cuman pikiran saja yang lelah. Bingung sendiri. Karena selalu berfikir, Besuk lulus nggak ya? engak ya?. Saat hari H-pun orang - orang terkasih aku telp. satu persatu. Tentunya Bapak sama Ibu aku minta doanya, bibi - bibi yang dekat aku hub. semua ha.. ha.. ha.. nenekku yang selalu perhatian sama cucunya yang ndableg ini juga aku mintai doa. Tapi saat hari H hik.. hik.. hik.. segalanya berubah. Berubah total.





Berubah bagaimana? Hari itu habis jumatan. Aku jumatannya di masjid dekat kost, karena kalau di masjid kampus terlewat lama. Pikiran sudah tiada menentu, aku di bonceng teman seperjuanganku, teman kamar, sekaligus teman kost Arfan Eko Fachrudin yang sekarang menjadi dosen Fisika di Unilam Banjarmasin. Hmm dari pada membawa komputer dari kampus, akhirnya aku pinjam komputernya Arfan juga untuk presentasi. Arfan tinggal senyam senyum saja, karena sidangnya sudah sehari sebelumnya.



Habis itu ngurus - ngurus inFocus, kabel dan macem - macem-nya ampe jam 13.20 belum nongol - nongol juga penguji sama dosen pembimbing. Sambil terus berdoa.. wah betapa lemasnya kedua kaki ini tatkala melihat dosen pengujinya adalah bapak Koordinator. Waduh mimpi apa saya semalam. Perasaan doanya juga sudah banyak. Sekedar diketahui saja dosen pengujinya ada dua, bocoran dari jurusan (yang sebenarnya rahasia) adalah yang Pertama kaLab-nya Laboratorium optik, nah yang kaLab ini orangnya baik, kalau nguji sidang selalu membantu. Nah yang kedua Bapak dosen Geofisika, katanya suka ngedel - ngedel program, walaupun tak seberapa kuat di program, tetapi orangya baik juga, kalau nguji suka mengarahkan. Jadinya tak ada masalah, paling dibantai dikit :D. Wah tapi yang datang lah kok waduh… waduh, Bapak yang sehari sebelumnya ngedel - ngedel sidangnya adik angkatan yang maju seminar.



Dengan membaca Kulhu (Surat Al-Ikhlas) berkali - kali alhamdulillah seminarpun-pun bisa di lalui dengan selamat, semua pertanyaan dari audiens yang kebanyakan teman - teman kuliah sendiri bisa ditangkis. Ups habis bawa buku seambreg. Draft yang aku pegang-pun penuh dengan coretan - coretan dan turunan rumus - rumus yang buanyak. Belum lagi didukung dengan doa - doa keluarga tersayang. Hayoo mau tanya apa? Jawabannya sudah ada semua dalam drafku.



Setelah istirahat 15 menitan, dilanjutnya dengan sidang di depan para dosen penguji. Bapak Koordinator yang pada sidang sebelumnya sangar belum bertanya juga. Hingga tiba giliran beliau ini bertanya, ya.. ternyata ringan - ringan saja, karena beliau ini tidak menguasai materi optika. Walah jadinya ya ringan - ringan saja. Ternyata eh ternyata pergantian dosen penguji tersebut membawa berkah, karena setelah ujian saya dapat informasi kalau dosen Geofisika yang akan menguji itu ke luar kota dan belum kembali.



Sehabis dinyatakan lulus sidang, saya lantas keluar ruangan dan merapatkan kepala ini ke lantai musola Mipa. “Ya.. Rabbi, ampuni hambamu ini, ternyata aku banyak sekali berprasangka yang seharusnya tidak boleh terlintas di dalam benakku.”



Akhirnya dengan wajah sumringah (=gembira), “Action!!!!”, Peace.. Peace.. Peace…

Doa Keluar Kamar Mandi / WC

on Thursday, January 6, 2005

Doa Masuk Kamar Mandi / WC

Taubatnya Muhammad Ali Clay

Sebelum masuk Islam, dia menjuluki dirinya dengan “Yang Terbesar” karena dia adalah petinju terbaik pada masanya. Bahkan para pengamat olah raga mengakuinya sebagai petinju terbaik abad ini. Sejarah tinju belum pernah mengenal petinju secepat dia. Dia berlaga dengan gesit di atas ring dan memukul KO lawannya, lalu berseru dengan bangga, “Akulah yang terbesar”.



Akan tetapi setelah masuk Islam, dia membuang julukan ini, karena tidak suka membanggakan diri dan menjadi seorang yang sederhana dengan jiwa yang Islami.



Dialah petinju dunia Casius Mercelus Clay yang setelah itu dikenal dengan Muhammad Ali Clay.



Dia bercerita tentang perjalanannya masuk Islam.



Aku dilahirkan di Kentucky, Amerika Serikat. Daerah yang dikenal dengan ayam goreng khas yang memakai namanya, yang juga terkenal dengan perbedaan etnis yang kental.



Sejak kecil aku sudah merasakan perbedaan perlakuan ini karena aku berkulit coklat. Barangkali hal inilah yang mendorongku untuk belajar tinju agar bisa membalas perlakuan jahat teman-temanku yang berkulit putih. Dan karena aku mempunyai bakat serta otot yang kuat sehingga memudahkan jalanku.



Ketika belum genap berusia 20 tahun, aku sudah memenangkan pertandingan kelas berat di Olimpiade Roma tahun 1960.



Hanya beberapa tahun kemudian aku berhasil merebut juara dunia kelas berat dari Sony Le Stone dalam pertarungan paling pendek, karena hanya beberapa menit aku berhasil menjadi juara dunia. Dan di antara tepuk riuh para pendukung dan kilatan-kilatan alat kamera, aku berdiri didepan jutaan penonton yang mengelilingi ring dan kamera TV Islam, mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengganti namaku menjadi Muhammad Ali Clay. Untuk memulai sebuah peperangan baru melawan kebatilan yang menghalangiku mengumumkan ke-Islaman-ku semudah ini.



Kepindahanku ke agama Islam adalah hal yang wajar dan selaras dengan fitrah-fitrah yang Allah ciptakan untuk manusia. Kembaliku ke fitrah kebenaran membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk berfikir, ini dimulai tahun 1960, ketika seorang teman muslim menemaniku pergi ke masjid untuk mendengarkan pengajian tentang Islam. Ketika mendengarkan ceramah, aku merasakan panggilan kebenaran memancar dari dalam jiwaku, menyeruku untuk menggapainya, yaitu kebenaran hakikat Allah, agama dan makhluk.



Perjalanan keimananku berlangsung bertahun-bertahun dalam bentuk perbandingan antara Islam dan Masehi, sebutah perjalanan yang berat, karena orang-orang disekitarku menghalangiku, kondisi masyarakatku rusak, kebenaran dan kebatilan bercampur aduk, ditambah lagi dengan doktrin gereja yang menggambarkan keadaan orang-orang muslim yang lemah dan terbelakang yang diakibatkan oleh ajaran Islam itu sendiri. Tapi Allah memberiku petunjuk, dan menerangi jalan pilihanku sehingga aku dapat membedakan antara realita umat Islam sekarang dengan hakekat Islam yang abadi. Aku meyakini bahwa Islam membawa kebahagiaan untuk semua orang. Tidak membeda-bedakan warna kulit, etnis dan ras, semuanya sama dihadapan Allah azza wa jalla. Yang paling utama di sisi Tuhan mereka adalah yang paling bertakwa. Aku meyakini sedang berada didepan sebuah kebenaran yang tak mungkin berasal dari manusia.



Aku membandingkan ajaran Trinitas dengan ajaran Tauhid dalam Islam. Aku merasa bahwa Islam lebih rasional. Karena tidak mungkin tiga Tuhan mengatur satu alam dengan rapih seperti ini. “Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang”. (QS. 36 : 40). Ini suatu hal yang mustahil terjadi dan taka akan memuaskan orang yang berakal dan mau berfikir.



Aku merasakan betapa orang-orang Islam menghormati Isa A.S. dan ibunya. Menempatkan mereka pada kedudukan yang sama. Ini hanya ada dalam Islam atau ajaran Nasrani yang masih murni, adapun yang diucapkan para pendeta dan pastur adalah kebohongan belaka.



Aku membaca terjemahan Al-Qur’an dan akupun bertambah yakin bahwa Islam adalah agama yang hak yang tidak mungkin dibuat oleh manusia. Aku mencoba bergabung dengan komunitas muslim dan aku mendapati mereka dengan perangai yang baik, toleransi dan saling membimbing. Hal ini tidak aku dapatkan selama bergaul dengan orang-orang Nasrani yang hanya melihat warna kulitku dan bukan kepribadianku.



Inilah kisah masuk Islamnya juara tinju dunia Muhammad Ali Clay yang mengumumkan ke-Islaman-nya terang-terangan pada saat kemenangannya, seolah-olah dia ingin memberikan pukulan keras kepada para taghut seperti yang dialami oleh lawannya Sony Le Stone.



Masuk Islam-nya bukanlah akhir dari segalanya tapi baru permulaan, karena hari itu adalah hari kelahirannya yang sebenarnya. Dia memulai hidup barunya dari sini, dia tinggalkan seluruh masa lalunya yang bertentangan dengan Islam dan memfokuskan perhatiannya hanya kepada Allah. Surat yang pertama kali dia hafal adalah Al-Fatihah yang ia memulai perjalanan kedamaian dan keimanan.



Muhammad Ali berziarah ke Mekkah tahun 1973, berkali-kali dia kesana dan juga ke Madinah Al-Munawwarh. Dia memohon ampunan kepada Allah atas dosa-dosa yang telah dilakukannya sebelum masuk Islam, dan memohon kepada-Nya agar memberinya husnul khatimah.



Sekarang dia adalah seorang pemimpin keluarga muslim. Dia memberi nama puteri-puterinya dengan nama-nama yang Islami adalah : Muhammad, Maryam, Rasyidah, Khalilah, Jamilah, Hana dan Laila. Mereka mempelajari Islam dan senantiasa pergi ke masjid untuk untuk menjalin hubungan yang abadi dengan Tuhan mereka dan anak-anak muslim lainnya.



Kini dia termasuk orang-orang yang giat berdakwah di Amerika dan memberikan dana. Meskipun demikian dia masih merasa belum memberikan yang terbaik untuk Islam. Dibenaknya ada harapan dan keinginan untuk memberikan lebih banya untuk pengabdian kepada agama Allah dan menegakkan kalimah-Nya.



Marilah kita bertakbir untuk sang juara yang telah membuang kebatilan di atas ring tinju. Allahu Akbar, Allahu Akbar.



Dikutip dari : Hakikat Taubat.



Copyright © Al-Irsyad Al-Islamiyyah 2000
Jl. Kramat Raya No. 25 Jakarta Pusat 10450, Indonesia
Phone: 62-21-391 8495, 384 3833, 314 6470, Fax: 62-21-391 8595
E-Mail: alirsyad@cbn.net.id
Website: http://www.alirsyad-alislamy.or.id

Doa Ketika Bersin

Doa Ketika Lupa Membaca Bismillah di Awal Makan

Biar Puyeng Tapi Ceria

Kalau ada yang dekat sama saya pasti saya makan he.. he.. he. hiiiii bukannya kanibal tetapi makan makanana yang halal. Jika dilihat sekilas… ih kok senyum - senyum saja sih. Tapi kalau tahu dalamnya hati gejolaknya jiwa. Itu kepala sedang “thoeng… thoeng..., pinginya nendang semua yang bisa ditendang. Nah lihat tuh mousepadnya saja sampe diganti buku dan dedel duel lagi :D.





Buat yang belum tahu, inilah situasinya Laboratorium Optik. Sepi, habis yang ngerjakan TA di situ cuman saya seorang, tiada teman lainnya. Lah terus yang memfoto? Oh kalau yang itu seorang teman lain yang kebetulan lewat dan pass membawa digicam. Ayo foto aku aja. Kalau komputer yang ada di dapanku itu adalah komputer yang tak angkut dari kampung. Lumayan kan, biar jelek tetapi bisa online loh. Lihat nggak? itu ada Yahoo Messengernya tau. Mana nggak kelihatan tuh? Ya.. nggak tau burek monitronya atau kecerahen ya? Lo.. lo… lo.. ini sedang mengerakan TA apa messengeran melulu? Ya kedua keduanya.



Sekedar tahu saja, biar mukanya manis tapi barusan dibantai sama boss besar (=dosen pembimbing). Yach senyum aja lagi… 0:)

Ketika Mas Gagah Pergi

Oleh : Helvi Tyana Rosa



Mas gagah berubah! Ya, beberapa bulan belakangan ini masku, sekaligus saudara kandungku satu-satunya itu benar-benar berubah!



Mas Gagah Perwira Pratama, masih kuliah di Tehnik Sipil UI semester tujuh. Ia seorang kakak yang sangat baik, cerdas, periang dan tentu saja…ganteng !Mas Gagah juga sudah mampu membiayai sekolahnya sendiri dari hasil mengajar privat untuk anak-anak SMA.



Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di antara kami. Ia selalu mengajakku ke mana ia pergi. Ia yang menolong di saat aku butuh pertolongan. Ia menghibur dan membujuk di saat aku bersedih. Membawakan oleh-oleh sepulang sekolah dan mengajariku mengaji. Pendek kata, ia selalu melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan berarti banyak bagiku.



Saat memasuki usia dewasa, kami jadi semakin dekat. Kalau ada saja sedikit waktu kosong, maka kami akan menghabiskannya bersama. Jalan-jalan, nonton film atau konser musik atau sekedar bercanda dengan teman-teman. Mas Gagah yang humoris itu akan membuat lelucon-lelocon santai hingga aku dan teman-temanku tertawa terbahak. Dengan sedan putihnya ia berkeliling mengantar teman-temanku pulang usai kami latihan teater. Kadang kami mampir dan makan-makan dulu di restoran, atau bergembira ria di Dufan Ancol.



Tak ada yang tak menyukai Mas Gagah. Jangankan keluarga atau tetangga, nenek-kakek, orang tua dan adik kakak teman-temanku menyukai sosoknya.



“Kakak kamu itu keren, cute, macho dan humoris. Masih kosong nggak sih?”



“Git, gara-gara kamu bawa Mas Gagah ke rumah, sekarang orang rumahku suka membanding-bandingkan teman cowokku sama Mas Gagah lho! Gila, berabe kan?!”



“Gimana ya Git, agar Mas Gagah suka padaku?”



Dan banyak lagi lontaran-lontaran senada yang mampir ke kupingku. Aku Cuma mesem-mesem bangga.



Pernah kutanyakan pada Mas Gagah mengapa ia belum juga punya pacar. Apa jawabnya?



“Mas belum minat tuh! Kan lagi konsentrasi kuliah. Lagian kalau Mas pacaran…, banyak anggaran. Banyak juga yang patah hati! He..he..he…“Kata Mas Gagah pura-pura serius.



Mas Gagah dalam pandanganku adalah cowok ideal. Ia serba segalanya. Ia punya rancangan masa depan, tetapi tak takut menikmati hidup. Ia moderat tetapi tidak pernah meninggalkan shalat!



Itulah Mas Gagah!



Tetapi seperti yang telah kukatakan, entah mengapa beberapa bulan belakangan ini ia berubah! Drastis! Dan aku seolah tak mengenal dirinya lagi. Aku sedih. Aku kehilangan. Mas Gagah yang kubanggakan kini entah kemana…



“Mas Gagah! Mas! Mas Gagaaaaaahhh!” teriakku kesal sambil mengetuk pintu kamar Mas Gagah keras-keras. Tak ada jawaban. Padahal kata Mama, Mas Gagah ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik di depan pintu kamar Mas Gagah. Tulisan berbahasa Arab gundul. Tak bisa kubaca. Tetapi aku bisa membaca artinya: Jangan masuk sebelum memberi salam!



“Assalaamu’alaikum!”seruku.



Pintu kamar terbuka dan kulihat senyum lembut Mas Gagah.



“Wa alaikummussalaam warohmatullahi wabarokatuh. Ada apa Gita? Kok teriak-teriak seperti itu?” tanyanya.



“Matiin kasetnya!“kataku sewot.



“Lho memangnya kenapa?”



“Gita kesel bin sebel dengerin kasetnya Mas Gagah! Memangnya kita orang Arab…, masangnya kok lagu-lagu Arab gitu!” aku cemberut.



“Ini Nasyid. Bukan sekedar nyanyian Arab tapi dzikir, Gita!”



“Bodo!”



“Lho, kamar ini kan daerah kekuasaannya Mas. Boleh Mas melakukan hal-hal yang Mas sukai dan Mas anggap baik di kamar sendiri,” kata Mas Gagah sabar. “Kemarin waktu Mas pasang di ruang tamu, Gita ngambek.., Mama bingung. Jadinya ya dipasang di kamar.”



“Tapi kuping Gita terganggu Mas! Lagi asyik dengerin kaset Air Supply yang baru…,eh tiba-tiba terdengar suara aneh dari kamar Mas!”



“Mas kan pasang kasetnya pelan-pelan…”



“Pokoknya kedengaran!”



“Ya, wis. Kalau begitu Mas ganti aja dengan nasyid yang bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bagus lho!”



“Ndak, pokoknya Gita nggak mau denger!” Aku ngeloyor pergi sambil membanting pintu kamar Mas Gagah.



Heran. Aku benar-benar tak habis pikir mengapa selera musik Mas Gagah jadi begitu. Ke mana kaset-kaset Scorpion, Wham, Elton John, Queen, Eric Claptonnya?”



“Wah, ini nggak seperti itu Gita! Dengerin Scorpion atau Eric Clapton belum tentu mendatangkan manfaat, apalagi pahala. Lainlah ya dengan nasyid senandung islami. Gita mau denger? Ambil aja di kamar. Mas punya banyak kok!” begitu kata Mas Gagah.



Oala.



Sebenarnya perubahan Mas Gagah nggak Cuma itu. Banyak. Terlalu banyak malah! Meski aku cuma adik kecilnya yang baru kelas dua SMA, aku cukup jeli mengamati perubahan-perubahan itu. Walau bingung untuk mencernanya.



Di satu sisi kuakui Mas Gagah tambah alim. Shalat tepat waktu berjamaah di Mesjid, ngomongnya soal agama terus. Kalau aku iseng mengintip dari lubang kunci, ia pasti lagi ngaji atau membaca buku Islam. Dan kalau aku mampir ke kamarnya, ia dengan senang hati menguraikan isi buku yang dibacanya, atau malah menceramahiku. Ujung-ujungnya “Ayo dong Gita, lebih feminim. Kalau kamu mau pakai rok, Mas rela deh pecahin celengan buat beliin kamu rok atau baju panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba adik manis, ngapain sih rambut ditrondolin begitu!”



Uh. Padahal dulu Mas Gagah oke-oke saja melihat penampilanku yang tomboy. Dia tahu aku cuma punya dua rok! Ya rok seragam sekolah itu saja! Mas Gagah juga tidak pernah keberatan kalau aku meminjam baju kaos atau kemejanya. Ia sendiri dulu selalu memanggilku Gito, bukan Gita! Eh sekarang pakai panggil adik manis segala!



Hal lain yang nyebelin, penampilan Mas Gagah jadi aneh. Sering juga Mama menegurnya.



“Penampilanmu kok sekarang lain Gah?”



“Lain gimana Ma?”



“Ya nggak semodis dulu. Nggak dendy lagi. Biasanya kamu kan paling sibuk sama penampilan kamu yang kayak cover boy itu…”



Mas Gagah cuma senyum. “Suka begini Ma. Bersih, rapi meski sederhana. Kelihatannya juga lebih santun.”



Ya, dalam pandanganku Mas Gagah kelihatan menjadi lebih kuno, dengan kemeja lengan panjang atau baju koko yang dipadu dengan celana panjang semi baggy-nya. “Jadi mirip Pak Gino.” Komentarku menyamakannya dengan supir kami. “Untung aja masih lebih ganteng.”



Mas Gagah cuma tertawa. Mengacak-acak rambutku dan berlalu. Mas Gagah lebih pendiam? Itu juga kurasakan. Sekarang Mas Gagah nggak kocak seperti dulu. Kayaknya dia juga males banget ngobrol lama dan bercanda sama perempuan. Teman-temanku bertanya-tanya. Thera, peragawati sebelah rumah kebingungan.



Dan..yang paling gawat, Mas Gagah emoh salaman sama perempuan! Kupikir apa sih maunya Mas Gagah?”



“Sok kece banget sih Mas? Masak nggak mau jabatan tangan sama Tresye? Dia tuh cewek paling beken di sanggar Gita tahu?” tegurku suatu hari. “Jangan gitu dong. Sama aja nggak menghargai orang!”



“Justru karena Mas menghargai dia, makanya Mas begitu,” dalihnya, lagi-lagi dengan nada yang amat sabar. “Gita lihat kan gaya orang Sunda salaman? Santun tetapi nggak sentuhan. Itu yang lebih benar!”



Huh, nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu…, sekarang bawa-bawa orang Sunda. Apa hubungannya?”



Mas Gagah membuka sebuah buku dan menyorongkannya kepadaku.“Baca!”



Kubaca keras-keras. “Dari Aisyah ra. Demi Allah, demi Allah, demi Allah, Rasulullah Saw tidak pernah berjabatan tangan dengan wanita kecuali dengan mahromnya. Hadits Bukhori Muslim.”



Mas Gagah tersenyum.



“Tapi Kyai Anwar mau salaman sama Mama. Haji Kari, Haji Toto, Ustadz Ali…,” kataku.



“Bukankah Rasulullah qudwatun hasanah? Teladan terbaik?” Kata Mas Gagah sambil mengusap kepalaku. “Coba untuk mengerti ya dik manis?”



Dik manis? Coba untuk mengerti? Huh! Dan seperti biasa aku ngeloyor pergi dari kamar Mas Gagah dengan mangkel.



Menurutku Mas Gagah terlalu fanatik. Aku jadi khawatir, apa dia lagi nuntut ilmu putih? Ah, aku juga takut kalau dia terbawa orang-orang sok agamis tapi ngawur. Namun akhirnya aku tidak berani menduga demikian. Mas Gagah orangnya cerdas sekali. Jenius malah. Umurnya baru dua puluh satu tahun tetapi sudah tingkat empat di FT-UI. Dan aku yakin mata batinnya jernih dan tajam. Hanya…yaaa akhir-akhir ini dia berubah. Itu saja. Kutarik napas dalam-dalam.



“Mau kemana Gita?”



“Nonton sama temen-temen.” Kataku sambil mengenakan sepatu.“Habis Mas Gagah kalau diajak nonton sekarang kebanyakan nolaknya.”



“Ikut Mas aja yuk!”



“Ke mana? Ke tempat yang waktu itu lagi? Ogah. Gita kayak orang bego di sana!”



Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu lalu Mas Gagah mengajak aku ke rumah temannya. Ada pengajian. Terus pernah juga aku diajak menghadiri tablig akbar di suatu tempat. Bayangin, berapa kali aku diliatin sama cewek lain yang kebanyakan berjilbab itu. Pasalnya aku ke sana dengan memakai kemeja lengan pendek, jeans belel dan ransel kumalku. Belum lagi rambut trondol yang tidak bisa disembunyiin. Sebenarnya Mas Gagah menyuruhku memakai baju panjang dan kerudung yang biasa Mama pakai ngaji. Aku nolak sambil ngancam nggak mau ikut.



“Assalamualaikum!” terdengar suara beberapa lelaki.
Mas Gagah menjawab salam itu. Tak lama kulihat Mas Gagah dan teman-temannya di ruang tamu. Aku sudah hafal dengan teman-teman Mas Gagah. Masuk, lewat, nunduk-nunduk, nggak ngelirik aku…, persis kelakuannya Mas Gagah.



“Lewat aja nih, Gita nggak dikenalin?“tanyaku iseng.



Dulu nggak ada teman Mas Gagah yang tak akrab denganku. Tapi sekarang, Mas Gagah bahkan nggak memperkenalkan mereka padaku. Padahal teman-temannya lumayan handsome.
Mas Gagah menempelkan telunjuknya di bibir. “Ssssttt.”



Seperti biasa aku bisa menebak kegiatan mereka. Pasti ngomongin soal-soal keislaman, diskusi, belajar baca Quran atau bahasa Arab… yaa begitu deh!



“Subhanallah, berarti kakak kamu ihkwan dong!” Seru Tika setengah histeris mendengar ceritaku. Teman akrabku ini memang sudah hampir sebulan berjilbab rapi. Memusiumkan semua jeans dan baju-baju you can see-nya.



“Ikhwan?’ ulangku. “Makanan apaan tuh? Saudaranya bakwan atau tekwan?” Suaraku yang keras membuat beberapa makhluk di kantin sekolah melirik kami.



“Husy, untuk laki-laki ikhwan dan untuk perempuan akhwat. Artinya saudara. Biasa dipakai untuk menyapa saudara seiman kita.” Ujar Tika sambil menghirup es kelapa mudanya. “Kamu tahu Hendra atau Isa kan? Aktivis Rohis kita itu contoh ikhwan paling nyata di sekolah ini.”



Aku manggut-manggut. Lagak Isa dan Hendra memang mirip Mas Gagah.



“Udah deh Git. Nggak usah bingung. Banyak baca buku Islam. Ngaji. Insya Allah kamu akan tahu menyeluruh tentang agama kita ini. Orang-orang seperti Hendra, Isa atau Mas Gagah bukanlah orang-orang yang error. Mereka hanya berusaha mengamalkan Islam dengan baik dan benar. Kitanya aja yang belum ngerti dan sering salah paham.”



Aku diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening Tika, sobat dekatku yang dulu tukang ngocol ini. Tiba-tiba di mataku ia menjelma begitu dewasa.



“Eh kapan kamu main ke rumahku? Mama udah kangen tuh! Aku ingin kita tetap dekat Gita…mesti kita mempunyai pandangan yang berbeda, “ ujar Tika tiba-tiba.



“Tik, aku kehilangan kamu. Aku juga kehilangan Mas Gagah…” kataku jujur. “Selama ini aku pura-pura cuek tak peduli. Aku sedih…”



Tika menepuk pundakku. Jilbab putihnya bergerak ditiup angin.” Aku senang kamu mau membicarakan hal ini denganku. Nginap di rumah, yuk, biar kita bisa cerita banyak. Sekalian kukenalkan dengan Mbak Ana.



“Mbak Ana?”



“Sepupuku yang kuliah di Amerika! Lucu deh, pulang dari Amerika malah pakai jilbab. Ajaib. Itulah hidayah.



“Hidayah.”



“Nginap ya. Kita ngobrol sampai malam dengan Mbak Ana!”



“Assalaamualaikum, Mas ikhwan.. eh Mas Gagah!” tegurku ramah.



’Eh adik Mas Gagah! Dari mana aja? Bubar sekolah bukannya langsung pulang!” Kata Mas Gagah pura-pura marah, usai menjawab salamku.



“Dari rumah Tika, teman sekolah, “jawabku pendek. “Lagi ngapain, Mas?“tanyaku sambil mengitari kamarnya. Kuamati beberapa poster, kaligrafi, gambar-gambar pejuang Palestina, Kashmir dan Bosnia. Puisi-puisi sufistik yang tertempel rapi di dinding kamar. Lalu dua rak koleksi buku keislaman…



“Cuma lagi baca!”



“Buku apa?”



“Tumben kamu pingin tahu?”



“Tunjukkin dong, Mas…buku apa sih?“desakku.



“Eiit…eiitt Mas Gagah berusaha menyembunyikan bukunya.
Kugelitik kakinya. Dia tertawa dan menyerah. “Nih!“serunya memperlihatkan buku yang tengah dibacanya dengan wajah yang setengah memerah.



“Naah yaaaa!“aku tertawa. Mas Gagah juga. Akhirnya kami bersama-sama membaca buku “Memilih Jodoh dan Tata Cara Meminang dalam Islam” itu.



“Maaas…”



“Apa Dik Manis?”



“Gita akhwat bukan sih?”



“Memangnya kenapa?”



“Gita akhwat atau bukan? Ayo jawab…” tanyaku manja.



Mas Gagah tertawa. Sore itu dengan sabar dan panjang lebar, ia berbicara padaku. Tentang Allah, Rasulullah. Tentang ajaran Islam yang diabaikan dan tak dipahami umatnya. Tentang kaum Muslimin di dunia yang selalu menjadi sasaran fitnah serta pembantaian dan tentang hal-hal-lainnya. Dan untuk pertamakalinya setelah sekian lama, aku kembali menemukan Mas Gagahku yang dulu.



Mas Gagah dengan semangat terus bicara. Terkadang ia tersenyum, sesaat sambil menitikan air mata. Hal yang tak pernah kulihat sebelumnya.



“Mas kok nangis?”



“Mas sedih karena Allah, Rasul dan Islam kini sering dianggap remeh. Sedih karena umat banyak meninggalkan Quran dan sunnah, juga berpecah belah. Sedih karena saat Mas bersenang-senang dan bisa beribadah dengan tenang, saudara-saudara seiman di belahan bumi lainnya sedang digorok lehernya, mengais-ngais makanan di jalan dan tidur beratap langit.”



Sesaat kami terdiam. Ah Mas Gagah yang gagah dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli…



“Kok tumben Gita mau dengerin Mas ngomong?” Tanya Mas Gagah tiba-tiba.



“Gita capek marahan sama Mas Gagah!” ujarku sekenanya.



“Memangnya Gita ngerti yang Mas katakan?”



“Tenang aja. Gita ngerti kok!” kataku jujur. Ya, Mbak Ana juga pernah menerangkan demikian. Aku ngerti deh meskipun tidak begitu mendalam.



Malam itu aku tidur ditemani buku-buku milik Mas Gagah. Kayaknya aku dapat hidayah.



Hari-hari berlalu. Aku dan Mas Gagah mulai dekat lagi seperti dulu. Meski aktifitas yang kami lakukan bersama kini berbeda dengan yang dulu. Kini tiap Minggu kami ke Sunda Kelapa atau Wali Songo, mendengarkan ceramah umum, atau ke tempat-tempat di mana tablig akbar digelar. Kadang cuma aku dan Mas Gagah. Kadang-kadang, bila sedikit terpaksa, Mama dan Papa juga ikut.



“Apa nggak bosan, Pa…tiap Minggu rutin mengunjungi relasi ini itu. Kebutuhan rohaninya kapan?” tegurku.
Biasanya Papa hanya mencubit pipiku sambil menyahut, “Iya deh, iya!”



Pernah juga Mas Gagah mengajakku ke acara pernikahan temannya. Aku sempat bingung, soalnya pengantinnya nggak bersanding tetapi terpisah. Tempat acaranya juga begitu. Dipisah antara lelaki dan perempuan. Terus bersama souvenir, para tamu juga diberi risalah nikah. Di sana ada dalil-dalil mengapa walimah mereka dilaksanakan seperti itu. Dalam perjalanan pulang, baru Mas Gagah memberi tahu bagaimana hakikat acara pernikahan dalam Islam. Acara itu tidak boleh menjadi ajang kemaksiatan dan kemubaziran. Harus Islami dan semacamnya. Ia juga mewanti-wanti agar aku tidak mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat cewek.
Aku nyengir kuda.



Tampaknya Mas Gagah mulai senang pergi denganku, soalnya aku mulai bisa diatur. Pakai baju yang sopan, pakai rok panjang, ketawa nggak cekakaan.
“Nyoba pakai jilbab. Git!” pinta Mas Gagah suatu ketika.
“Lho, rambut Gita kan udah nggak trondol. Lagian belum mau deh jreng.



Mas Gagah tersenyum. “Gita lebih anggun jika pakai jilbab dan lebih dicintai Allah kayak Mama.”



Memang sudah beberapa hari ini Mama berjilbab, gara-garanya dinasihati terus sama Mas Gagah, dibeliin buku-buku tentang wanita, juga dikomporin oleh teman-teman pengajian beliau.



“Gita mau tapi nggak sekarang,” kataku. Aku memikirkan bagaimana dengan seabreg aktivitasku, prospek masa depan dan semacamnya.



“Itu bukan halangan.” Ujar Mas Gagah seolah mengerti jalan pikiranku.
Aku menggelengkan kepala. Heran, Mama yang wanita karier itu cepat sekali terpengaruh dengan Mas Gagah.



“Ini hidayah, Gita.” Kata Mama. Papa yang duduk di samping beliau senyum-senyum.



“Hidayah? Perasaan Gita duluan yang dapat hidayah, baru Mama. Gita pakai rok aja udah hidayah.



“Lho! “ Mas Gagah bengong.



Dengan penuh kebanggaan kutatap lekat wajah Mas Gagah. Gimana nggak bangga? Dalam acara studi tentang Islam yang diadakan FTUI untuk umum ini, Mas Gagah menjadi salah satu pembicaranya. Aku yang berada di antara ratusan peserta rasanya ingin berteriak, “Hei itu kan Mas Gagah-ku!”



Mas Gagah tampil tenang. Gaya penyampaiannya bagus, materi yang dibawakannya menarik dan retorikanya luar biasa. Semua hening mendengar ia bicara. Aku juga. Mas Gagah fasih mengeluarkan ayat-ayat Quran dan hadits. Menjawab semua pertanyaan dengan baik dan tuntas. Aku sempat bingung, “Lho Mas Gagah kok bisa sih?” Bahkan materi yang disampaikannya jauh lebih bagus daripada yang dibawakan oleh kyai-kyai kondang atau ustadz tenar yang biasa kudengar.



Pada kesempatan itu Mas Gagah berbicara tentang Muslimah masa kini dan tantangannya dalam era globalisasi. “Betapa Islam yang jelas-jelas mengangkat harkat dan martabat wanita, dituduh mengekang wanita hanya karena mensyariatkan jilbab. Jilbab sebagai busana takwa, sebagai identitas Muslimah, diragukan bahkan oleh para muslimah kita, oleh orang Islam itu sendiri, “ kata Mas Gagah.
Mas Gagah terus bicara. Kini tiap katanya kucatat di hati.



Lusa ulang tahunku. Dan hari ini sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Tika. Minta diajarkan cara memakai jilbab yang rapi. Tuh anak sempat histeris juga. Mbak Ana senang dan berulang kali mengucap hamdallah.



Aku mau kasih kejutan kepada Mas Gagah. Mama bisa dikompakin. Nanti sore aku akan mengejutkan Mas Gagah. Aku akan datang ke kamarnya memakai jilbab putihku. Kemudian mengajaknya jalan-jalan untuk persiapkan tasyakuran ulang tahun ketujuh belasku.
Kubayangkan ia akan terkejut gembira. Memelukku. Apalagi aku ingin Mas Gagah yang memberi ceramah pada acara syukuran yang insya Allah akan mengundang teman-teman dan anak-anak yatim piatu dekat rumah kami.



“Mas ikhwan! Mas Gagah! Maasss! Assalaamualaikum! Kuketuk pintu Mas Gagah dengan riang.



“Mas Gagah belum pulang. “
kata Mama.



“Yaaaaa, kemana sih, Ma??” keluhku.



“Kan diundang ceramah di Bogor. Katanya langsung berangkat dari kampus…”



“Jangan-jangan nginep, Ma. Biasanya malam Minggu kan suka nginep di rumah temannya, atau di Mesjid. “



“Insya Allah nggak. Kan Mas Gagah ingat ada janji sama Gita hari ini.” Hibur Mama menepis gelisahku.



Kugaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Entah mengapa aku kangen sekali sama Mas Gagah.



“Eh, jilbab Gita mencong-mencong tuh!” Mama tertawa.
Tanganku sibuk merapikan jilbab yang kupakai. Tersenyum pada Mama.



Sudah lepas Isya’ Mas Gagah belum pulang juga.



“Mungkin dalam perjalanan. Bogor kan lumayan jauh..” hibur Mama lagi.



Tetapi detik demi detik menit demi menit berlalu sampai jam sepuluh malam, Mas Gagah belum pulang juga.



“Nginap barangkali, Ma.” Duga Papa.



Mama menggeleng. “Kalau mau nginap Gagah selalu bilang, Pa.”



Aku menghela napas panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab putih itu belum juga kulepaskan. Aku berharap Mas Gagah segera pulang dan melihatku memakainya.



“Kriiiinggg!” telpon berdering.



Papa mengangkat telpon,“Hallo. Ya betul. Apa? Gagah?”



“Ada apa, Pa.” Tanya Mama cemas.



“Gagah…kecelakaan…Rumah Sakit Islam…” suara Papa lemah.



“Mas Gagaaaaahhhh!!!” Air mataku tumpah. Tubuhku lemas.
Tak lama kami sudah dalam perjalanan menuju Cempaka Putih. Aku dan Mama menangis berangkulan. Jilbab kami basah.



Dari luar kamar kaca, kulihat tubuh Mas Gagah terbaring lemah. Kaki, tangan dan kepalanya penuh perban. Informasi yang kudengar sebuah truk menghantam mobil yang dikendarai Mas Gagah. Dua teman Mas Gagah tewas seketika sedang Mas Gagah kritis.
Dokter melarang kami masuk ke dalam ruangan.



” Tetapi saya Gita adiknya, Dok! Mas Gagah pasti mau melihat saya pakai jilbab ini.” Kataku emosi pada dokter dan suster di depanku.



Mama dengan lebih tenang merangkulku. “Sabar sayang, sabar.”



Di pojok ruangan Papa dengan serius berbicara dengan dokter yang khusus menangani Mas Gagah. Wajah mereka suram.



“Suster, Mas Gagah akan hidup terus kan, suster? Dokter? Ma?” tanyaku. “Papa, Mas Gagah bisa ceramah pada acara syukuran Gita kan?” Air mataku terus mengalir.



Tapi tak ada yang menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan dinding-dinding putih rumah sakit. Dan dari kaca kamar, tubuh yang biasanya gagah dan enerjik itu bahkan tak bergerak.



“Mas Gagah, sembuh ya, Mas…Mas..Gagah, Gita udah menjadi adik Mas yang manis. Mas..Gagah…” bisikku.



Tiga jam kemudian kami masih berada di rumah sakit. Sekitar ruang ICU kini telah sepi. Tinggal kami dan seorang bapak paruh baya yang menunggui anaknya yang juga dalam kondisi kritis. Aku berdoa dan terus berdoa. Ya Allah, selamatkan Mas Gagah…Gita, Mama, Papa butuh Mas Gagah…umat juga.”



Tak lama Dokter Joko yang menangani Mas Gagah menghampiri kami. “Ia sudah sadar dan memanggil nama Papa, Mama dan Gi..”



“Gita…” suaraku serak menahan tangis.



Pergunakan waktu yang ada untuk mendampinginya sesuai permintaannya. Sukar baginya untuk bertahan. Maafkan saya…lukanya terlalu parah.” Perkataan terakhir dokter Joko mengguncang perasaan, menghempaskan harapanku!.



“Mas…ini Gita Mas..” sapaku berbisik.



Tubuh Mas Gagah bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin mengucapkan sesuatu.
Kudekatkan wajahku kepadanya. “Gita sudah pakai jilbab, kataku lirih. Ujung jilbabku yang basah kusentuhkan pada tangannya.”



Tubuh Mas Gagah bergerak lagi.



“Dzikir…Mas.” Suaraku bergetar. Kupandang lekat-lekat tubuh Mas Gagah yang separuhnya memakai perban. Wajah itu begitu tenang.



“Gi..ta…”
Kudengar suara Mas Gagah! Ya Allah, pelan sekali.



“Gita di sini, Mas…”
Perlahan kelopak matanya terbuka.



“Aku tersenyum.“Gita…udah pakai…jilbab…” kutahan isakku.
Memandangku lembut Mas Gagah tersenyum. Bibirnya seolah mengucapkan sesuatu seperti hamdallah.



“Jangan ngomong apa-apa dulu, Mas…” ujarku pelan ketika kulihat ia berusaha lagi untuk mengatakan sesuatu.



Mama dan Papa memberi isyarat untuk gantian. Ruang ICU memang tidak bisa dimasuki beramai-ramai. Dengan sedih aku keluar. Ya Allah…sesaat kulihat Mas Gagah tersenyum. Tulus sekali. Tak lama aku bisa menemui Mas Gagah lagi. Dokter mengatakan tampaknya Mas Gagah menginginkan kami semua berkumpul.



Kian lama kurasakan tubuh Mas gagah semakin pucat, tetapi sebentar-sebentar masih tampak bergerak. Tampaknya ia masih bisa mendengar apa yang kami katakan, meski hanya bisa membalasnya dengan senyuman dan isyarat mata.



Kuusap setitik lagi air mata yang jatuh. “Sebut nama Allah banyak-banyak…Mas,” kataku sambil menggenggam tangannya. Aku sudah pasrah pada Allah. Aku sangat menginginkan Mas Gagah terus hidup, tetapi sebagai insan beriman sebagaimana yang juga diajarkan Mas Gagah, aku pasrah pada ketentuan Allah. Allah tentu tahu apa yang terbaik bagi Mas Gagah.



“Laa…ilaaha…illa..llah…Muham…mad Ra..sul …Allah… suara Mas Gagah pelan, namun tak terlalu pelan untuk bisa kami dengar.



Mas Gagah telah kembali kepada Allah. Tenang sekali. Seulas senyum menghiasi wajahnya. Aku memeluk tubuh yang terbujur kaku dan dingin itu kuat-kuat. Mama dan Papa juga. Isak kami bersahutan walau kami rela dia pergi. Selamat jalan Mas Gagah.



Epilog:



Buat ukhti manis Gita Ayu Pratiwi, Semoga memperoleh umur yang berkah,



Dan jadilah muslimah sejati



Agar Allah selalu besertamu.



Sun sayang,



Mas Ikhwan, eh Mas Gagah!



Kubaca berulang kali kartu ucapan Mas Gagah. Keharuan memenuhi rongga-rongga dadaku. Gamis dan jilbab hijau muda, manis sekali. Akh, ternyata Mas Gagah telah mempersiapkan kado untuk hari ulang tahunku. Aku tersenyum miris.



Kupandangi kamar Mas Gagah yang kini lengang. Aku rindu panggilan dik manis, aku rindu suara nasyid. Rindu diskusi-diskusi di kamar ini. Rindu suara merdu Mas Gagah melantunkan kalam Illahi yang selamanya tiada kan kudengar lagi. Hanya wajah para mujahid di dinding kamar yang menatapku. Puisi-puisi sufistik yang seolah bergema d iruangan ini.



Setitik air mataku jatuh lagi.



“Mas, Gita akhwat bukan sih?”



“Ya, insya Allah akhwat!”



“Yang bener?”



“Iya, dik manis!”



“Kalau ikhwan itu harus ada janggutnya, ya?!”



“Kok nanya gitu sih?”



“Lha, Mas Gagah kan ada janggutnya?”



“Ganteng kan?”



“Uuuuu! Eh, Mas, kita kudu jihad ya?” Jihad itu apa sih?”



“Ya always dong, jihad itu…”



Setetes, dua tetes air mataku kian menganak sungai. Kumatikan lampu. Kututup pintu kamarnya pelan-pelan. Selamat jalan Mas Ikhwan!Selamat jalan Mas Gagah!



sumber :moslemworld.co.id

Di Bening Persahabatan

“Tika! Sudah siap belum?”
Teriakan Raka dari bawah balkon terdengar. Gadis tujuh belas tahun itu buru-buru meraih sepatu ketsnya. Kalau dia tidak turun ke bawah dalam lima menit, bisa-bisa si Bangor itu ngomel panjang lebar.



“Tikaaa….!!!”



Yang punya nama melongokkan kepalanya ke bawah. Satu telunjuknya menempel di bibir. Sekali lagi Raka teriak, Papa yang lagi sakit gigi bakal ngedamprat cowok satu itu habis-habisan.



“Mam, pergi dulu, ya?” Tika mencolek bahu Mama. Wanita setengah baya yang masih cantik itu mengangguk.
“Sama Raka kan?” Tika membenarkan.



Mama menarik nafas lega. Kalau Tika jalan dengan kawalan Raka yang berbadan besar itu, rasa-rasanya tak ada yang perlu dikhawatirkan. Mereka sudah berteman baik, tapi … mereka pacaran! Namun, kala disinggung, Tika selalu mengelak.



“Ihh.. Mama … kita kan cuma temenan!”
Begitu dalih putri tunggalnya itu setiap Mama dan Papa meledek. Lalu … apa benar hubungan keduanya tak lebih dari itu? Mama tak bisa menebak.
***



“Tika, hari Minggu mau ke mana?”
Raka menjawil bahu Tika. Saat itu mereka lagi nongkrong di kantin. Asyik menikmati air kelapa muda.



“Enaknya ke mana ya, Ka? Gue lagi malas joging. Eh kita ngamen, yuk?”
Raka mengucek poni Tika gemas. Ini anak … ada saja ide gilanya! “Katanya mau mulai alim, biar kayak Mbak Ratna!? Masa sekarang pengen ngamen sih?”



Tika kena batunya. Yang disebut Mbak Ratna itu kakak kelas mereka, aktivis rohis yang dihormati Tika karena keanggunan dan sikap bijaksananya.



Tapi … lagi-lagi Tika selalu bisa berkelit.
“Eh, emangnya kenapa? Sekali-kali punya kegiatan berbeda dong! Lagian, ngamen hari Minggu kan enak. Kagak ada pelajarnya. Namanya juga cari nafkah. Yang penting halal! Kali aja dapat uang lebih gede!” dengus Tika cuek.



“Ah .. mending lo gue kasih noban deh, gratis daripada ngamen! Gue aduin Mama,lho!”
“Aduin aja! Paling doi minta ikutan! He he he!” Gadis kelas dua es em u itu malah menantang.



Raka lagi-lagi geleng kepala. “Gue serius, soalnya gue mau naik gunung hari Sabtu. Mau ikut?”
“Sama siapa lagi? Lo ajak si Koko sama Ari deh. Nanti gue ajak si Laras. Gue ingin kenalin, tuh anak, sama ulet bulu! He he he ..” Raka memandang Tika serius.



“Kalo berdua memangnya kenapa? Gue kan cowok baik-baik lagi!” suara Raka tegas. Tika menghentikan kesibukannya mengunyah kelapa muda.



“Tapi .. kayaknya nggak bisa Ka, anak-anak rohis mau bikin acara rujakan sambil silatulrahmi dengan anak kelas satu. Eh, lagian, kalau jauh gitu jangan cuma berdua Ka, nggak enak. Entar kita dikira pacaran lagi!”



Deg! Dada Raka berdetak. Pacaran?



Sejauh ini memang banyak yang mengira mereka berdua pacaran. Hampir nggak ada yang percaya sama penjelasannya bahwa dia dan Tika cuma teman baik.



Si koko misalnya, berkali-kali dia meledeknya sebagai cowok yang setia.“Setia nih ye.. lo nggak bosen bareng Tika doang selama bertahun-tahun ini?”
Atau..
“Gile lo Ka, awet ama sih sama si Tika!”
“Apa sih resepnya bisa nggak putus-putus selama lima tahun lebih?”



Resepnya? Waktu itu Raka cuma menyahut asal, “Supaya nggak putus-putus? Jangan jadian dong! Pasti nggak bakal putus!”



Tapi, tetap nggak ada seorang teman pun yang percaya. Setelah beberapa kali mencoba menjelaskan, akhirnya Raka menyerah. Membiarkan orang-orang sekitar mereka yang menganggap mereka pacaran.



Hal serupa menimpa Tika. Gadis imut itu juga sering mendapat pertanyaan serupa. Tapi bukan Tika kalau tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan padanya dengan baik.
“Tik, lo benar ya, pacarnya Raka?”
Waktu Nona nanya begitu, Tika langsung pasang muka misterius.



“Nona pengen tahu?”



Dan si gadis hitam manis itu pun mengangguk. Tika langsung menadahkan tangannya, sambil pasang muka melas, “Cepek dulu dong!”



Kali yang lain si rese Laras yang penasaran. “Tik, serius nih. Gue naksir sama Raka. Jadi gue perlu tahu dia pacar loe apa bukan?”
Tika sengaja diam. Dan Laras harus mengulang pertanyaannya tiga kali sebelum mendapat jawaban dari gadis itu.



“Nngg .. jawabannya multiple choice. Lo pilih sendiri aja, ya? a. pacaran b. hampir pacaran c. tunangan d. suami-istri, e. bukan salah satu di atas. Nggak usah buru-buru jawabnya Ras. Soalnya nggak ada hadiahnya, kok!”



Begitulah, baik Tika maupun Raka membiarkan orang sekitar mereka bingung dengan kedekatan keduanya. Sebetulnya, dahulu mereka sudah pernah menjelaskan, kalau Tika dan Raka cuma sohib baik doang. Eh, begitu mereka menjelaskan yang benar, justru banyak yang nggak percaya. Capek, akhirnya kedua anak muda itu malah jadi suka asal kalau ada yang menanyakannnya.



Mereka memang bukan sepasang sejoli. Setidaknya belum. Tapi …, entah mengapa, baik Tika maupun Raka belum ada yang kecantol orang lain. Jadi… sebetulnya, gimana sih perasaan keduanya?



Ide itu akhirnya muncul begitu saja. Anehnya, bukan dari Tika yang biasanya suka mengeluarkan ide-ide aneh, tapi justru dari Raka. “Tik, kita pura-pura pacaran aja, yuk?”
Tika sempat bingung.
“Kamu kenapa sih, Raka? Kok, tiba-tiba aneh begitu?”



Raka mengangkat bahu.



“Ya, kita coba saja, cuma pura-pura ini. Masalahnya, kayaknya cuma kita doang, deh yang belum pacaran. Temen-temen yang lain sudah punya gandengan.”



Tika yang akhir-akhir ini dekat dengan Mbak Ratna, ketua keputrian mereka sebetulnya merasa agak nggak enak. Nggak pacaran saja sudah sering mendapat tausiyah karena bersahabat dengan Raka.



“Biar bagaimanapun Tika …” ucap Mbak Ratna suatu hari padanya, “sulit sekali menemukan persahabatan yang tulus dengan lawan jenis. Percaya deh, sama Mbak!”



Waktu itu Tika berdalih,“Sulit bukan berarti nggak bisa kan Mbak? Siapa tahu Raka termasuk sahabat yang sulit dicari itu!”



Dan Mbak Ratna harus menarik nafas panjang menghadapi sikap keras kepala adik kelasnya itu.



Buat Tika, dibalik sikapnya yang cuek bebek itu, sebetulnya dia menghargai anak-anak rohis, dia bahkan ingin suatu hari bisa benar-benar menjadi salah satu diantara mereka. Tetapi, kalau itu berarti harus menjauhi Raka, kayaknya kok, nggak adil.



Agar tidak memutuskan hubungan persahabatannya dengan Raka, belakangan dia menyuruh cowok itu ikutan aktif di rohis. Minimal datang sebulan dua kali bertepatan dengan acara pengajian gabungan. Dan Raka menuruti permintaan Tika. Nah, kalau sekarang mereka pura-pura pacaran? Kan berabe?
Raka masih menunggu jawabannya.
“Mau, ya? Cuma pura-pura ini!”
Meski masih ragu, Tika akhirnya mengiyakan. Mungkin nggak buruk-buruk amat kali, ya?



Maksud Tika, seneng juga kan bisa ngerjain temen-temen mereka yang selama ini suka ingin tahu. Wajah kocaknya muncul. “Sebetulnya .. kenapa sih, orang harus pacaran, Ka?”
Raka menggeleng lagi.
“Gimana, setuju nggak?!”
Dan sore itu … mereka akhirnya sepakat pura-pura jadian. Pacaran!



Berita peresmian hubungan mereka berdua, memang tidak terlalu mengejutkan. Banyak teman yang mengira selama ini mereka memang pacaran. Cuma masalah waktu sebelum diproklamirkan. Dan mereka gembira, karena Tika dan Raka amat kelihatan serasi. Satu-satunya yang bersedih adalah kelompok anak-anak rohis. Termasuk mbak Ratna.



Sebetulnya Tika mau menjelaskan, bahwa semua itu cuma pura-pura. Bahwa persahabatannya dengan Raka masih sebening dulu, tetapi Raka melarangnya.



“Nggak usah deh, Tik! Nanti malah bocor sama teman-teman yang lain!”
Ya sudah, akhirnya dia memilih diam.



Terus, adakah yang berubah dalam hubungan mereka berdua? Sebagai pacar (pura-pura), Raka merasa harus melakukan apel alias wakuncar tiap malam Sabtu. Juga mengajak Tika ke tempat-tempat yang lebih romantis. Nonton misalnya.



Di hadapan teman-teman lain, Raka juga berusaha agar terlihat lebih mesra. Sesekali dilingkarkannya tangannya ke bahu Tika, atau menggandeng tangan gadis itu.



Sebetulnya sih, sebelum perjanjian ini, Tika merasa biasa-biasa saja jika terjadi kontak fisik dengan Raka, tapi sekarang… rasanya kok, jadi beda. Apa Raka merasakan hal serupa? Tika nggak tahu.



Buntut-buntutnya, Tika merasa agak malas jalan bareng Raka yang lebih romantis itu tidak membuat perasaannya nyaman. Bahkan, seakan mereka tidak lagi cuma pura-pura.



Tidak ada lagi dialog-dialog santai. Raka juga memintanya tampil lebih feminin jika mereka bepergian, katanya biar nggak dikira jalan sama teman atau adik.



Gadis tujuh belas tahun itu akhirnya merasa terikat dan banyak diatur oleh Raka. Dan sekarang … Raka menunggunya di bawah. Apa yang sebaiknya dia lakukan, ya? Menghilang?



Hus! Tika kan bukan nenek sihir! Panggilan Mama berkali-kali tak dihiraukannya. Dan, ketika Mama muncul dikamarnya, dia tak bisa menghindar.
“Aduh .. anak manis! Ditunggu Raka di bawah kok, diam saja! Katanya mau ke ulang tahun teman?!”
Tika tak bergerak. Masih meringkuk di bawah kemulan hangat selimutnya.
“Tik .. Tika.. kamu nggak apa-apa kan?”



Pertanyaan Mama malah memberi ide padanya,“Kayaknya Tika nggak enak badan deh, Ma!” katanya.



Lho? Gantian Mama yang bingung. Sebab seharian ini, anak itu kelihatan lincah-lincah saja. Jangan-jangan ada hubungannya dengan Raka sebelum cowok itu datang, putri tunggalnya itu kelihatan sangat sehat dan bersemangat.



“Tik .. kalau kamu memang sakit, nggak masalah. Mama bisa kasih pengertian kepada Raka. Tapi .. kalau kamu melakukan ini karena punya masalah dengan Raka sebaiknya diselesaikan. Jangan dihindari!”



Hmm .. tampaknya pendapat Mama ada benarnya. Berpikir begitu, membuat Tika bangkit dari tempat tidurnya. Gadis manis itu mulai bersiap.



Pesta ulang tahun teman sekelas Raka sama sekali tidak menarik minat Tika. Gadis itu lebih banyak melamun selama acara berlangsung. Hatinya sebal karena sikap Raka yang jadi berlebihan dimatanya. Berlagak mesra, ihh!
Kenapa ya, si Raka seperti menjiwai banget? Padahal mereka kan cuma pura-pura pacaran?



Syukurlah, akhirnya Raka ikut menyadari dan mengajak Tika pulang lebih cepat. Meski sebetulnya dia lebih suka berada di sana lebih lama dengan Tika.



“Tik, mampir ke Pak Kumis dulu, ya? Mama tadi nitip bakso.”
Suara Raka diselingi getaran mesin mobil. Tika yang sudah tidak bersemangat hanya mengangguk.



Sambil menunggu pak Kumis membuatkan bakso, baik Raka maupun Tika tak banyak bersuara. Mereka menikmati kediaman yang tiba-tiba terjadi. Lalu, tanpa ditebak sebelumnya, Raka meraih kedua tangan Tika dan menatap gadis itu tajam. Mau nggak mau Tika jadi salting!.



“Ka .. kenapa sih?” suara Tika heran.



Raka tak menjawab keheranan Tika. Cowok itu sendiri tak mengerti kenapa dia bersikap demikian. Yang dia lakukan cuma menuruti dorongan hati. Tiba-tiba saja dia merasa ingin dekat dengan Tika, ingin menyentuhnya.



Lalu sekali lagi, dorongan hati itu pula yang membuat Raka mendekatkan wajahnya ke wajah Tika.
Mendapat agresi yang tiba-tiba .. Tika hampir menjerit.



Wahh, kacau, Raka seperti kehilangan kontrol dan ketenangan yang selama ini dimilikinya. Sekuat tenaga gadis manis itu mendorong Raka. Langkah berikutnya? Tika kabur, berlari menjauhi mobil sohib baiknya itu. Meninggalkan Raka yang termangu di dalamnya.



Masa bodoh! Lebih baik dia naik bis pulang, daripada bersama Raka dengan sikap anehnya itu!



Di dalam bis patas AC, gadis itu merayapi jalan-jalan yang dilaluinya. Sementara hatinya merenungi jalinan persahabatan yang telah dibinanya sekian tahun bersama Raka. Seharusnya mereka cuma bersahabat, selamanya sahabat. Kenapa jadi begini?



Tika mengoreksi dirinya. Benarkah mustahil bersahabat dekat dengan lawan jenis tanpa pamrih? Tanpa harus menjurus-jurus dalam kedekatan antara cowok dan cewek? Sepenuhnya persahabatan yang bening?



Ahh… barangkali perkataan Mbak Ratna benar. Hal itu amat sulit ditemui! Buktinya, Raka yang telah tahunan dikenalnya bagai mengenal telapak tangannya sendiri bisa berubah. Bisa kehilangan kendali. Bisa tergoda… setan?!.



Kalau hal serupa terjadi lagi, akan cukup beruntungkah dia menyelamatkan diri? Menjaga kehormatannya sebagai Muslimah seperti sering didengarnya dalam kajian-kajian rohis?
Saat kata Muslimah itu bergaung di telinganya, Tika melihat bayangan dirinya di kaca jendela.



Muslimah! Mulianya kata itu! Sungguh amat tak pantas disandangnya …setidaknya saat ini.



Tika melirik bajunya yang minim memperlihatkan jenjang kakinya yang telanjang. Lalu belahan dada yang rendah. Rambutnya yang dirangkai ke atas, membuat leher jenjangnya terlihat jelas.



Barangkali … tidak sepenuhnya salah Raka! Cowok itu cuma memanfaatkan kesempatan! Tapi Dia? Dia merencanakan seluruh detail penampilan yang menggoda ini.



Layak kah dia berjejer bersama Muslimah lain dengan keanggunan mereka? Dengan jilbab rapi membalut tubuh?



Ahh … tiba - tiba Tika ingin menangis.



Bis yang ditumpanginya tetap bergerak, seiring dengan malam yang terus merayap pelan. Sementara itu Tika membiarkan air mata kesadaran membasahi kedua pipinya.



Mulai besok dia akan berubah. Ya, dia akan menjadi Muslimah yang lebih baik. Batin Tika berkali-kali dengan wajah basah air mata.
Ketika akhirnya bis yang ditumpanginya berhenti di depan rumah, butiran bening itu masih mengalir deras. Tika sama sekali tidak berusaha menghapusnya. Karena dia tahu, tiap butir air mata yang jatuh .. menyiratkan hasrat dan semangat untuk hijrah!!!.



sumber : moslemworld.co.id